rakyatsumbar.id

Berita Sumbar Terkini

Beranda » Model Pelatihan Teknisi Berbasis Teknologi Jaringan pada Industri Manufaktur

Model Pelatihan Teknisi Berbasis Teknologi Jaringan pada Industri Manufaktur

Dr.(c) Arif Rahman Hakim, Bersama Promotor dan Penguji, setelah sidang tertutup disertasi di S3 Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Universitas Negeri Padang pada tanggal 16 September 2022.

Pekerjaan perbaikan di industri manufaktur bertujuan untuk meningkatkan utilitas peralatan yang ada sebaik mungkin dan untuk memperpanjang umur ekonomis. Utilitas peralatan merupakan salah satu faktor untuk menghitung Overall Equipment Effectiveness (OEE).

OEE ini merupakan salah satu indikator kinerja yang diterapkan pada industri manufaktur. Indikator ini digunakan untuk mengukur produktivitas ataupun keefektifan kegiatan manufaktur.

OEE adalah suatu metode pengukuran tingkat keefektifan penggunaan mesin produksi, di samping beberapa faktor lain yang juga diperhitungkan.

Faktor utama yang diperhitungkan pada pengukuran kinerja dengan metode OEE adalah kesiapan mesin untuk kegiatan produksi (Availability).

Availability mesin merupakan ukuran waktu penggunaan mesin untuk kegiatan produksi dibandingkan terhadap waktu yang tersedia secara menyeluruh selama jam kerja.
Jumlah produk yang dihasilkan ini meliputi produk yang baik maupun yang cacat. Sebagai contoh, jika produktivitas suatu mesin adalah 100 produk per jam (UPH) akan tetapi dalam waktu kerja 8 jam jumlah produk yang dihasilkan adalah 700 unit, maka performancenya adalah 87,5%.

Kualitas (quality) adalah ukuran jumlah produk yang baik dibandingkan terhadap keseluruhan produk yang dihasilkan mesin tersebut selama jam kerja.

Suatu mesin yang berada dalam kondisi yang baik akan menghasilkan output yang sesuai spesifikasi yang dibutuhkan. Namun pada kenyataannya, tidak semua produk yang dihasilkan oleh mesin tersebut memenuhi spesifikasi yang ditetapkan.

Produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi tersebut dikatakan sebagai produk cacat atau defective.
Pengukuran OEE sangat penting dilakukan untuk mengevaluasi kesuksesan penerapan program Total Productive Maintenance (TPM) pada suatu industri manufaktur.

OEE digunakan sebagai Key Performance Index (KPI) utama dari mengevaluasi keberhasilan penerapan TPM.

Raffaele Iannone dan Maria Elena Nenni (2015:95) menyatakan bahwa dari studi yang sudah dilakukan, nilai OEE pada kebanyakan industri manufaktur adalah sekitar 60%.

Adapun nilai OEE berdasarkan best practice di industri manufaktur kelas dunia adalah 85%, dimana nilai ketersediaan mesin (availability) berada di atas 90%.

Perhitungan OEE menunjukkan bahwa ketersediaan mesin untuk kegiatan produksi merupakan faktor yang kritikal.  Mesin produksi diharapkan tersedia pada setiap saat diperlukan. Pada kenyataannya kadang kala mesin produksi tidak dalam keadaan siap untuk digunakan.

Keadaan tersebut dapat berupa; a) kondisi mesin yang sedang rusak, atau b) sedang dalam perawatan (maintenance) atau c) dalam proses persiapan untuk kegiatan produksi (set-up).

Ketiga keadaan tersebut tidak dapat dihindari, namun dapat dikontrol sehingga ketersediaan mesin dapat ditingkatkan.

Kerusakan mesin dapat ditekan dengan pelaksanaan kegiatan perawatan sehingga kerusakan yang tidak terduga, dapat diantisipasi.

Kegiatan perawatan mesin dapat diatur dengan menerapkan manajemen perawatan mesin, sedangkan untuk kegiatan set-up, dapat dioptimalkan dengan perencanaan produksi.

Kegiatan perbaikan dan perawatan mesin, merupakan kegiatan yang bertujuan agar mesin tetap dalam keadaan siap pakai.

Tingkat keterampilan teknisi melakukan kegiatan perawatan dan perbaikan mesin dipengaruhi oleh pelatihan dan pengalaman teknisi tersebut.

Semakin lama seorang teknisi bekerja di bagian tersebut semakin berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya. Tantangan industri manufaktur dewasa ini adalah banyaknya teknisi yang bekerja dengan status kontrak, sehingga tingkat turn over teknisi di industri manufaktur tergolong tinggi.

Teknisi memiliki fungsi utama untuk melakukan penyiapan mesin produksi (set-up dan conversion), perbaikan mesin serta perawatan mesin.

Fungsi teknisi ini berkaitan erat dengan availability mesin yang berpengaruh terhadap Overall Equipment Effectiveness (OEE).

Keterampilan seorang teknisi dalam melakukan pekerjaannya akan mempengaruhi produktivitas secara signifikan.

Apalagi di industri manufaktur yang telah terimbas revolusi industri 4.0 dimana otomatisasi dan robotisasi produksi membuat jumlah operator menurun drastis.

Sementara itu ketersediaan mesin dalam keadaan siap pakai (machine availability) merupakan kondisi yang sangat diharapkan untuk produktivitas.

Machine availability ini meliputi waktu set-up (set-up time), waktu pergantian modul produksi (conversion time), waktu perbaikan mesin (repair time) dan kehandalan mesin yang ditandai dengan istilah MTBF (mean time between failure), MTTR (mean time to repair).

Tingkat keterampilan teknisi sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu kompetensi teknis menjadi hal yang penting bagi seorang teknisi.

Salah satu yang bisa meningkatkan kompetensi tersebut adalah pelatihan. Di berbagai industri manufaktur, teknisi membutuhkan sertifikasi kompetensi, yang dapat diperoleh dari lembaga pelatihan eksternal maupun divisi pelatihan di organisasi tersebut.

Adapun kualifikasi pendidikan untuk level teknisi ini minimal adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Di perusahaan obyek penelitian, sertifikasi teknisi dilakukan oleh divisi training. Seorang teknisi harus mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh divisi training, selanjutnya mengikuti ujian untuk mendapatkan sertifikasi.

Di kawasan Industri Muka Kuning Batam, tingkat turn over teknisi ini berkisar 6% – 9% pertahun.

Tingkat turn over yang tinggi ini disebabkan antara lain oleh berakhirnya kontrak kerja teknisi tersebut.

Sementara itu, dengan berbagai pertimbangan dan kondisi bisnis yang fluktuatif menyebabkan pihak industri tidak dapat mempekerjakan teknisi secara permanen.

Para teknisi bekerja dengan sistem kontrak yang dapat diperpanjang atau diperbaharui. Dengan kondisi ini, seorang teknisi hanya dapat bekerja di suatu perusahaan untuk waktu paling lama 5 tahun.

Kondisi ini berpengaruh terhadap tingkat keterampilan teknisi di industri manufaktur selalu berada ditingkat keterampilan sedang dan rendah.

Pelatihan teknisi oleh pihak perusahaan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kualifikasi ataupun kompetensi yang dibutuhkan dari seorang teknisi.

Sebagian besar perusahaan manufaktur yang berada dikawasan industri Muka Kuning Batam, melakukan kegiatan pelatihan kepada teknisi yang baru saja bergabung dengan pihak perusahaan.

Pelatihan tersebut meliputi hal-hal umum tentang perusahaan, pengenalan produk dan proses serta pelatihan khusus tentang perawatan dan perbaikan mesin produksi yang ada di perusahaan tersebut.

Periode pelatihan yang dilakukan berkisar dari 4 minggu sampai dengan 12 minggu.

Penelitian yang relevan yang sudah ada belum memberikan gambaran yang jelas mengenai adanya pelatihan untuk teknisi industri manufaktur.

Sedangkan di Batam, tempat lokasi penelitian ini dilakukan, ada sekitar 74 perusahaan manufaktur yang berkecimpung di bidang komponen elektronik yang sejenis dengan tempat penelitian ini (Data Kemenperin 2022).

Sehingga dengan penelitian ini hasilnya dapat juga digunakan secara optimal di Kawasan Industri Batam dan Kepulauan Riau.

Teknik pelatihan yang dipakai adalah On the Job Training. Teknisi yang baru direkrut diajak langsung melakukan kegiatan di lini produksi dibawah supervisi seorang teknisi senior atau engineer.

Pengukuran efektivitas pelatihan dilakukan dengan menggunakan borang survey efektivitas pelatihan yang diisi oleh atasan teknisi bersangkutan.

Penelitian ini termasuk kategori penelitian pengembangan yang dilakukan di salah satu industri manufaktur di kawasan industri Muka Kuning Batam, yaitu PT. Unisem Batam.

Identifikasi masalah diawali dari fenomena nilai Overall Equipment effectiness (OEE) yang tidak sesuai dengan harapan.

Nilai OEE ini merupakan salah satu key performance indicator pada kegiatan produksi. Nilai OEE yang diharapkan manajemen adalah lebih dari 85%.

Model pelatihan ditujukan untuk meningkatkan efektivitas pelatihan dengan melibatkan partisipasi aktif peserta. Pada model yang baru ini, teknisi sebagai peserta pelatihan menempati posisi sentral kegiatan.

Adapun trainer atau pelatih menempati posisi sebagai fasilitator
Pada kegiatan analisis pembelajar dan konteks ini, peneliti melakukan kajian yang mencakup keterampilan, pengetahuan, sikap dan karakteristik awal pembelajar.

Teknisi baru atau Teknisi Junior diberi kesempatan lebih luas untuk berkontribusi dalam kegiatan pelatihan.

Mereka diberi kesempatan untuk memberikan masukan tentang kebutuhan pelatihan mereka. Adapun trainer berfungsi sebagai fasilitator yang mengakomodasi masukan dari peserta pelatihan.

Masukan tersebut bisa berupa masukan untuk kebutuhan pelatihan, materi pelatihan, cara penyelenggaraan pelatihan dan proses kualifikasi serta evaluasi program pelatihan.
Pengelolaan pelatihan teknisi ini dikelola secara on-line dari segi pendataan peserta, proses pelatihan dan penilaian hasil training.

Kompetensi yang dinilai masih berupa kognitif atau pengetahuan praktikal mengenai pekerjaan sebagai teknisi di perusahaan.

Fasilator juga berperan sebagai validator dari hasil pelatihan untuk menentukan tingkat kompetensi  teknisi yang mengikuti pelatihan.

Pengembangan terhadap model pelatihan bagi teknisi yang diterapkan di perusahaan tempat penelitian dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Model pelatihan yang baru ini memungkinkan teknisi selaku peserta pelatihan dapat mengikuti pelatihan secara mandiri disesuaikan dengan ketersediaan waktu mereka. Materi pelatihan dapat mereka akses melalui jaringan local (LAN), pada terminal komputer yang tersedia di perusahaan.

Target dari pengembangan ini adalah pemanfaatan teknologi internet dan jaringan dalam melakukan pelatihan. Akan tetapi, pihak perusahaan tidak memberi ijin untuk menerapkan model ini dengan memanfaatkan internet.

Hal ini terkait dengan kebijakan perusahaan tentang kerahasiaan materi. Oleh karena itu penggunaan jaringan lokal, menjadi solusi bagi pengembangan model ini. Model ini dapat nantinya dimodifikasi sehingga dapat menggunakan teknologi internet.

Dengan model pelatihan yang baru ini, peserta dapat mengakses materi pelatihan dan mengikuti ujian serta mencetak sertifikat pelatihan atau kartu kualifikasi dari pelatihan yang diikuti.

Novelty atau kebaharuan pada penelitian ini adalah model pelatihan yang dikembangkan berpusat pada peserta pelatihan (trainee oriented) dengan memanfaatkan teknologi jaringan komputer lokal sehingga memberi dampak yang luas terhadap pencapaian program pelatihan.

Kesimpulan dari temuan ini Model pelatihan yang dikembangkan dapat memberikan fleksibilitas kepada calon peserta pelatihan dalam mengikuti program pelatihan yang diadakan oleh organisasi.

Model penyelenggaraan pelatihan ini memanfaatkan jaringan lokal yang memungkinkan calon peserta pelatihan untuk mengakses materi pelatihan sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh calon peserta. Pengujian validitas terhadap Model pelatihan yang dikembangkan menunjukkan bahwa model pelatihan tersebut valid.

Level praktikalitas model hasil pengembangan menurut persepsi peserta (DP=90,00%) meningkat secara signifikan jika dibandingkan terhadap model sebelum pengembangan (DP=60,33%). Level praktikalitas model hasil pengembangan menurut persepsi intrsuktur pelatihan adalah sangat praktis (DP = 92,86%).

Berdasarkan evaluasi terhadap pencapaian tujuan pelatihan yang dilakukan dengan cara ujian (test) setelah pelatihan untuk 3 topik pelatihan (ESD, SMED dan OEE) terdapat perbedaan signifikan antara pelatihan dengan model pelatihan awal dan model pelatihan hasil pengembangan. Model pelatihan yang baru, menunjukkan peningkatan capaian hasil test. Ini membuktikan bahwa model pelatihan hasil pengembangan adalah efektif.

Implikasi dari temuan ini dapat mempercepat proses pelatihan bagi teknisi di industri, sehingga utilisasi tenaga kerja dapat ditingkatkan, kemudian model yang dikembangkan dapat dikolaborasikan dengan teknologi digital dan internet sehingga memungkinkan peserta pelatihan untuk mengikuti pelatihan secara mobile.

Penerapan model pelatihan ini di Industri Manufaktur dapat meningkatkan partisipasi karyawan terhadap program pelatihan yang diselenggarakan dengan efektivitas yang lebih baik, mudah dan menyenangkan.
Artikel ini ditulis oleh Dr.(c) Dr.(c) Arif Rahman Hakim, berdasarkan disertasi untuk penyelesaian Program Doktor (S-3) pada Prodi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Pascasarjana Universitas Negeri Padang.

Pelaksanaan ujian tertutup tanggal 16 September 2022 pukul 14.00 dengan Tim Promotor Prof. Dr. Nizwardi Jalinus, M.Ed dan Prof. Ir. Syahril, M.Sc. Ph.D. Serta Tim Penguji yaitu Prof. Ganefri, Ph.D, Prof. Dr. Ambiyar, M.Pd, Dr. Fahmi Rizal, M.T, Prof. Dr. Wakhinudin, M.Pd, dan Dr.Rijal Abdullah, M.T, serta penguji eksternal Prof. Dr. Harun Sitompul, M.Pd
Hasil temuan telah menghasilkan sebuah model pelatihan teknisi berbasis teknologi Jaringan pada industri manufaktur, di samping itu juga menghasilkan produk berupa buku model pelatihan, modul pelatihan dan pedoman penyelenggaraan pelatihan.

Dan menghasilkan publikasi artikel yang telah terbit di jurnal international bereputasi. (*)

About Post Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *