DAERAH  

Sumbar Berpotensi Jadi Pusat Perfilman Indonesia

Akademisi, Praktisi dan Tokoh Pers Sepakat Perkuat Ekosistem

ara tokoh pers, akademisi dan praktisi film Sumatera Barat menggelar diskusi serius membahas potensi Sumbar sebagai pusat perfilman Indonesia

Padang,rakyatsumbar.id—-Para tokoh pers, akademisi dan praktisi film Sumatera Barat menggelar diskusi serius membahas potensi Sumbar sebagai pusat perfilman Indonesia.

Diskusi yang melibatkan Ketua Prodi Magister Komunikasi FISiP Unand Emeraldy Chatra, mantan Pemred tiga media mainstream Sumbar Revdi Iwan Syahputra dan Wakil Ketua PWI Sumbar Eriyanto Leo serta praktisi film Antoni Syamsir.

Mereka menyoroti jejak historis dan langkah strategis menuju visi tersebut.

“Sumbar memiliki modal kuat untuk menjadi pusat perfilman Indonesia, mengingat kontribusi historis tokoh Minangkabau dalam industri film nasional sejak era kolonial,” ungkap Emeraldy Chatra dalam diskusi tersebut.

Chatra mengingatkan bahwa jauh sebelum kemerdekaan, tokoh-tokoh Minang seperti Saeroen dan Andjar Asmara telah menjadi pelopor perfilman Indonesia.

Saeroen, jurnalis kelahiran Padang, menciptakan sukses besar melalui skenario film “Terang Boelan” (1937). Sementara Andjar Asmara dari Alahan Panjang memberikan kontribusi penting lewat film “Kartinah” (1940).

Pasca kemerdekaan, nama-nama besar seperti Asrul Sani dan Usmar Ismail semakin mengukuhkan posisi orang Minang dalam perfilman nasional. “Usmar Ismail bahkan dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia melalui karya monumentalnya ‘Darah dan Doa’,” tambah Chatra.

Dalam diskusi tersebut, para tokoh menyepakati lima langkah strategis yang perlu direalisasikan. Mulai dari pembangunan infrastruktur modern, pengembangan SDM melalui sekolah film, penguatan ekosistem industri kreatif, pelestarian konten lokal, hingga pembentukan jaringan dengan industri film nasional dan internasional.

Revdi Iwan Syahputra menekankan pentingnya sinergi antara pelaku industri film, pemerintah daerah, dan stakeholder terkait. “Kita butuh kemudahan perizinan, insentif produksi, dan promosi lokasi syuting yang serius,” ujarnya.

Sementara itu, Eriyanto Leo menambahkan bahwa kekayaan budaya Minangkabau bisa menjadi sumber inspirasi tak terbatas untuk produksi film. “Dengan pendekatan modern dan universal, cerita rakyat hingga adat istiadat kita bisa mendunia,” tegasnya.

Para tokoh sepakat bahwa mewujudkan Sumbar sebagai pusat perfilman Indonesia membutuhkan komitmen kuat dan implementasi konsisten dari semua pihak. Dengan modal sejarah, potensi alam, dan kekayaan budaya yang dimiliki, visi ini diyakini bukan sekadar angan-angan. (*)