Oleh: Anggi Aulia Desmarinda
Menjelang sore di penghujung Ramadan, 1441 Hijriah. Hujan turun membasuh Kota Payakumbuh. Seorang lelaki sepuh, berkemeja putih bermotif, berlari-lari kecil meninggalkan masjid. Tubuhnya tampak kuyup. Ia tampak hendak menuju rumahnya di belakang Balai Adat Parambahan, Lampasi Tigo Nagori, Kota Payakumbuh.
“Bun, ada Atuk, Bun,” ujar putraku menunjuk ke arah lelaki itu, sebelum aku sempat memanggil beliau. Ketika itu kami sedang bermain di teras depan rumah.
“Eh, iya ya.. Atuk ngak bawa payung,” jawabku sekenanya.
Azka mengajakku ke rumah Atuk. Ia sangat senang kalau bermain di rumah Atuk. Aku memintanya mandi terlebih dahulu.
Selesai mandi, Ia merengek menagih janji untuk pergi ke tempat Atuk. Rumah beliau tak jauh dari kediamanku. Beberapa hari ini, aku memang tak ke mana-mana. Lebih banyak di rumah, sesuai anjuran pemerintah. Sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Payakumbuh, 22 April 2020, tak banyak yang aku lakukan di rumah, selain bermain dengan si kecil dan melakukan pekerjaan rumah.
Selama Ramadan, aku lebih banyak bekerja dari rumah. Work From Home istilah kekiniannya. Datang ke kantor tempatku bekerja hanya sekali seminggu, sesuai jadwal piket yang telah disusun. Banyak hal memang yang terasa hilang di Ramadan tahun ini.
Azka ku gendong ke rumah Atuk. Aku mengatur langkah. Jalan tanah yang becek karena digenangi air. Aku hati-hati memilih jalan ke rumah Atuh agar tidak terperangkap kubangan.
Kehadiran kami disambut Atuk yang sedang berada di ruang tamu. Pintu rumahnya terbuka. Kami segera masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Anakku memang sering berkunjung ke rumah itu. Selain Atuk dan istrinya menyukai anak kecil, mereka juga masih memiliki hubungan keluarga dengan suamiku. Apalagi biasanya menjelang lebaran, anak dan cucunya pulang kampung. Anakku banyak menghabiskan waktu disana. Namun, Ramadhan kali ini tentu berbeda.
”Longang raso puasa kini, yo Pak Ujang,” sapaku memulai pembicaraan. Aku memang biasa menyapanya dengan sapaan tersebut.
“Iyo, longang bona, sumbayang ndak ado ka masojik le. Cako poi azan sajonyo,” katanya.
Tak lama, isteri Atuk keluar dari kamar dan menghampiri kami. Ia kemudian menawarkan Azka main mobil-mobilan. Ia memberikan mobil-mobilan Bang Beril, cucunya. Anakku segera mengambil mainan tersebut dan mulai asyik bermain.
“Rasa gag bulan puasa sekarang, ya Nggi,” ucap Mak Ida, istrin Atuk padaku.
“Iya, Mak. Hampa,” jawabku.
Pak Ujang atau Atuk sebenarnya memiliki nama Zamri N. Beliau sudah berumur 70 tahun. Ia masih sehat bugar. Sehari-hari bekerja sebagai marbot atau garin Mesjid Muttahiddin, Parambahan. Sudah 20 tahun pekerjaan ini dilakoninya. Sebelum menjadi garin, ketika usia 20-an tahun, beliau berprofesi jadi Guru Mengaji di mesjid tersebut.
“Sudah 50 tahun lamanya saya di masjid. Waktu itu, tahun 1970 awal-awal Payakumbuh baru menjadi kotamadya, sebelumnya bergabung dengan Kabupaten Limapuluh Kota, saya sudah di masjid jadi guru mengaji. Berarti sudah 50 tahun lamanya. Namun, sekarang Mesjid ditutup,” bebernya tanpa diminta.
Ada gurat kesedihan yang mendalam pada kedua bola mata lelaki sepuh itu. Memang semenjak Virus Korona mewabah di Payakumbuh, banyak hal yang terasa hilang, salah satunya kebebasan. Apalagi di bulan penuh berkah yang dinanti-nantikan oleh seluruh umat Muslim di dunia ini. PSBB yang diberlakukan pemerintah memang menutup akses untuk berkumpul kecuali dalam keadaan mendesak pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selama Ramadan, seluruh kegiatan ibadah seperti taraweh, tadarus, suluk, wirid dan lain sebagainya yang biasanya dilaksanakan di masjid/mushala, kini ditiadakan. Kegiatan ini dilakukan di rumah. Warga yang tidak mematuhi kebijakan social distancing dan physical distancing akan dikenakan sanksi, baik berupa teguran dan pembubaran aktifitas tersebut.
“Waktu saya remaja dulu, Ramadan memang sangat dinanti-nantikan. Berbagai kegiatan kami gelar selaku remaja mesjid. Ada satu tradisi Manapa. Kami berkunjung ke Masjid-masjid yang ada di Kota Payakumbuh ini untuk melakukan tadarus, begitu sebaliknya. Remaja-remaja masjid lain juga sering datang ke Masjid Muttahiddin ini untuk Manapa. Apalagi, waktu itu, di Lampasi ini baru ada Masjid Muttahiddin. Jadi sangat ramai,” ujarnya tersenyum mengenang masa remajanya. Istrinya juga ikut tersenyum mengenang kisah mereka.
“Dulu kami mengayuh sepeda untuk pergi Manapa. Tadarus sampai subuh setiap hari,” ujar Mak Ida, istrinya yang bernama lengkap Aida itu.
“Iya benar sekali. Pas buka dan sahur memang biasanya kami yang laki-laki sering di masjid. Makanan biasanya masyarakat bergiliran mengantarkan ke Masjid,” lanjutnya kemudian.
Tapi itu dulu. Beberapa tahun belakangan tradisi tersebut hilanmg ditelan waktu dan bumi. Tidak banyak remaja yang datang ke masjid untuk ibadah. Kebanyakan hanya bermain di luar. Apalagi saat Korona melanda. Jangankan untuk Manapa, salat yang wajib saja tidak diperbolehkan di masjid,” katanya Pak Ujang murung.
“Pas malam takbiran juga semakin seru. Kita biasanya melakukan pawai obor keliling kecamatan. Bahkan biasanya ini diperlombakan. Geliat Ramadan begitu kental terasa kala itu,’ ujarnya melanjutkan.
Ramadan memang tinggal beberapa hari lagi, namun angin segar kepergian Korona belum ada tanda-tandanya.
Pak Ujang melanjutkan, banyak yang hilang. Infak sedekah Ramadan juga tidak ada. Buka bersama dengan anak yatim tak bisa dilaksanakan. Padahal itu agenda tahunan agar anak-anak yatim tersebut juga gembira.
Mak Ida melanjutkan, anak dan cucunya juga tak akan pulang pada lebaran kali ini. Anak-anaknya merantau ke Riau, Jambi dan Irian Jaya. Hanya Pak Ujang dan istrinya di rumah. Padahal moment pulang kampung anak cucunya sangat dirindukan, apalagi hanya sekali setahun.
Korona telah memberikan banyak ujian, tapi juga banyak hikmah di baliknya. Menuntut kepedulian, kepekaan, kesabaran dan ketabahan. Tabah dalam menghadapi semua musibah yang diberikan Allah SWT ini.
Semoga wabah ini segera berlalu, agar Ramadan yang terasa “hilang” segera kembali. Allah Maha Besar. (***)