19/05/2024

rakyatsumbar.id

Berita Sumbar Terkini

Beranda » Hakim PN Padangpanjang Putuskan NO, Gugatan Z Dt. Kebasaran Nan Itam dan Farida Tidak Memenuhi Syarat Formil

Hakim PN Padangpanjang Putuskan NO, Gugatan Z Dt. Kebasaran Nan Itam dan Farida Tidak Memenuhi Syarat Formil

Pembacaan putusan Hakim Pengadilan Negeri Padangpanjang terhadap gugatan yang disampaikan oleh Z Z Dt. Kebasaran Nan Itam dan Farida

Padangpanjang, rakyatsumbar.id—Hakim Pengadilan Negeri Padangpanjang akhirnya memutuskan gugatan yang diajukan warga Malalo, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanahdatar, Zaibul Dt. Kabasaran Nan Itam dan Farida, tak dapat diterima atau niet ontvankelijk verklaard (NO). Putusan tersebut dibacakan dalam sidang, Selasa (13/7/2020) yang dipimpin hakim ketua Dadi Suryandi, SH, MH dan hakim anggota Prama Widya Nugraha, SH dan Gustia Wulandari, SH.
“Gugatan penggugat tidak dapat diterima,” ujar hakim ketua.
Menurut majelis hakim persidangan, gugatan penggugat terhadap Isna yang merupakan warga Nagari Sumpur, Aida Amir (pembeli), Notaris Delon Anas dan BPN Tanahdatar, tidak memenuhi syarat formil sebuah gugatan, yaitu warga Malalo sebagai para penggugat tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan tersebut.

Juru Bicara PN Pengadilan Negeri Padangpanjang Sartika Dewi Hapsari yang dikonfirmasi wartawan

Sementara Juru Bicara PN Padangpanjang, Sartika Dewi Habsari yang dikonfirmasi di kantornya, Kamis (15/7/2021) membenarkan. Usai pembacaan putusan oleh hakim, kedua belah pihak diberi kesempatan 14 hari untuk menyatakan banding atau mengajukan gugatan baru.
“Saat ditanya majelis hakim. Kuasa hukum penggugat maupun tergugat belum memberikan tanggapan apakah mengajukan banding atau tidak,”katanya.
Sementara, kuasa hukum para tergugat, Didi Suryadiningrat mengatakan, hakim memutus perkara ini berdasarkan fakta dari rangkaian persidangan. Hakim sampai pada putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima karena kapasitas dan kewenangan penggugat selaku mamak kepala waris, Zaibur Dt. Kabasaran Nan Itam tidak punya kedudukan hukum.
“Penggugat tidak bisa membuktikan kedudukannya sebagai mamak kepala waris berdasarkan kesepakatan kaumnya, sehingga hakim menyatakan penggugat tidak memiliki legal standing untuk menggugat,”katanya.
Sertifikat kepemilikan tanah yang dimiliki oleh tergugat

Sementara itu, Tim Tanah Ulayat Nagari Sumpur, H. Yohanes menyebutkan, putusan majelis hakim yang menyatakan penggugat tidak punya legal standing membuktikan bahwa penggugat yang merupakan warga Malalo tidak memiliki kedudukan secara hukum untuk menggugat dalam perkara ini.
“Saya melihat, hakim memutus perkara ini berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, baik berupa bukti surat, bukti keterangan saksi dan keterangan ahli dan bukan karena ada hal-hal lain di luar persidangan,” kata pria yang akrab disapa H. Yos itu.
Dengan adanya putusan hakim tersebut, lanjut H. Yos, maka status sertifikat tanah warga Sumpur yang termasuk dalam tanah 60 hektare di Jorong Suduik, Nagari Sumpur ini, sampai saat ini tetap sah secara hukum dan hak-hak yang melekat pada pemilik tanah yang bersertifikat itu dilindungi oleh negara sesuai aturan yang berlaku.
“Dari 60 hektare lahan yang sudah disertifikatkan, cuma satu objek sertifikat saja dengan luas 5.870 m2 yang digugat. Sementara objek lainnya tidak digugat ke Pengadilan Negeri Padangpanjang,”jelas H.Yos
Sebelumnya dalam gugatannya, penggugat mengatakan jika objek perkara adalah harta pusaka tinggi kaumnya yang terletak di Jorong Rumbai, Nagari Padang Laweh Malalo, Batipuh Selatan.
Sedangkan tergugat yang merupakan warga Nagari Sumpur sebagai penjual dan pembeli serta notaris dan BPN Tanahdatar meyakinkan jika objek perkara berada di Jorong Suduik, Nagari Sumpur, Batipuh Selatan yang dibuktikan dengan bukti sertifikat dan pembayaran PBB, SK Bupati Nomor 1 Tahun 1955 yang memuat Peta administrasi tiga nagari, yaitu Nagari Bungo Tanjung, Sumpur dan Padang Laweh Malalo serta dokumen lainnya.
Terpisah, Ahli Hukum Pertanahan Unand Prof. Busyra Azheri, mengatakan, kasus sengketa lahan di Sumatera Barat, khususnya di Nagari Sumpur dan Malalo tidak perlu terjadi. Pasalnya, pemerintah sebelum Indonesia merdeka batas nagari sudah ditetapkan pemerintah. Sementara penetapan batas wilayah di sejumlah daerah tertentu mengacu pada peta yang dibuat zaman Belanda.
Perbedaannya sekarang pasca kemerdekaan, adanya kebijakan pemerintah pemindahan status dari nagari ke desa. Kondisi tersebut Prof. Busyra Azheri, mengungkapkan belum adanya kepastian hukum yang jelas.
Ketika reformasi, pemerintah mengembalikan status desa menjadi nagari. “Disaat itu, ada nagari asal dan ada nagari pemekaran. Sampai saat ini pemerintah belum menetapkan batas nagari. Malah, terkait batas wilayah pemerintah membebankan pada nagari, ini yang menjadi pemicu konflik, ” kata Busyra Azheri, Minggu(18/7).
Terkait sengketa Nagari Sumpur dan Malalo, Pemerintah Kabupaten Tanahdatar jangan terkesan lari dari dari konflik yang muncul di dalam masyarakat Sumpur dan Malalo.
Terkait batas wilayah kedua nagari tersebut, Prof Busyra Azheri mengatakan telah ditetapkan oleh Pemda Tanahdatar. Penetapan tersebut juga melalui kesepakatan yang disepakati oleh ninik mamak dan pemerintah tahun 1955.
“Pemerintah dalam hal ini harus menjadi pihak yang memberikan mediasi agar tidak terjadi konflik. Bukti bukti, berupa SK Bupati tahun 1955 ini tentu bisa menjadi acuan pemerintah daerah menyelesaIkan persoalan. Jangan dikembalikan ke nagari yang tengah berada dalam konflik, ” ujat Busyra.
Tidak adanya kejelasan dan kepastian hukum dalam menyelesaikan sengketa lahan, masyarakat hari ini tentunya berpatokan pada pesan leluhur, ” Warih Bajawek” secara turun temurun.
“Mereka tidak mengetahui persis, terkait peristiwa, kondisi dan situasi yang terjadi. Artinya, masyarakat tidak memiliki sebuah kepastian tentang batas wilayah,” ujarnya.
Dikatakan Prof. Busyra Azheri, agar persoalan tersebut tidak berlarut larut hingga sampai menempuh jalur hukum atau persidangan di pengadilan negeri untuk mendapatkan kepastian atas hak haknya.
Dalam hal ini, Pemerintah Tanahdatar, DPRD Tanahdatar, mesti memiliki komitmen yang jelas dan harus cepat mengambil sikap melangkah menyelesaikan permasalahan di masyarakat.
“Jangan sampai masyarakat kita melahirkan pemikiran setiap persoalan harus diselesaikan di pengadilan. Artinya, kondisi tersebut sebuah pembiaran dari pemerintah dalam menyelesaikan masalah. Jika tidak adanya kepastian hukum terkait penetapan batas sehingga menjadi pemicu sengketa wilayah yang berakibat adanya tindak pidana, maka pemerintah bisa digugat atas kelalaiannya,” jelas Busyra. (ned)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.