Rakyat Sumbar – Seorang mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI), asal Sumatera Barat (Sumbar), Nanang Kosasih, S.H., secara resmi mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Rabu, (2/7).
Permohonan ini secara khusus ditujukan untuk menguji konstitusionalitas Pasal 1 ayat (2) UU Advokat yang mendefinisikan bahwa jasa hukum hanya dapat dilakukan oleh advokat yang telah diangkat dan disumpah, tanpa membuka ruang terbatas bagi Sarjana Hukum yang memiliki kompetensi akademik untuk memberikan bantuan hukum insidentil secara cuma-cuma kepada anggota keluarganya.
Dalam hal itu Nanang sebagai pemohon menyampaikan bahwa permohonan ini lahir dari keresahan pribadi ketika menghadapi kendala untuk memberikan dukungan hukum kepada keluarganya yang tengah berhadapan dengan sejumlah persoalan hukum.
“Sebagai Sarjana Hukum yang telah menyelesaikan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan lulus Ujian Profesi Advokat (UPA), saya memiliki pengetahuan hukum yang cukup untuk memahami dan mendampingi keluarga. Namun secara formal, saya tidak dapat memberikan bantuan hukum secara sah karena belum diangkat sebagai advokat,” ujarnya.
Untuk diketahui, keluarga Pemohon berdomisili di Nagari Tigo Sungai, Kecamatan Pancung Soal, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Di wilayah tersebut belum terdapat Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terakreditasi, sedangkan jarak ke lembaga bantuan hukum terdekat mencapai hampir 200 kilometer.
Pada kurun waktu sejak awal tahun 2025 ini, keluarga Pemohon telah menghadapi sejumlah dugaan tindak pidana yang dilaporkan kepada pihak kepolisian, yakni Polsek Pancung Soal, antara lain dugaan pengancaman, pencurian, dan pembakaran.
Dalam proses pelaporan dan penanganan perkara, dia mencatat adanya kendala administratif yang berdampak pada kejelasan tindak lanjut laporan-laporan tersebut. Beberapa di antaranya termasuk pencatatan waktu kejadian yang tidak sesuai, belum dilakukannya gelar perkara atas laporan yang telah dilengkapi bukti dan saksi, serta minimnya informasi lanjutan atas laporan yang telah diajukan.
Dia juga menyampaikan bahwa situasi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap efektivitas akses keadilan, terutama bagi keluarga yang tidak memiliki pendampingan hukum secara langsung.
Dalam sidang pendahuluan di MK tersebut, Nanang menegaskan bahwa apabila Pasal 1 ayat (2) UU Advokat dimaknai secara eksklusif, maka ketentuan tersebut berpotensi menutup ruang bagi Sarjana Hukum untuk menjalankan peran terbatas dalam memberi bantuan hukum kepada keluarga sendiri, walaupun dilakukan dengan itikad baik dan tanpa imbalan.
Padahal, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II/2004, Mahkamah telah menyatakan bahwa hak untuk memberi dan menerima bantuan hukum tidak boleh dihambat oleh formalitas administratif, selama tidak dilakukan secara profesional dan bersifat komersial.
Permohonan ini tidak bertujuan menyoal syarat menjadi advokat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Advokat, dan Pemohon menyatakan tetap menghormati profesi advokat sebagai officium nobile.
Namun demikian, Pemohon berharap agar Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir konstitusional progresif terhadap frasa “jasa hukum” dalam Pasal 1 ayat (2), agar membuka kemungkinan terbatas bagi Sarjana Hukum yang berkompeten untuk memberikan bantuan hukum secara insidentil dalam lingkup keluarga, secara cuma-cuma, dan tanpa merugikan prinsip kehormatan profesi advokat.
“Permohonan ini merupakan bentuk ikhtiar untuk memperluas akses terhadap keadilan, terutama dalam konteks keluarga dan wilayah dengan keterbatasan layanan hukum. Saya meyakini bahwa hukum semestinya adaptif terhadap kebutuhan riil masyarakat, termasuk dalam situasi darurat hukum yang dihadapi oleh warga negara,” tutupnya.