26/04/2024

rakyatsumbar.id

Berita Sumbar Terkini

Beranda » Terkepung dalam Kerusuhan Sepakbola

Terkepung dalam Kerusuhan Sepakbola

Oleh: Firdaus Abie

Tragedi di Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sangat menyesakkan dada.

Dalam waktu singkat, korban berjatuhan, setelah mereka menikmati tontonan sepakbola.

Selama ini, banyak orang memahami, menonton sepakbola adalah salah satu kenikmatan.

Di Kanjuruhan, kenikmatan itu berakhir petaka. Ratusan orang meninggal dunia.

Jumlah korban sebanyak itu, menempatkan pascalaga Arema FC vs Persebaya sebagai tragedi terburuk dalam sepakbola, jika di lihat dari jatuhnya korban.

Sekaligus terburu kedua di dunia, setelah kualifikasi Olimpiade antara Argentina vs Peru, di Estadio Nacional, Lima, Peru, pada 24 Mei 1964. Ketika itu, 328 orang tewas saat kerusuhan.

Menyaksikan tayangan yang beredar di berbagai media sosial, tiba-tiba saya teringat pada dua kejadian, serupa di dua tempat berbeda.

Saya pernah “terjebak” dan terkepung dalam dua kali kerusuhan sepakbola.

Benar-benar peristiwa tak terduga. Kondisinya sangat menyesakkan dan menghadirkan kecemasan luar biasa.

Februari 2002. Semen Padang FC menjadi tamu Persija. Ketika itu, saya usai mengikuti Porwanas di Banjarmasin, melanjutkan perjalanan ke Jakarta setelah menyeberang dari Banjarmasin ke Surabaya, lalu ke Jakarta. Meliput partai Persija vs Semen Padang.

Saat itu, Semen Padang diperkuat Ellie Aiboy, Syafril M, Carlos Renato Elias, Romy Dias Putra.

Salah satu “palang pintu terakhir” Persija kala itu, Antonio Claudio alias Toyo, yang pada musim 1994-1995 bermain untuk Semen Padang.

Tuan rumah sempat unggul, namun sebelum laga berakhir, Semen Padang berhasil menyamakan kedudukan. Pertandingan pun imbang.

Ketika kembali ke hotel, bus tim Semen Padang FC bergerak dengan pangawalan petugas.

Menjelang masuk pintu tol, ternyata bus dihadang sejumlah orang yang menggunakan kostum oranye.

Mereka menghadang bus, lalu melempar batu, potongan kayu dan sebagainya.
Kendaraan yang sedang berhenti, digedor-gedor.

Dipukuli dan terus dilempari dari luar. Semua yang ada dalam bus panik. Termasuk saya.

Ketakutan dan kecemasan menyelimuti semua rombongan.

Sopir bus membunyikan klakson berulang kali, namun mereka yang menghadang, tak menghiraukan. Lemparan batu dari luar, datang silih berganti.

Di posisi tempat duduk masing-masing, semua merunduk lebih rendah. Bagian kepala ditutup dengan melingkarkan kedua tangan di atasnya, dibantu perlindungan dengan tas ransel yang di bawa.

Disaat kecemasan dan kepanikan tersebut, tiba-tiba mobil terasa bergerak berlahan.

Lemparan ke arah mobil makin berkurang.

“Kalau tak salah, ada di antara rombongan yang terkena lemparan batu,” kata Heryandi Djahir, ketika saya hubungi tadi malam.

Saat kejadian, Heryandi Djahir, yang akrab disapa Pak Yandi, menjabat Manager Semen Padang FC.

Dua hari kemudian, ketika saya dan tim Semen Padang FC sampai di Lampung, melanjutkan liga menghadapi PSBL Bandarlampung, dapat kabar, kerusuhan di Jakarta tersebut, ternyata memakan korban.

Salah seorang supporter Semen Padang FC, meninggal dunia.

Beberapa tahun sebelumnya, saya terkepung dalam kerusuhan sepakbola, justru di kota sendiri.

Saat itu, Semen Padang FC yang menjamu Persib Bandung, “dipaksa” menyerah.

Kalah, 1-2. Hal yang membuat pedih, gol kemenangan Persib lahir dari assist Imral “Korea” anak Pesisir Selatan.

Ia masuk kurang 10 menit pertandingan berakhir. Umpan matangnya diteruskan pemain Persib lainnya.

Memaksa Samosire alias Kimong, memungut bola dari gawangnya.

Kemenangan Persib membuat penonton marah, tapi kemarahannya bukan kepada pemain Persib.

Melainkan kepada pemain Semen Padang FC. Pemain Persib dibiarkan melangkah ke ruangan ganti, tetapi pemain Semen Padang FC seakan “tersandera” di tengah lapangan.

Mereka baru bisa masuk ke ruangan ganti setelah dilindungi tameng petugas keamanan.

Penonton kemudian meluapkan kemarahan. Sejumlah fasilitas stadion dirusak.

Suasana di dalam stadion sangat mencekam. Saya berada di sana. Ketika itu, sedang menjalankan tugas jurnalistik, meliput pertandingan tersebut.

Aksi tak bertanggungjawab merebak ke luar stadion. Fasilitas umum di sepanjang jalan, dari Rasuna Said hingga pertigaan Jl A.Yani – Jl Sudirman, dirusak.

Lampu jalan jadi sasaran. Pot bunga di trotoar, dihancurkan. Mungkin, itulah tragedi terburuk pertama dalam sejarah sepakbola di Padang.

Apa yang saya alami, memang tidak sebanding dengan peristiwa di Kanjuruhan. Skalanya di bawah Tragedi Kanjuruhan.

Terus terang, saya tak dapat membayangkan, bagaimana rasanya kondisi di Kanjuruhan. Dari berita yang ada, kepanikan penonton terjadi setelah gas air mata ditembakkan.

Efeknya merebak memenuhi ruangan di stadion, sehingga setiap orang berlari untuk menyelamatkan diri.

Mncari jalan dan pintu keluar yang rongganya tentu tidak mampu “mengeluarkan” orang dalam jumlah banyak sekaligus.

Apa lagi, seperti diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, panitia mencetak dan menjual tiket sebanyak 42.000 lembar, sementara kapasitas Stadion Kanjuruhan, yakni 38.000 orang.

Memberikan ruang yang begitu banyak, melebih kapasitas stadion, merupakan sebuah kekeliruan yang tak bisa diterima.

Menggunakan gas air mata merupakan kekeliruan berikutnya, bertentangan dengan regulasi FIFA, selaku otoritas sepakbola dunia.

Penggunaan gas air mata dilarang FIFA dalam pengamanan dan keamanan stadion (FIFA Stadium Saferty dan Security Regulations).

Petugas keamanan tidak diperkenankan memakai gas air mata, seperti tercantum dalam pasal 19 b tentang petugas penjaga keamanan lapangan.

Intinya, senjata api atau ‘gas pengendali massa’ tidak boleh dibawa atau digunakan.

Terhadap kejadian tersebut, termasuk adanya indikasi pelanggaran dari ketentuan yang ada, bukan tidak mungkin, Indonesia akan terkena sanksi FIFA.

Kekuatiran terbesar, hukuman berimbas ke klub-klub yang ada di Indonesia, atau berimbas kepada Timnas.

Tragedi di Stadion Heysel, Brussels, Belgia, tahun 1985, sangat berdampak pada klub-klub di Inggris. Ketika itu, Liverpool bertemu Juventus di final Kejuaraan Eropa (sekarang Liga Champions).

Ketika itu, pendukung Liverpool membuat kerusuhan dan menyerang supporter Juventus. Sebanyak 39 orang tewas, 600 orang luka-luka.

UEFA melarang klub-klub Inggris di kompetisi Eropa. Kemudian FIFA menambahkan hukuman larangan bermain tersebut berlaku untuk kompetisi di seluruh dunia.

Terhadap kondisi saat ini, tentu persoalan ini harus benar-benar diusut sampai tuntas.

Proses penyelesaian pengusutan dan hukuman, harus benar-benar sesuai dengan pelanggaran mau pun orang atau badan yang melanggar.

Jangan tebang pilih. Jangan pilih-pilih untuk ditebang.

Harapan lain, semoga pengusutan bisa dilakukan secepatnya, kemudian tidak membuat Timnas Indonesia “terkepung” dalam bagian sanksi yang akan dijatuhkan FIFA. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.