Pasca Lebaran Angka Perceraian Meningkat, Temu Alumni jadi Penyebab
Ilustrasi perceraian.
Padang, rakyatsumbar.id – Pengadilan Negeri Agama Kota Padang mencatatkan terjadinya lonjakan angka perceraian pasca lebaran Idul Fitri 2023. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Pengadilan Agama Kota Padang Nursal.
“Pasca lebaran 2023, Pengadilan Negeri Agama menangani angka perceraian hingga mencapai 100 pasangan perhari. Hal ini berbeda sebelumnya, sebelum lebaran 2023 Pengadilan Negeri Agama mengurusi hanya 60 kasus perceraian saja setiap hari,” jelasnya saat di konfirmasi awak media.
Nursal menambahkan, penyebab perceraian beragam, tetapi yang menjadi pemicunya adalah acara reuni.
“Menghadiri acara reuni salah satu indikator terjadinya perceraian yang di tangani oleh Pengadilan Negeri Agama Kota Padang,” tambahnya.
Menyikapi maraknya perceraian yang sebabkan oleh acara reuni, Sosiologi dari Universitas Negeri Padang Eka Asih Febriani M.Pd menjelaskan acara reuni yang menciptakan perselingkuhan bukanlah faktor utama pemicu perceraian.
Menurutnya, faktor utama terjadinya perceraian adalah ketidakmampuan pasangan dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Eka Asih Febriani menegaskan, pemenuhan kebutuhan ekonomi bukan hanya kegagalan dalam usaha pemenuhan kebutuhan primer saja, melainkan pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier.
“Selain terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), gagalnya usaha dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi adalah faktor utama penyebab terjadinya perceraian,” ungkapnya, Minggu (30/4/2023).
Eka Asih Febriani menambahkan, dengan acara reuni, individu kembali mengenali lingkungan sosialnya yang dahulu.
“Dalam agenda reuni kembali terjadi interaksi sosial, apalagi lingkungan sosialnya terdahulu lebih baik dalam usaha pemenuhan kebutuhan ekonominya di banding dirinya. Perselingkuhan akan dimulai dengan proses kekaguman kepada individu lain (lawan jenis), yang berawal dari saling curhat melalui media sosial yang ada di ponsel pintar dan berlanjut kepada hubungan yang lain,” jelasnya.
Lebih lanjut, Eka Asih Febriani menilai, perceraian di usia muda pernikahan di sebabkan ketidakmatangan pasangan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam keluarga.
“Stigma perawan tua, menyebabkan keluarga memaksakan pernikahan terhadap anggota keluarganya. Alhasil, ketika timbul permasalahan, anggota keluarga yang dinikahkan itu, tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang bermuara kepada perceraian. Selain itu pernikahan yang dilakukan lebih berorientasi untuk menghindari prilaku menyimpang,” jelasnya.
Eka Asih Febriani menjelaskan juga, pada saat ini masyarakat tidak tabu dengan kata perceraian. Perceraian di anggap jalan keluar dalam menyelesaikan masalah dalam keluarga.
“Perubahan sosial menyebabkan pergeseran makna dari perceraian di tengah masyarakat. Perceraian pada saat ini bukan lagi menjadi yang tabu untuk dilakukan. Perceraian dilakukan pada saat ini sebagai solusi dalam menyelesaikan permasalahan, bukan lagi bentuk kegagalan yang tabu untuk dilakukan,” jelasnya.
Saat di singgung banyaknya perempuan yang mengajukan perceraian, Eka Asih Febriani menilai, pada saat ini perempuan dalam kehidupan modren mempunyai fungsi ganda, seperti mengurus rumah tangga dan pencari nafkah bagi keluarga.
“Dalam kehidupan moderen, pekerja perempuan tidak takut dengan perceraian. Hal ini dikarenakan ia mampu dan tanpa ketergantungan dalam usaha pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosialnya. Oleh karena itu, pada saat ini perempuan mendominasi dalam mengajukan perceraian di Kantor Pengadilan Agama,” tutupnya. (edg)