Profesi dan Etika: Perang Komunikasi di Pendidikan Tinggi
Apakah kita pernah berpikir bagaimana konflik komunikasi antara dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi terjadi? Pendidikan tinggi dipandang sebagai tempat di mana ilmu disampaikan, tetapi juga di mana kekuasaan dan etika diperdebatkan.
Oleh: Ahmad Nusi
Mahasiswa S3 IKB FBS-Universitas Negeri Padang
Menyoroti tentang bagaimana komunikasi berlangsung antara dosen dan mahasiswa, terutama ketika mahasiswanya adalah profesional berpengalaman yang mengejar gelar lanjutan, adalah sebuah tantangan etika yang menarik.
Isu ini akan meracik perdebatan tajam tentang bagaimana perspektif filsafat membantu kita memahami masalah kompleks ini.
Ketika Status Meruntuhkan Komunikasi
Interaksi di perguruan tinggi mungkin menjadi contoh terbaik tentang bagaimana kekuasaan dan status memengaruhi komunikasi. Dalam dunia pendidikan tinggi, perbedaan status antara dosen dan mahasiswa seharusnya tidak hanya menjadi masalah ilmu, tetapi juga etika.
Dosen memiliki otoritas akademik, sementara mahasiswa membawa pengalaman dunia nyata yang berharga. Konflik etika yang muncul dari perbedaan status ini adalah apa yang akan kita kupas dalam artikel kontroversial ini.
Dosen dipandang sebagai suatu profesi, mereka diwajibkan memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus. Oleh karena itu, profesionalisme diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan berkualitas dan berstandar tinggi.
Dosen memiliki tugas dan tanggung jawab yang dikenal sebagai Tri Dharma perguruan tinggi, yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Profesionalisme dosen juga ditandai oleh penguasaan pengetahuan teknis, kemampuan untuk mengubah pengetahuan menjadi keterampilan, dan selalu menjunjung etika dan integritas profesi.
Dilain sisi, “mahasiswa profesional” merujuk pada mahasiswa yang memiliki pengalaman kerja dan sebelumnya telah bekerja di dunia nyata sebelum memutuskan untuk mengejar gelar lanjutan di perguruan tinggi, seperti gelar S2 atau S3.
Mahasiswa seperti ini sering kali memiliki latar belakang yang berbeda dari mahasiswa tradisional yang baru lulus dari pendidikan tingkat sarjana. Mahasiswa profesional ini memiliki pengalaman kerja yang berharga dan pengetahuan praktis yang relevan dengan bidang studi mereka.
Mereka mungkin sudah menempati posisi jabatan tertentu atau memiliki tanggung jawab yang signifikan di tempat kerja sebelum memasuki lingkungan pendidikan tinggi. Oleh karena itu, mereka membawa perspektif dan pengalaman yang unik ke dalam kelas, yang dapat menciptakan tantangan komunikasi khusus ketika berinteraksi dengan dosen.
Konsep “mahasiswa profesional” ini penting karena menunjukkan bahwa konflik komunikasi dalam konteks pendidikan tinggi tidak hanya muncul dari perbedaan status akademik antara dosen dan mahasiswa, tetapi juga dari perbedaan latar belakang pengalaman kerja dan pendidikan.
Dalam situasi ini, terdapat beberapa tantangan komunikasi yang perlu dihadapi. Pertama-tama, mari bicarakan tentang konflik bahasa dan penyampaian. Dosen sering menggunakan bahasa yang terlalu formal atau otoriter, yang bisa membuat mahasiswa merasa tidak nyaman.
Sebaliknya, mahasiswa berpengalaman cenderung mengharapkan pendekatan yang lebih inklusif dan dialogis. Inilah yang menjadi pangkal perdebatan di antara keduanya. Kedua, perbedaan perspektif dan pengalaman. Mahasiswa berpengalaman membawa pengalaman dunia kerja yang berharga ke dalam kelas.
Dosen perlu mengintegrasikan pengalaman ini dalam pembelajaran tanpa mengesampingkan aspek akademik yang penting. Ketiga, perbedaan status dan martabat. Status dosen tidak selalu mencerminkan perbedaan dalam martabat. Penghargaan terhadap martabat individu, kesepakatan bersama, dan saling pengertian adalah prinsip etika komunikasi yang harus dipegang teguh.
Peran Filsafat dalam Meredakan Konflik
Pendekatan filosofis adalah kunci untuk mengatasi konflik ini. Etika komunikasi mengajarkan pentingnya penghargaan terhadap martabat individu dan kesepakatan bersama. Konsep andragogi adalah pendekatan pendidikan yang difokuskan pada orang dewasa, yang mengakui perbedaan karakteristik, kebutuhan, dan pengalaman belajar orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak.
Mahasiswa berpengalaman di tingkat S2 dan S3 dapat dianggap sebagai “orang dewasa” dalam konteks pendidikan, sehingga pendekatan ini sangat relevan. Dalam konteks andragogi, mahasiswa perlu diperlakukan sebagai individu yang memiliki pengalaman dunia nyata dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
Disamping itu, kedua belah pihak baik dosen maupun mahasiswa harus memahami teori SPEAKING (Setting, Participants, Ends, Acts, Keys, Instrumentalities, Norms, Genre), yang dipelapori oleh Hymes yang merupakan kerangka kerja yang digunakan untuk memahami aspek-aspek komunikasi dalam konteks budaya dan bahasa.
Ini mencakup berbagai elemen seperti waktu dan tempat (Setting), pihak yang terlibat dalam pertuturan (Participants), maksud dan tujuan (Ends), bentuk dan isi ujaran (Acts), nada dan cara saat pesan disampaikan (Keys), jalur dan kode ujaran yang digunakan, misalnya lisan, tulisan, dialek, register dan lainnya (Instrumentalities), norma atau aturan dalam komunikasi (Norms), dan jenis bentuk penyampaian, misal narasi, puisi, doa dan lainnya (Genre).
Menggabungkan teori SPEAKING dengan konsep andragogi memungkinkan kita untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih inklusif dan berorientasi pada dialog.
Dengan menggabungkan konsep andragogi, dosen dapat memahami kebutuhan mahasiswa berpengalaman yang berbeda dan memberikan pendekatan yang lebih inklusif dan kolaboratif dalam kelas. Hasil dari penerapan solusi ini adalah menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih responsif terhadap kebutuhan mahasiswa berpengalaman.
Dosen dapat lebih baik berkomunikasi dengan mahasiswa, menghormati pengalaman mereka, dan mengintegrasikan pengalaman dunia nyata mereka ke dalam pembelajaran. Ini akan mengurangi potensi konflik komunikasi dan meningkatkan efektivitas proses pembelajaran bagi semua pihak.
Penerapan solusi ini juga mencerminkan pentingnya memahami konteks budaya dan bahasa dalam komunikasi di lingkungan pendidikan tinggi.
Dengan memadukan pendekatan pendidikan andragogi dengan pemahaman mendalam tentang teori SPEAKING, kita dapat mencapai keseimbangan antara otoritas akademik dan keterbukaan dalam komunikasi, menjaga martabat individu, dan memastikan proses pembelajaran yang efektif.
Harapan: Menemukan Solusi dalam Filsafat
Dalam dunia pendidikan tinggi, konflik komunikasi antara dosen dan mahasiswa adalah tantangan etika yang menarik. Konflik ini muncul karena perbedaan status, pengalaman, dan perspektif antara keduanya. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan filosofis menjadi kunci. Etika komunikasi mengajarkan pentingnya penghargaan terhadap martabat individu dan kesepakatan bersama.
Penerapan konsep andragogi, yang memandang mahasiswa berpengalaman sebagai “orang dewasa” dalam konteks pendidikan, membantu menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif. Dalam konteks andragogi, mahasiswa diperlakukan sebagai individu yang memiliki pengalaman dunia nyata, dan mereka aktif terlibat dalam proses pembelajaran.
Selain itu, pemahaman teori SPEAKING oleh Hymes, yang menggambarkan aspek-aspek komunikasi dalam konteks budaya dan bahasa, membantu menyempurnakan pendekatan ini. Melalui kerangka kerja ini, kita dapat memahami kapan, di mana, dan bagaimana komunikasi terjadi, siapa yang terlibat, apa tujuannya, tindakan apa yang dilakukan, serta norma dan genre komunikasi.
Dengan menggabungkan teori SPEAKING dengan konsep andragogi, kita menciptakan lingkungan pembelajaran yang berorientasi pada dialog dan inklusif. Ini memberikan solusi berkelanjutan untuk mengatasi konflik komunikasi antara dosen dan mahasiswa berpengalaman di perguruan tinggi, memastikan bahwa pendidikan tinggi tetap menjadi tempat di mana ilmu, etika, dan kekuasaan dapat berdampingan harmonis. (*)