08/05/2024

rakyatsumbar.id

Berita Sumbar Terkini

Beranda » Belajar dari Cerita Anak Durhaka

Belajar dari Cerita Anak Durhaka

Oleh: Wahyuni Mulia Helmi

Cerita rakyat yang merupakan bagian dari sastra lisan sarat dengan unsur pendidikan dan pembentukan nilai-nilai murni dalam masyarakat. Ia tidak dapat dilepaskan dari budaya masyarakat pendukungnya dan tentu saja mengandung nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat di daerah tempat cerita rakyat tersebut berkembang. Cerita rakyat merupakan bagian budaya tak benda yang memiliki karakteristik khusus dan merupakan gambaran jati diri suatu suku bangsa. Pada umumnya setiap suku bangsa memiliki cerita rakyat yang selalu disampaikan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan tujuan agar generasi tersebut dapat mengambil pelajaran dari kisah yang disampaikan. Dengan demikian, cerita rakyat tersebut secara langsung telah berfungsi sebagai media dan materi dalam penanaman, pengembangan, dan penguatan karakter yang dilakukan secara kontekstual sesuai dengan karakteristik daerah dan budaya daerah tersebut.
Pada awalnya cerita rakyat bukanlah cerita yang ditujukan sebagai konsumsi bagi anak-anak. Dahulu, cerita rakyat memainkan peranannya sebagai sumber hiburan masyarakat yang dapat mengobati rasa penat dan lelah setelah seharian bekerja. Cerita rakyat biasanya disampaikan pada waktu malam secara berturutan selama beberapa hari. Pada saat itu, cerita rakyat ditujukan untuk mendidik masyarakat dewasa akan nilai-nilai luhur suatu masyarakat dan kemudian cerita rakyat tersebut diceritakan kepada anak-anak secara turun temurun dalam sebuah komunitas suku bangsa dengan tujuan untuk mendidik dan mengasuh mereka menjadi masyarakat yang diinginkan oleh komunitas budayanya. Cerita rakyat juga dikenal dengan cerita nenek, karena dahulu pada umumnya cerita tersebut diceritakan oleh nenek kepada cucunya menjelang tidur.
Legenda merupakan bagian dari sastra lisan, yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi, satu diantara tema yang ditemui dalam cerita legenda adalah tentang kedurhakaan. Di provinsi Sumatera Barat yang mayoritas didiami oleh suku bangsa Minangkabau, selain cerita legenda Malin Kundang juga ditemui beberapa cerita legenda lainnya, diantaranya legenda Banca Bighunguik di daerah Solok Selatan; legenda Batu Galeh di Limapuluh Kota, legenda Batu Lipek Kain di Solok, legenda Payo Takuluak di Tanah Datar, legenda Batu Tagak di Padang, dan legenda Batu Puti di Pesisir Selatan.
Sebagai media dalam pendidikan karakter, legenda pada umumnya terkait dengan suatu misi pendidikan yang penting bagi dunia anak-anak, misalnya untuk menggugah sikap hormat terhadap orang tua, memperlihatkan akibat dari keserakahan, memperlihatkan akibat dari kedurhakaan, dengan harapan anak-anak dapat mempelajari dan menyikapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan, persoalan manusia dan kemanusiaan dengan cara-cara yang menarik dan kongkret. Lebih jauh lagi, nilai-nilai karakter yang diyakini “baik” dan “mulia” tersebut menyatu dalam khazanah berfikir dan bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai karakter tersebut akan mempengaruhi dan mewariskan watak yang positif apabila dikelola dengan baik, dan menjadi dasar bagi setiap individu masyarakat untuk bertingkah laku.
Konstruksi Pengetahuan Pembentuk Sikap Berkarakter
Ketika cerita rakyat legenda masyarakat Minangkabau bertema kedurhakaan ini disampaikan kepada anak, akan terjadi proses konstruksi pengetahuan (kognitif) yang mengikuti prinsip asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Proses asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi ini terjadi secara terus menerus pada struktur kognitif anak. Jika pada kelompok anak diberikan cerita legenda bertema kedurhakaan pada suatu waktu yang sama oleh pencerita yang sama maka pada saat yang sama, masing-masing anak akan berlangsung proses asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Namun tingkatan proses konstruksi kognitif tersebut bisa jadi tidak sama bagi seluruh anak yang mengikuti kegiatan penceritaan tersebut. Hal ini behubungan dengan pengetahuan awal (skemata) yang dimiliki oleh setiap anak tentang materi cerita relatif tidak sama.
Hal yang sama juga terjadi dengan pengakhiran dari proses konstruksi kognitif yang mana pada masing-masing anak tentu juga akan berbeda-beda. Ada anak yang proses konstruksi kognitif tentang kedurhakaan ini berhenti begitu kegiatan selesai penceritaa selesai, namun tidak menutup kemungkinan ada anak yang tetap melanjutkan konstruksi tentang kedurhakaan tersebut setelah kegiatan selesai, bisa jadi dalam bentuk dialog bersama orang tua dan keluarga lainnya di rumah, bisa jadi keesokan harinya anak mendapat tambahan informasi yang berhubungan dengan hal tersebut. Atau bisa jadi tambahan informasi tentang hal tersebut baru didapatkan setelah sekian lama rentang waktu berlalu.
Pola Pendidikan Karakter Sastra Lisan Minangkabau
Pola penyampaian nilai-nilai pendidikan karakter pada teks cerita, dapat dilakukan dengan penggambaran yang baik (pola positif) maupun dengan penggambaran yang tidak baik (pola negatif). Pada umumnya nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat di dalam teks cerita rakyat kelompok legenda disampaikan dengan pola negatif. Pola negatif di sini maksudnya adalah bahwa peristiwa yang terjadi pada cerita tersebut dihadirkan dalam bentuk peristiwa-peristiwa yang bernilai negatif. Peristiwa yang menggambarkan nilai negatif tersebut bertentangan dengan hal-hal ideal, tidak patut dicontoh, dan harus dijauhi. Dalam hal ini, anak sebagai pendengar cerita rakyat kelompok legenda yang bertema kedurhakaan, tidak dapat mengambil nilai-nilai karakter yang digambarkan secara objektif pada cerita tersebut secara secara serta merta, akan tetapi harus dapat menghadirkan peristiwa lain dari peristiwa yang digambarkan dengan negatif tersebut terlebih dahulu.
Peristiwa-peristiwa negatif yang ditampilkan pada teks cerita rakyat ini memperlihatkan pola pendidikan masyarakat Minangkabau yang berbeda dengan pola pendidikan dunia modern. Pendidikan modern relatif melihat sesuatu sesuai dengan apa yang tampak (materi), sementara pendidikan Minangkabau mengajarkan untuk melihat sesuatu dibalik yang tampak. Pola pendidikan di Minangkabau, mayoritas dilakukan dengan metode membaca sesuatu yang tidak hadir dari yang hadir. Dalam hal ini masyarakat Minangkabau dilatih untuk membaca hal yang ada dari hal yang tidak ada, membaca hal positif dari hal yang negatif. Adapun pola pendidikan masyarakat suku bangsa Minangkabau ini dijelaskan oleh teori present-absence, bahwa yang tidak hadir lebih penting dari pada yang hadir. Yang hadir hanya alat untuk membantu menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Pada cerita legenda yang ada pada buku ini, dihadirkan persoalan anak yang durhaka kepada ibunya, namun yang sesungguhnya ingin dihadirkan adalah persoalan anak yang soleh yang bersikap baik kepada ibunya.
Nilai Pendidikan Karakter pada Teks Cerita Legenda Masyarakat Minangkabau
Teks cerita rakyat legenda masyarakat Minangkabau bertema kedurhakaan mengandung nilai-nilai pendidikan karakter yang mewakili karakter ideal masyarakat suku bangsa Minangkabau. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada teks cerita rakyat legenda masyarakat Minangkabau antara lain: (1) percaya kepada Tuhan YME; (2) mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan Tuhan; (3) berkata apa adanya; (4) berfikir logis dan analitis, (5) disiplin; (6) bekerja keras; (7) patuh pada aturan dan norma; dan (8) sopan dan santun. Adapun nilai-nilai idealogi budaya Minangkabau yang terdapat pada teks cerita rakyat legenda masyarakat Minangkabau ini antara lain adalah: (1) pola matrilinear; (2) sistem egaliti; (3) sistem komunal; dan (4) pola merantau. (*) Artikel ini merupakan bahagian dari disertasi dan ditulis oleh Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana UNP, Wahyuni Mulia Helmi, dengan Promotor: (1) Prof. Dr. Hasanuddin WS., M.Hum. (2) Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd. (3) Prof. Dr. Yasnur Asri, M.Pd.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.