Harus Lebih Pintar, Walau Jaraknya Semalam
Oleh : Imelda Fatmadewi, S.Hum
(Guru SMAN 5 Padang)
Ada penyakit baru. Ada istilah baru, sehingga tumbuh pula kebiasaan baru. Corona yang mewabah akhir-akhir ini membuat kita punya kebiasaan baru. Bekerja di rumah. Mungkin kedengarannya sangat santai dan menyenangkan.
Tapi tidak juga, awal diumumkannya social distancing agar semua warga tetap saling menjaga jarak agar tidak terjadi penularan. Intruksi yang diberikan kepada kami, para guru, adalah tetap mengajar dari rumah secara online. Saya guru bahasa Jepang, sedikit bingung. Pelajaran yang ketika tatap muka dianggap sangat sulit oleh siswa, nah ini harus dari jarak jauh pula. Melalui aplikasi chatting.
Apakah mungkin?
Awalnya kita ragu, namun sebagai guru, kita tidak boleh kehilangan akal. Harus cerdas meskipun dulu satu malam dari siswa. Kita semua pasti sudah mengetahui banyak fitur-fitur yang telah digunakan oleh guru-guru di luar sana, ketika tidak berada di tempat, tapi masih tetap bisa mengajarkan meteri.
Tetapi karena saya belum mau menggunakan kepada siswa selama ini karena berfikir belum dibutuhkan. Kita akan selalu masuk kelas dan akan bertemu mereka, dan berfikir itu bukan sesuatu yang penting.
Sekarang saya butuh fitur dan aplikasi IT yang dapat membuat saya berinteraksi dengan siswa saya dalam bahasa Jepang. Saya juga bisa melihat ekspresi siswa ketika berkomunikasi dengan saya ataupun dengan temannya. Aplikasi sudah banyak kita ketahui namun saya sendiri belum mahir karena jarang menggunakannya.
Pucuk dicinta ulam tiba, ada tawaran ikut pelatihan online malalui aplikasi ZOOM dan Edmodo. Saya mengikuti pelatihan tersebut bersama intruktur dari Jepang, Materinya pembelajaran abad 21. Tanpa ragu saya mengikuti pelatihan tersebut. Ada istilah yang saya dengar, guru harus lebih ilmunya dari siswa meskipun itu hanhya satu malam jaraknya.
Setelah saya mendapatkan pelatihan saya aplikasikan kepada siswa saya, Alhamdulillah siswa semua enjoy. Saya dapat melihat semua wajah siswa saya, mendengar suara mereka dalam berbahasa Jepang. Saya juga bisa melihat mereka menulis bahasa Jepang yang berliku-liku. Saya juga bisa langsung koreksi mereka jika melakukan kesalahan dalam pengucapan bahasa Jepang.
Saat pembelajaran kami bisa tertawa bersama dan sedikit melupakan kebosanan akibat terkurung di rumah. Saya bisa mendengar curhatan mereka, “gak ada uang jajan, Sensei”, “gak ketemu teman sensei”, “bosan sensei” dan sebagainya. Semuanya ingin teriak apa yang terasa di hati mereka. Alhamdullillaah kadang satu jam berjalan tidak terasa berlalu begitu saja.
Apapun situasinya, kita tidak boleh mengalah dengan keadaan. Kita harus bisa mencari jalan dalam situasi apapun bagai istilah orang minang: “takuruang nak di lua, taimpik nak di ateh” meskipun dalam situasi yang tidak mungkin rasanya kita harus bisa berekspresi sebebasnya. Meskipun berada dalam situasi yang sulit jangan pernah berputus asa untuk tetap berusaha dan berbuat sebaik mungkin.
Corona jangan membuat kita putus asa! (*)
membaca tulisan ini,timbul pula ke inginan saya untuk menulis,isinya cukup inspiratif,