Menuntaskan Virus Informasi yang Lama Terbengkalai
Oleh : Januarisdi, M. Lis
(Kabid Jarahnitra- Dinas Kebudayaan Sumbar)
Tidak ada yang mau berdebat lagi bahwa pandemi Covid-19 adalah musibah sejagat. Saat ini, sudah tercatat 976.249 orang positif terpapar, dan sudah 50.489 orang yang dinyatakan wafat dampak dari wabah ini. Hampir semua negara di dunia terkena serangannya dahsyat Corona; ia tidak hanya menyerang manusia secara fisik, tapi juga ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, olah raga, transportasi. Pokoknya semuanya.
Serangan terparah berlangsung di wilayah “bentengan pertahanan jiwa, bukan nyawa”. Sepertinya dunia akan lumpuh, belum tahu kapan akan pulih. Kecemasan, kejenuhan, kesepian, kegelisahan, dan kebingungan bersatu jadi satu adonan tak bernama, mewarnai perasaan setiap orang saat-saat perang melawan Corona.
Aku coba melawan rasa itu dengan memaksakan diri masuk kantor, tapi aku hanya menemui diriku sendiri yang juga kebingungan dan kesepian. Ingin aku pergi melancong, semua situs pelancongan telah perintahkan untuk disetop, ingin aku pergi ke perpustakaan atau museum, aku yakin akan menemukan pengumuman, “layanan ditutup” di gerbang masuk.
Aku putuskan saja untuk pergi ke masjid, ternyata seruan azan pun telah berubah, menyerukan ummat untuk salat di rumah. Ya sudah, aku #dirumahsaja.
Sesampai di rumah, aku buka gawai pintar tuaku, ternyata, sudah ratusan pesan belum ku baca. Dengan perasaan yang setengah tidak suka, aku baca sebagian pesan itu. Di sini aku lebih terkejut, shock menyaksikan apa yang sedang terjadi. Ternyata ada virus lain yang sedang menggorogi ummat sejagat—“virus informasi”.
Virus ini masuk melalui mata dan telinga, langsung menyerang organ sentral manusia, sistem kognisi—otak. Virus ini tidak menular melau droplet (percikan air liur), tapi gelombang elektromagnetik yang bisa menembus tembok berlapis tujuh. Tanpa integritas (kapasitas, autoritas dan responsibilitas), semua orang sudah menjadi luar biasa hebatnya menciptakan informasi dengan kreasi ilustrasi yang mempengaruhi mata, telinga dan rasa setiap orang yang melihatnya.
Tanpa pertahanan imunitas setiap orang yang melihatnya spontan menelan apa saja di depan matanya, seperti orang kehausan dan kelaparan. Lebih parah lagi, mereka ikut-ikutan menciptakan informasi baru yang lebih tidak berintegritas, sambil menebarkan virus yang telah mereka telah telan mentah-mentah.
Menghindar dari wabah virus itu, aku raih laptop kantor yang ku bawa pulang untuk bekerja dari rumah. Karena bingung tak tahu mau mengerjakan apa, aku utak-atik folder dan file lama, ada yang telah berusia 10 bahkan 15 tahun. Entah malaikat apa yang mendorong, aku klik sebuah folder yang bernama 2013. Aku browse kencang file-file di dalamnya ke bawah, tepat pada posisi terbawah aku temui sebuah file yang ketika itu ku beri nama “virus informasi”.
Tanpa banyak berpikir, aku klik file itu, ternyata ada belasan sub-file di dalamnya. Didorongan rasa penasaran, aku buka file yang paling atas tanpa peduli nama file itu. Setelah terbuka, tepat pada baris pertama tertulis “Memerangi Virus Informasi” dengan huruf berukuran besar.
Ternyata, aku pernah membuat sebuah buku yang tak tahu kesudahannya, tujuh tahun yang lalu yang memuat “strategi perang melawan virus informasi” yang sedang aku risaukan hari ini. Semua memori masa lalu itu spontan terasa kembali secara sistematis masuk ke dalam sela-sela momori masa kiniku yang sedang bergejolak.
Aku buka semua file yang terbengkalai itu dengan antusias yang menggelora. Ternyata, saat itu aku belum selesai menuntaskan sebuah buku yang memuat “Lima Langkah Strategi Memerangi Virus Informasi”: 1) Memupuk Kuriositas (rasa ingin tahu) secara proporsional, 2) Memahami dan Melatih Ketrampilan Mengakses Informasi, 3) Mengasah Kemampuan Memilah dan Memilih Informasi, 4) Mendidik Kemampuan Memproduksi Informasi, 5) Menumbuhkan Integritas Berinformasi.
Semangatku kembali menggebu-gebu. Aku mulai merapikan dan menuntaskan karya yang terbengkalai itu. Aku pertajam pokok pikiranya, aku permudah bahasanya, aku perindah ilustrasinya, dan aku rapikan alur berpikirnya.
Tanpa aku aku sadari, kulirik icon jam yang tertera di sudut kanan bawah laptopku, ternyata, sudah pukul 2.30 dini hari. Aku bertekat, sebelum serangan Corona ini selesai, aku harus tuntas menyelesaikan bengkalai karya untuk anak-kamanakan, cucu-cicitku dikemudian hari nanti dalam menghadapi serangan “virus informasi” yang lebih dahsyat menghancurkan sendi-sendi kehidupan mereka. (*)