OPINI  

Teologi Cinta dan Kepedulian Ekologis

Eka Putra Wirman ( Guru Besar Teologi dan Pemikiran Islam UIN Imam Bonjol Padang).

Dalam banyak ajaran agama, cinta bukan sekadar perasaan atau emosi pribadi, melainkan inti dari relasi antara manusia dengan Tuhan, dan antar manusia sendiri.

Cinta menjadi dasar pemahaman tentang Tuhan, keberadaan, dan etika kehidupan serta menjelma menjadi cara hidup dan dasar seluruh spiritualitas. Dalam kajian keimanan tingkat advance, implikasi dan konsep yang demikian dikenal dengan istilah teologi cinta.

Teologi cinta merupakan cabang pemikiran teologis yang menafsirkan eksistensi Tuhan dan tindakan ilahi melalui perspektif kasih.

Dalam pandangan ini, cinta bukan sekadar atribut Tuhan, melainkan identitas-Nya. Ungkapan seperti wa ma arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin dalam Islam, atau istilah Deus Caritas Est (Tuhan adalah kasih) dalam tradisi Kristen, menunjukkan bahwa cinta adalah pusat dari pengalaman beragama.

Cinta Tuhan kepada manusia dipahami sebagai tanpa syarat dan penuh belas kasih. Teologi cinta menekankan bahwa relasi manusia dengan Tuhan bukan berdasarkan rasa takut, tetapi relasi cinta yang membebaskan.

Cinta tidak hanya vertikal (kepada Tuhan), tetapi juga horizontal—kepada sesama manusia, termasuk musuh dan orang yang berbeda. Ini adalah bentuk cinta yang aktif seperti mengampuni, menolong, dan menghormati martabat setiap manusia.

Teologi cinta juga mendorong penghargaan terhadap diri sendiri, bukan dalam arti egoisme, melainkan menerima diri sebagai ciptaan Tuhan yang bernilai. Ini menjadi dasar bagi cinta kepada orang lain.

Dalam perjalanan sejarah, teologi sering kali dipakai untuk memperkuat kekuasaan, membenarkan hukuman, bahkan perang. Teologi cinta menjadi alternatif radikal terhadap pendekatan tersebut. Ia menolak citra Tuhan sebagai sosok yang murka dan kejam, dan menggantinya dengan Tuhan yang memulihkan, menyembuhkan, dan menyayangi.

Karen Amstrong dalam bukunya Fields of Blood menyatakan agama bukanlah akar kekerasan tetapi sering digunakan sebagai saluran konflik sosial dan politik yang lebih dalam.

Teologi cinta bukanlah teologi yang lembek dan permisif, melainkan teologi yang berani—karena cinta sejati menuntut pengorbanan, keberanian untuk mengampuni, dan komitmen pada keadilan.

Dalam cinta, Tuhan tidak hanya dipahami sebagai kekuatan transenden, tapi juga hadir nyata dalam relasi kita dengan sesama. Lewat cinta, agama menemukan kembali wajah sejatinya yaitu jalan menuju kemanusiaan yang utuh bukan alat kekuasaan.

Kurikulum cinta dalam dunia Pendidikan teologi cinta diwujudkan dalam bentuk kurikulum berbasis cinta (KBC) sebagai respons terhadap berbagai krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi ekologi yang kian mengkhawatirkan.

Dalam dunia Pendidikan cinta harus menjadi poros utama dalam pembentukan karakter peserta didik.
Ada lima nilai utama yang menjadi basis dalam kurikulum berbasis cinta yaitu, cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada diri dan sesama, cinta kepada llmu pengetahuan, cinta kepada Lingkungan, cinta kepada Bangsa dan Negeri.

KBC didedikasikan untuk mencetak generasi yang unggul dalam akademik, serta matang dalam spiritualitas, toleran, dan cinta lingkungan.

Kurikulum berbasis cinta sangat konsen dengan lingkungan tempat cinta kepada alam bersemi, yaitu kesadaran bahwa manusia bukan penguasa atas alam, melainkan bagian dari sistem kehidupan yang harus dijaga bersama.

Eksploitasi alam dengan dalih kepentingan pragmatis manusia harus dihentikan. Perusakan terhadap lingkungan merupakan pengingkaran dari cinta sejati kepada pencipta alam semesta.

Kepedulian Ekologis

Dalam beberapa dekade terakhir, krisis lingkungan seperti perubahan iklim, deforestasi, pencemaran air dan udara, serta punahnya spesies telah menjadi isu global yang mendesak. Ekoteologi perlu hadir untuk menghubungkan antara iman, alam, dan tanggung jawab manusia terhadap lingkungan.

Dalam ekoteologi, lingkungan bukan sekadar latar tempat manusia hidup, tetapi juga bagian dari ciptaan Tuhan yang memiliki nilai intrinsik dan harus dipelihara. Ekoteologi mendorong umat beriman untuk melihat alam sebagai “rekan ciptaan” dan bukan sekadar sumber daya yang dieksploitasi.

Setidaknya ada 4 (empat) prinsip utama dalam kajian ekoteologi yaitu unity of creation, moral responsibility, spiritual sustainability dan echo-theology justice. Dengan memahami empat prinsip utama di atas maka ada jaminan alam semesta lebih harmoni dan terjaga dari eksploitasi dan degradasi.

Ekoteologi mengajak manusia untuk tidak hanya berpikir ekologis, tetapi juga hidup secara etis dan spiritual selaras dengan alam. Di era krisis iklim saat ini, ekoteologi bisa menjadi jembatan antara iman dan aksi nyata untuk menyelamatkan bumi.

Ekoteologi berkontribusi dalam membangun kesadaran bahwa perusakan lingkungan bukan hanya masalah ilmiah atau ekonomi, melainkan juga dosa moral dan pelanggaran terhadap kehendak ilahi. Dengan menginternalisasi nilai-nilai spiritual dalam praktik kehidupan sehari-hari, ekoteologi mendorong perubahan paradigma dari eksploitasi menjadi pelestarian.

Banyak komunitas keagamaan kini mengintegrasikan prinsip-prinsip ekoteologis dalam liturgi, pendidikan, dan aksi sosial lingkungan.
Kehidupan yang dipenuhi oleh cinta akan membawa manusia menuju kehidupan harmoni secara individu, sosial dan mondial.

Keseimbangan akan terwujud dan serasi antara kehidupan spiritual, mental dan fisik. Bagi Indonesia, ini merupakan jawaban untuk menuju Indonesia emas tahun 2045, semoga. (*)