19/04/2024

rakyatsumbar.id

Berita Sumbar Terkini

Beranda » Bisa Rabah

Bisa Rabah

Oleh : Two Efly (Wartawan Ekonomi)

Runtuah alias rabah (runtuh atau roboh). Kata ini mengingatkan kita pada  novel legendaris di Ranah Minang berjudul “Robohnya Surau Kami” yang ditulis  A. A Navis. Bagi masyarakat Minangkabau, Surau sama  atau  lebih tinggi derajatnya dari sekolah. Hancurnya sebuah surau sebagai pertanda terancam habisnya sebuah peradaban, entah saat ini atau di masa akan datang.

Dalam tulisan ini, penulis tidak ingin membahas novel legendaris itu karena penulis bukanlah seorang sastrawan apalagi budayawan. Di samping tak punya ilmu tentang itu, penulis tak ingin memaksakan pemikiran, ketika  tidak memiliki sedikitpun bekal untuk itu.  Penulis hanya meminjam satu kata dari judul novel legendaris tersebut, tepatnya kata Roboh, yang bisa disandingkan dengan kata rabah.

Sebetulnya penulis agak takut  menuliskan tentang ini. Ditulis takut pembaca cemas dan tak ditulis bedo pula. Tapi sudahlah, penulis sampaikan saja apa yang terasa agar kita bersama bisa mengambil hikmahnya untuk menjaga dan melindungi diri dan keluarga serta bangsa.  Setidaknya tulisan ini bisa jadi alarm bagi kita bersama dan jikalau tidak, biarlah dia jadi kecemasan yang tak berguna saja untuk penulis.

Kasar memang kata predator kejam kita sematkan ke Virus Corona. Pasalnya, keganasan predator ini tiada tara, selain lincah, cepat dan sigap, Virus Corona  betul-betul merusak  sendi kehidupan.  Aktivitas ibadah umat menjadi tiada untuk melaksanakan salat berjamaah. Silahturahmi tatap muka menjadi terhambat. Fisik kita sebagai manusia-pun tak luput dari incarannya, termasuk aktivitas sosial dan ekonomi bangsa. Intinya tak ada yang tak dihondohnya. Mulai dari yang hidup dan tampak di mata hingga yang tak bisa dilihat tapi bisa dirasakan tumbang serangnya. Sungguh sangat-sangat luar biasa jahatnya.

Takutkah kita. Asal orangnya waras pasti takut, dan itu lumrah saja asal tidak jadi phobia. Ketakutan dan kecemasan inilah yang membuat bangsa ini melakukan beragam cara agar bisa selamat dari badai virus import ini. Satu diantara yang ingin penulis sampaikan adalah dampaknya terhadap sektor moneter bangsa, khususnya lembaga keuangan sebagai suport atau sumber dana bagi dunia usaha.

Pasca diumumkannya relaksasi oleh pemerintah, kini masalah datang baliak batimba. Tidak dilaksanakan perintah relaksasi, lembaga keuangan dikatakan tak memiliki empati. Jika dilaksanakan lembaga keuangan yang menanggung dampaknya. Tapi sudahlah, ibarat buah simalakama keputusan harus diambil agar bangsa ini bisa selamat.

Ada beberapa dampak yang akan langsung terasa ketika keputusan kelonggaran atau relaksasi itu dilakukan, apalagi kalau rentang waktunya cukup panjang yakni satu tahun anggaran. Pertama memukul telak cash flow lembaga keuangan. Sudah jadi rahasia umum di lembaga keuangan bahwa cicilan pokok dan bunga adalah salah satu sumber dana perusahaan untuk memenuhi kebutuhan cash flow usahanya. Jika selama ini cicilan dan bunga itu masuk 100 persen sesuai  kontrak kredit bersama nasabah, maka dengan relaksasi ini nilainya bisa berkurang cukup dalam. Bisa saja 50 persen dan bisa saja jauh di bawah itu. Tergantung formulasi relaksasi yang mana disetujui oleh lembaga keuangan dengan nasabahnya.

Bagi sebuah badan usaha, khususnya di lembaga keuangan cash flow tidak berdiri sendiri. Namun ia  ibarat darah yang mengalir ke bagian- bagian vital dalam tubuh lembaga keuangan. Dengan cash flow yang bagus lembaga keuangan bisa memenuhi kewajibannya membayar beban bunga untuk Dana Pihak Ketiga. Dengan cash flow itu pula lembaga keuangan menutupi biaya operasioalnya. Kita bisa bayangkan bila cash flow terhambat maka aliran kewajiban ke hilirnya juga akan sulit dilaksanakan.

Kedua, kesulitan likuiditas. Down atau bahkan tumbuh minus 0,2 persen perekonomian bangsa ini pastilah membuat pelaku usaha dan masyarakat kesulitan likuiditas juga. Sudah hukum alam ketika paceklik melanda maka padi di dalam lumbung lah yang diambil untuk makan sambil mencari peluang untuk bisa mendapatkan beras kembali. Begitu jugalah dengan likuiditas di lembaga keuangannya khususnya Perbankan. Ketika ekonomi melambat seperti saat ini maka pemilik dana diyakini akan melakukan penarikan terhadap dana yang mereka tempatkan di bank. Langkah ini akan semakin cepat apabila berkelindan pula dengan kesulitan atau ketidakmampuan lembaga keuangan membayarkan beban bunga akibat dampak timpangnya cash flow perusahaan.

Data Otoritas Jasa Keuangan Loan to Deposit Ratio (LDR) berada ditingkat 91,81 persen. Artinya, dari total Dana Pihak Ketiga lembaga keuangan khususnya perbankan yang dihimpun disalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit sebanyak 91,81 persen. Bila saja, masyarakat atau deposan menarik dana hingga melebihi 15 persen saja dari total dana pihak ketiga secara nasional maka game over lah tu barang.

Ketiga, menampiknya realisasi kredit. Ancaman turbulensi kredit merupakan gambaran pasti yang akan dihadapi lembaga keuangan. Tak masuk diakal kalau dalam ekonomi sulit seperti ini masih ada orang atau pelaku usaha yang berani melakukan ekspansi usaha apalagi dalam skala besar padat modal dan padat karya. Kalau ada yang berani berarti jiwa gamblingnya sangat luar biasa dan atau orang gila yang mau melakukannya.

Penurunan kredit juga tak bisa dilihat sebelah mata. Kredit adalah jantung usahanya lembaga keuangan. Melalui kredit inilah pendapatan bisa di dapatkan. Melalui kredit inilah sederetan biaya ditutupi. Melalui kredit ini pulalah peran intermediasi dilaksanakan.

Bak pisau bermata dua, jika kredit mengalami perlambatan atau mengalami penurunan maka konsewensinya adalah melambungnya ratio dan besaran kredit bermasalah (Non Perfomance Loan/NPL). Tak sampai disitu, regulasi mewajibkan lembaga keuangan untuk melakukan pencadangan Pencadangan Penyelamatan Aktiva Produktif (PPAP) dan CKPM agar lembaga keuangan bisa bertahan. Bayangkan saja, sudahlah kewajiban biasa rutin saja lembaga keuangan mengalami kendala, kini lembaga keuangan wajib pula membentuk pencadangan. Artinya, jangankan berlaba, bisa saja pokok yang dibawanya.

Kelima, gagal bayar. Inilah yang paling kita takuti. Gagal bayar adalah hantu yang paling menakutkan bagi lembaga keuangan. Gagal bayar tak ubahnya ibaratkan kiamat bagi lembaga keuangan. Sebab, selain lembaga keuangan itu sendiri yang diterpanya, masyarakat pun dibuatnya resah. Gagal bayar ini sangat gampang memicu trush negative public dan sangat-sangat berpotensial menimbulkan dampak sistemik. Sunguh sangat-sangat menakutkan.

Pertahanan terakhir kita adalah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai “Dewa Penyelamat” dalam kondisi sulit tersebut. Bila kita mengacu pada asset Lembaga Penjamin Simpanan maka kita akan bertambah cemas lagi. Pasalnya, Ketua LPS Lina Soelistiyaningsih dikutip dari www.teropongsenayan.com mengungkapkan dana yang dimiliki LPS saat ini hanya lah Rp 120 Triliun yang bersumber dari premi anggota. Uang sebanyak itu harus di repo kan pula ke Bank Indonesia sebanyak 50 persen. Artinya, hanya lebih kurang Rp 60 Triliun lah dana yang siap digelontorkan ketika ada anggota yang membutuhkan support akibat gagal bayar atau bank failure.

Tak bisa kita membayangkan dengan cadangan “tekak” itu lembaga keuangan ini bisa diselamatkan. Jangankan untuk seluruh lembaga keuangan yang menjadi anggotanya, dana sebanyak itu hanya mampu untuk men cover 4 sampai 5 lembaga keuangan di papan tengah. Bayangkan jika yang terpapar resiko gagal bayar itu adalah perbankan besar. Mungkin untuk menutupi kewajiban bayar satu atau dua bank saja tidak cukup.

Mungkin ini pulalah dasar ketakutan dan kecemasan yang berakhir dengan deraian air mata dari Gubernur Bank Indonesia. Dalam rapat dengan pendapat dengan Komisi X DPR-RI Gubernur Bank Indonesia sempat meneteskan air mata. Beliau tak kuat membayangkan kalau kapal Nabi Nuh tenggelam ditelan badai. Apakah ini kata kiasan atau kata yang sebenarnya? Pembaca bisa menterjemahkan sendiri.

Apa yang harus kita lakukan sebagai anak bangsa? Tentulah kita harus bersinergis menyelamatkannya. Sudah tidak saatnya lagi kita berdebat, sudah tidak saatnya kita berhitung untung dan rugi dalam melaksanakan kewajiban. Ibaratkan telur dengan ayam. Lembaga keuangan ini juga berperan nyata dalam membangun ekonomi bangsa. Artinya, jika kita sebagai anak bangsa punya kewajiban dengan lembaga keuangan dan masih punya kemampuan untuk melaksanakannya maka lakukan lah. Janganlah memaksakan diri ikut pula mengajukan dan menikmati fasilitas relaksasi itu. Biarlah para pelaku UMKM diakar rumput terbawah yang merasakan dan menikmati relaksasi itu.

Disaat wabah Corona ini selain kita musti #savetanegamedis, kita juga harus #savelembagakeuangan. Sebab, tak ada aktivitas di negara ini yang bisa berdiri sendiri. Semuanya saling kait berkait. Agar kaitan yang saat itu mulai rapuh bisa kokoh kembali maka kita mulailah sebagai anak bangsa untuk memberi dan menomorduakan untuk menerima. Mundurlah kita selangkah untuk kebaikan seribu langkah dimasa mendatang. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.