KIP Perlu Kesadaran Diri
Oleh: Handi Yanuar
Penulis Redaktur rakyatsumbar.id
Komisi Informasi (KI) adalah sebuah lembaga yang mengawasi keterbukaan informasi publik (KIP). Lembaga ini bekerja berdasarkan Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang KIP.
Selain itu, demi memperkuat tugas, pokok, dan fungsi (Tupoksi) kinerja, KI juga didukung oleh Peraturan Komisi Informasi (Perki) nomor 1 tahun 2020 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah.
Bahkan di Sumbar sudah ada Perda KIP, yakni Perda Nomor 17 tahun 2022 tentang Keterbukaan lnformasi Publik Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Pasal 23 Undang-undang nomor 14 tahun 2008, Komisi Informasi adalah sebuah lembaga yang menjalankan Undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi atau ajudikasi nonlitigasi. KI Pusat terbentuk pada 2010 dan dan KI Sumbar pada 2014.
Komisi Informasi Sumbar telah melakukan Elektronik Monitoring dan Evaluasi (E-Monev) dengan metode mengisi kuesioner yang melibatkan 392 badan publik. Apakah hanya 392 badan publik yang terdapat di Ranah Minang? Kemana badan publik lainnya? Jika KIP adalah sebuah keniscayaan, maka KIP harus membutuhkan kesadaran yang tinggi agar KIP tidak menjadi sebuah keterpaksaan badan publik dalam memberikan informasi.
Setiap orang punya hak untuk tahu, maka badan publik pun harus menyampaikan informasi secara transparan, tanpa ada unsur keterpaksaan dari pihak mana pun. Oleh sebab itu, badan publik harus benar-benar secara sadar memberikan informasi kepada masyarakat yang membutuhkan, sebagai hak untuk tahu.
Apabila KIP terlahir dari keterpaksaan, maka akan memberikan pengaruh buruk terhadap badan publik itu sendiri, sebab sumber daya manusia yang terdapat pada badan publik itu dianggap tidak melaksanakan serta memahami aturan yang termaktub di Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang KIP, serta Permendagri, Perki dan Perda.
Situasinya akan menjadi ribet jika terjadi sengketa informasi. Badan publik yang tersangkut sengketa informasi akan bolak balik ke ruang sidang komisi informasi. Memang ada jalur mediasi untuk mencarikan solusi itu, tetapi jika mediasi gagal tentu menjadi preseden buruk terhadap badan publik itu, lantaran bisa di anggap sebagai lembaga yang tak terbuka informasi publik.
Namun, sengketa informasi bisa saja berlanjut ke ranah pidana. Contoh kasus, tahun 2022 ini, ada satu laporan dugaan pidana informasi di kepolisian yang sudah masuk tahap sidik. Penyidik Subdit IV Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Ditreskrimsus Polda Sumbar, hingga saat ini sedang memproses laporan tersebut dengan terlapornya kantor ATR BPN Provinsi Sumbar.
Saya jadi teringat dengan Mang Oman, penarik becak di Kota Bandung, Jawa Barat. Lelaki sepuh yang pernah saya jumpai ketika mengikuti studi tiru KI Sumbar, bersama Forum Jurnalistik Keterbukaan Informasi Publik (FJKIP) Sumbar, Senin-Rabu, 29 November- 1 Desember 2021, di Kota Kembang itu, dengan secara sadar, dan tanpa keterpaksaan memberitahukan informasi tarif jasa antar sebelum saya menaiki becaknya.
Mang Omang, menyampaikan jasa antarnya di awal kepada setiap pelanggannya untuk menghindari komplain dari penumpang becaknya. Cara Mang Omang itu seperti sebuah keterbukaan informasi, sehingga pelayanan prima bisa tercipta. Tentu, ini sebuah contoh transparansi yang nyata dari masyarakat.
Sesuatu hal yang terlahir dari kesadaran, dari sanubari yang paling dalam, tanpa ada paksaan, tentu akan berimplementasi positif, termasuk dalam mewujudkan keterbukaan informasi agar Sumbar menjadi provinsi informatif. Tidak ada yang tak mungkin, jika semua badan publik pemangku kebijakan melakukan dengan kesadaran, agar memasifkan KIP tidak sia- sia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, kesadaran berarti keadaan mengerti. Artinya, seseorang harus mengerti bahwa KIP memang sebuah keniscayaan yang seharusnya menjadi prioritas bagi setiap badan publik. Sementara itu, masih di dalam KBBI edisi kelima, kesadaran diri berarti kesadaran seseorang atas keadaan dirinya sendiri, sehingga dengan kesadaran diri tanpa keterpaksaan KIP semestinya bisa terlaksana.
Seseorang atau badan publik itu harus sadar dan memahami bahwa KIP itu sebuah bentuk pelayanan prima terhadap masyarakat, maka layanan publik itu harus pula diberikan secara maksimal dan transparan, karena badan publik terutama yang instansi negara menggunakan anggaran negara. Setiap instansi yang menggunakan anggaran negara harus transparan.
Terbentuknya komisi informasi atau KI sebagai sebuah lembaga yang menangani persoalan terkait KIP, semestinya membawa perubahan terhadap setiap badan publik dalam pelayanan KIP. Namun, kondisi itu belum berjalan secara maksimal, karena masih ada badan publik yang masih abai terhadap KIP. Oleh karen itu, Komisi informasi jangan pernah bosan memasifkan KIP ke badan publik, melalui sosialisasinya yang dilakukan lembaga itu.
Tiga tahun terakhir, berdasarkan data KI Sumbar, dari penilaian KI Pusat, prediket KIP Pemerintah Provinsi Sumbar, cenderung tidak stabil, dan berubah-ubah. Sumbar tidak mampu mempertahankan prediket tertinggi, yakni informatif. Sempat menyandang prediket informatif pada 2019, kemudian prediket itu lepas pada 2020, yakni prediket cukup informatif, dan berubah lagi pada 2021, yakni prediket menuju infomatif.
Ini artinya, badan publik di Sumbar memang belum mempunyai kesadaran diri dalam memberikan pelayanan KIP kepada masyarakat, sebagai hak untuk tahu. Tentu, kondisi itu sangat bertolak belakang, padahal sudah ada Perda KIP, yakni Perda Nomor 17 Tahun 2022 tentang Keterbukaan lnformasi Publik Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Fakta ini sejalan dengan monitoring dan evaluasi (Monev) KIP yang dilaksanakan oleh KI Sumbar pada 2022. Dari 392 badan publik yang mengikuti Monev KIP, hanya 263 badan publik di
Sumbar yang mengisi kuesioner, dan hanya 74 badan publik yang dinyatakan lolos verifikasi faktual. Sudah sungguh-sungguhkah badan publik itu mengikuti Monev KIP? Atau barangkali hanya sekedar ikut serta saja, dan menganggap Monev KIP bukan tujuan utama.
Fakta lainnya adalah, berdasarkan data KI Sumbar mencatat jumlah sengketa informasi badan publik pada Januari-Agustus 2022 sebanyak 23 register. Angka tersebut bisa saja bertambah hingga Desember 2022, jika kesadaran diri atau kesadaran badan publik terhadap KIP masih rendah. Pada tahun 2021, KI Sumbar melakukan penyelesaian sengketa informasi dengan jumlah 35 yang teregistrasi.
Nah, ada banyak aturan yang menguatkan bahwa KIP adalah mutlak, mulai dari aturan Undang-undang, hingga Perda. Oleh sebab itu, jangan anggap enteng persoalan KIP ini, sebab bisa berpotensi pidana sengketa informasi. Jika sengketa informasi berujung menjadi pidana informasi, upaya KI memasifkan KIP belum berjalan secara maksimal. KI bisa dianggap belum berhasil dalam hal keterbukaan informasi.
KI benar-benar sukses memasifkan KIP, apabila tidak ada lagi menyidangkan sengketa informasi. Namun, semua itu juga butuh dukungan dan kesadaran dari pemangku kebijakan badan publik
Oleh karena itu, marilah kita sama-sama membantu KI Sumbar dalam memasifkan, menyosialisasikan KIP, pada provinsinya, yang di mulai dari masyarakat lapisan bawah, hingga badan publik, sehingga Provinsi Sumbar bisa meraih prediket informatif. (*)