Raja Penyair Pinto Janir Mengguncang Kota Tua

Di antara bangunan kolonial yang renta oleh waktu, puluhan penyair dari berbagai kota di Indonesia menyalakan bara lewat puisi. Namun malam itu, semua sorot mata akhirnya berlabuh pada sosok sederhana yang berdiri dengan wibawa tenang: Pinto Janir, sang Raja Penyair dari Minangkabau.

Puisi Jadi Senjata, Kata Jadi Cermin Rakyat

Jakarta, Rakyat Sumbar – Sore di Kota Tua Jakarta berubah menjadi panggung kata. Di antara bangunan kolonial yang renta oleh waktu, puluhan penyair dari berbagai kota di Indonesia menyalakan bara lewat puisi. Namun malam itu, semua sorot mata akhirnya berlabuh pada sosok sederhana yang berdiri dengan wibawa tenang: Pinto Janir, sang Raja Penyair dari Minangkabau.

Ia melangkah ke mikrofon tanpa banyak basa-basi. Lalu suaranya mengalun, lirih tapi menusuk, merajut kata-kata yang seketika membuat kerumunan terdiam.

“Rakyat susah, susah benar jadi rakyat…”

Bait itu tidak sekadar puisi—ia bagai jeritan yang dipendam lama oleh jutaan dada rakyat kecil. Pinto bukan sedang bermain kata; ia sedang menelanjangi kenyataan.

Belum sempat hadirin melepaskan napas, ia kembali menghentak:

“Keparat berlagak malaikat…”

Kalimat pendek, keras, dan pahit itu meluncur seperti cambuk. Satire yang melukai sekaligus menyembuhkan, sebab di sanalah kebenaran bersemayam.

Suara-suara dari Penonton

Selepas penampilan itu, tepuk tangan panjang pecah. Namun lebih dari sekadar aplaus, kata-kata Pinto menyisakan jejak yang membekas.

Rina, mahasiswa asal Yogyakarta, tampak masih menahan haru. “Saya merinding waktu beliau baca ‘Rakyat susah, susah benar jadi rakyat’. Itu kan suara kita sehari-hari. Rasanya puisi itu jadi cermin, tapi juga tamparan.”

Budi, pegiat literasi dari Jakarta, justru terpukul pada bait kedua. “’Keparat berlagak malaikat’ itu satire keras. Puisi ini seperti peluru, tapi peluru yang indah bahasanya,” ujarnya.

Sulastri, ibu rumah tangga asal Bekasi, yang mengaku jarang bersentuhan dengan puisi, pun tersentuh. “Saya nggak biasa dengar puisi. Tapi tadi terasa beda. Kata-kata sederhana begitu bikin saya ingin nangis,” katanya lirih.

Darmawan, seniman asal Bandung, melihat Pinto sebagai penyair yang membawa api. “Dua puisinya sederhana, tapi justru di situ kekuatannya. Dia nggak bermain kata rumit, tapi langsung menghantam inti persoalan bangsa. Puisi bisa jadi senjata moral,” tegasnya.

Sementara Nabila, pelajar SMA dari Jakarta Utara, mengaku mendapat pengalaman baru. “Awalnya saya cuma ikut-ikutan. Tapi begitu dengar Pinto Janir, rasanya kayak dengar orasi, tapi lebih indah. Saya suka sekali. Ada harapan, masih ada orang yang berani bicara sejujurnya,” tuturnya.

Puisi Sebagai Api Kesadaran

Malam kian turun, lampu jalan menyala, namun kata-kata itu tetap beterbangan di udara Kota Tua. Pinto Janir menutup penampilannya dengan senyum samar—senyum seorang penyair yang tahu bahwa puisinya tak serta-merta mengubah dunia, tapi sanggup menyalakan api kesadaran di dada manusia.

Kota Tua malam itu bukan sekadar ruang tua saksi sejarah. Ia menjadi altar kata, tempat rakyat diingatkan bahwa puisi masih bisa menjadi pedang, sekaligus pelukan. Dan Pinto Janir, sang Raja Penyair, sekali lagi membuktikan: bahasa bisa menjadi perlawanan, bisa pula menjadi cahaya.(ope)