Muhamdiyah dan Politik : Corak Revivalisme, Modernisme dan Sekulerisme pada Muhammadiyah
Oleh : Wira Widytara
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang
Siapa yang tidak kenal Organisasi Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di tanah air, organisasi ini banyak bergerak di bidang dawkah dan mempunyai pengikut serta kantor perwakilan di seluruh penjuru tanah air. Muhammadiyah sendiri bersumber pada Alquran dan Sunnah, organisasi Muhammadiyah didirikan oleh KH. A. Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Kota Yogyakarta. Organisasi Muhammadiyah lahir dari ada nya kecemasan hal-hal mistik yang berakulturasi dengan ajaran agama islam di pulau jawa secara masive, hal ini menimbulkan kegelisahan dan keprihatinan sosial religius dan moral bagi KH. Ahmad Dahlan, untuk itu KH. Ahmad Dahlan mendirikan Organisasi Muhammadiyah untuk untuk memurnikan ajaran Islam.
Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dalam menjalankan kegiatannya pada azas dakwah amar ma’ruf nahyi munkar. Dakwah yang ada adalah dakwah yang terdapat dalam Alqur’an itu sendiri yaitu ad da’wah ila daris-salam,ad da’wah ilallah, ad da’wah ilal jannah, ad da’wah ilal khair dan sebagainya. Dakwah Muhammadiyah bersifat multidimensional dimana pengertianya adalah memahami dan mempelajari serta memperbaiki dalam asas sosial. Sebagai gerakan dakwah yang bersifat multidimensional Muhammadiyah mesti akan selalu berubah secara dinamis sesuai dengan konteks dimana ia hidup. Berdasarkan inilah Muhammadiyah banyak mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, universitas-universitas, masjid-masjid, pondok-pondok pesantren dan lainnya dalam rangka gerakan dakwahnya. Disamping itu, Muhammadiyah juga bergerak dalam bidang ekonomi dengan berusaha memberdayakan perekonomian rakyat, misalnya mendirikan BPR untuk membantu pengusaha-pengusaha kecil.
Tidak hanya di bidang itu saja, walaupun dengan tegas muhammadiyah menyatakan bertujuan untuk memelihara, memajukan agama juga kesejahteraan masyarakat islam, dalam praktek dan kenyataannya, Muhammadiyah tidak pernah bebas dan membebaskan organisasinya dari dinamika politik di tanah air. Dari orde lama hingga orde reformasi, Muhammadiyah pun melahirkan banyak tokoh-tokoh yang berpengaruh terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia, dan secara tidak langsung organisasi ini mengikuti dinamika dalam perpolitikan nasional. Islam menyebut politik dengan istilah Siyasah. Jika yang dimaksud politik adalah siyasah mengatur segenap urusan umat, maka Islam sangat menekankan pentingnya siyasah Politik itu sendiri, sedangkan menurut Miriam Budiarjo adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan system itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Muhammadiyah dalam Pemikiran Politik Islam
Pemikiran politik Islam terbagi tiga macam yakni revivalisme, sekularisme dan modernisme. Pertama revivalisme, yaitu paham yang menegaskan bahwa ajaran Islam merupakan hal yang sifatnya universal dan mencakup segala-galanya sehingga segala persoalan ada dalam ajaran Islam (Alqur’an dan Hadits). Muhammadiyah pada pola pemikiran Revivalisme terlihat pada saat tokoh-tokoh Muhammdiyah seperti Bagus Hadikusumo, Prof. Kahar Muzakir, KH. Mas Mansyur dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo pada saat sidang BPUPKI, mereka bersama organisasi Islam lainnya mengaspirasikan bahwa islam sebagai dasar negara. Walaupun dalam sidang PPKI 1945 mereka bermufakat bahwasanya dasar negara adalah pancasila dengan berketuhanan Yang Maha Esa.
Pola revivalisme secara kontektual berkaitan dengan tujuan membangun dan meletakan dasar bagi berdirinya NKRI. Ini adalah pertama kali Muhammadiyah secara praktis ikut serta dalam dinamika politik dalam mendirikan NKRI. Inilah yang mendasari secara formal bagi Muhammdiyah ikut dalam dinamika politik serta menjadi aspirasi bagi organisasi Islam lainnya untuk dinamis dalam perpolitikan di tanah air.
Kedua Modernisme, pola ini berpendapat bahwa dalam Al-quran tidak terdapat sistem politik, tetapi terdapat seperangkat nilai-nilai etika bagi kehidupan politik. Pelopor aliran ini Muhammad Husain Haikal, Ibn Taimiyah, Muh. Abduh, Al-Ghazali dan al Mawardi. Dalam pemikiran ini ditegaskan bahwa politik/negara merupakan hubungan yang simbiotik dengan agama, sehingga negara akan baik jika dipadukan dengan agama. Pola modernisme perilaku politik Muhammadiyah ini mempunyai wujudpada akar sejarah Muhammadiyah. Pertama, pada saat awal sebelum kemerdekaann dimana pada saat HOS. Cokroaminoto pemimpin Syarikat Islam dan KH. Akhmad Dahlan mewakili Muhammadiyah membangun kekuatan Islam dalam sejarah perjuangan bangsa. Kemudian pengakuan wajah ganda Muhammadiyah oleh pemerintah orde lama dan orde baru, yaitu Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan dan sekaligus berfungsi sebagai organisasi massa politik (orsospol), sehingga Muhammadiyah banyak menempatkan orang-orangnya di DPR dan di MPR-Gotong Royong. Dan terkahir dalam pola modernisasi adanya peristiwa sidang tanwir 1969 di Ponorogo, Jawa Timur, yang memutuskan kebijakan strategi atau khittah perjuangan Muhammadiyah yang di kalangan Muhammadiyah lebih popular dengan istilah khittah Ponorogo. Khittah ini menegaskan bahwa cita-cita perjuangan Muhammadiyah hanya bisa diwujudkan melalui dakwah Islam dengan dua saluran serentak, yaitu saluran politik alatnya adalah organisasi politik atau partai politik dan saluran masyarakat, alatnya adalah organisasi non-politik atau organisasi kemasyarakatan.
Ketiga Sekularisme, Alqur’an tidak mengatur masalah politik atau negara adalah esensi dari sekulerisme. Wujudnya tercermin pada perilaku politik Muhammadiyah yang menginginkan Muhammadiyah menjadi partai politik. Ide ini muncul setelah Partai Masyumi dan PII gagal merehabilitasi menjadi partai politik di awal Orde baru, kemudian Muhammadiyah mendapatkan tawaran darai pemerintah. Namun kemudian digantikan oleh Parmusi. Keinginan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik ternyata mempunyai akar sejarah dalam Muhammadiyah meskipun hanya dalam gagasan atau usulan dan tidak pernah berhasil diwujudkan.
Pada muktamar Muhammadiyah 1918, gagasan agar Muhammadiyah menjadi partai politik digelindingkan H. Agus Salim tersebut. Namun, gagasan tersebut tenggelam setelah KH. Ahmad Dahlan menjelaskan tentang Islam yang ditawarkan Muhammadiyah serta konsekuensi kepemelukan Islam, serta adanya kenyataan bahwa sebagian besar umat dan subjek sumber daya manusia Muhammadiyah belum memadai. Tiga pola perilaku politik Muhammadiyah ini akan mewarnai perkembangan Muhammadiyah selanjutnya. Eksistensi wujud sekularisme memang tidak pernah ada dalam sejarah Muhammadiyah, namun sebagai gagasan, pola ini muncul juga dalam putaran sejarah dan dinamika Muhammadiyah. (***)