Ketika Senjata pun Berlutut di Hadapan Konstitusi dan Demokrasi
Oleh : Tommy TRD
Secretary of Defense atau Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Mark Esper menolak mengerahkan pasukan militer untuk menangani kerusuhan yang sudah merajalela di seluruh antero AS dampak pembunuhan terhadap George Floyd. Pernyataan ini tentu saja terkesan seperti “mengangkangi” arahan Presiden Donald Trump selaku Commander in Chief seluruh tentara di AS, yang memiliki rencana untuk mengerahkan militernya untuk meredam eskalasi demonstrasi yang semakin hari terlihat semakin besar.
Rencana Trump menggunakan militer dalam menghadapi pendemo ini ditentang banyak tokoh besar AS. Mulai dari mantan Presiden Barack Obama, tokoh pers, Gubernur Negara Bagian, politisi kelas kakap AS, bahkan dari mantan Kepala Staff Gabungan Militer AS, Admiral (Ret) Mike Mullen. Tapi penolakan dari Menteri Pertahanannya sendiri tentu akan menjadi pukulan paling telak terhadap Trump.
Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling dewasa dalam berdemokrasi dan dalam bernegara. Konstitusi benar-benar memiliki arti dan nilai tertinggi di sana. Walaupun mungkin masih belum seideal yang diinginkan, tapi jelas meraka masih lebih baik dalam menempatkan konstitusinya dibanding sebagian besar negara lain di dunia.
Memang Trump adalah Commander in Chief militer AS. Panglima tertinggi para prajurit militer AS. Tapi ternyata ada yang lebih tinggi lagi dari itu, yaitu konstitusi dan nilai-nilai demokrasi yang selama ini “diperjuangkan” oleh Amerika. Jika di negara lain pengerahan pasukan militer dalam menghadapi demonstrasi adalah hal yang lumrah, di Amerika hal itu adalah sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Seketika anda bisa dicap fasis atau otoriter jika melakukan hal itu. Dan lebih hebatnya lagi, tidak hanya masyarakat atau kaum politisi yang mengetahui itu, para prajurit yang bersenjata lengkap itu pun mengetahui nilai-nilai demokrasi itu sendiri, yang kerap mereka “perjuangkan” di belahan bumi lain itu. Di Irak dan Libya misalnya.
Selaku Presiden, memang Trump adalah pemimpin nomor 1 di Amerika Serikat. Tapi di mata hukum dan konstitusinya, Trump sama saja dengan penjual hotdog di pinggir jalanan New York. Trump bisa dipanggil hakim ke persidangan, Trump bisa diselidiki, bahkan pengacaranya pun sampai ditahan pihak yang berwenang. Artinya, the law still above the President. Suatu peristiwa yang cukup langka di belahan dunia lain.
Jika dilihat dari sejarah, penggunaan militer AS untuk mengatasi kekerasan domestik terakhir kali terjadi pada 1957 di Little Rock Arkansas. Yaitu sebuah peristiwa dimana 9 warga kulit hitam AS ditolak untuk memasuki Central High School (SMA) di sana, yang kemudian mengakibatkan kerusuhan hampir 3 pekan lamanya. Maka untuk menghadapi Gubernur Arkansas yang masih berpegang kepada perlunya segregasi antara kulit hitam dan putih, Presiden Dwight Eisenhower memerintahkan 1000 orang pasukan Paratrooper untuk mengambil alih situasi keamanan dari kepolisian setempat, sekaligus mengawal 9 siswa kulit hitam tadi untuk masuk ke dalam sekolah. Perintahnya jelas, segregasi di sekolah bertentangan dengan konstitusi, dan kehendak massa tidak bisa membatalkan keputusan pengadilan.
Sebagai sebuah negara, Amerika Serikat tentu bukanlah negara yang terbaik dalam segala aspek. Tapi kepatuhan dan kedewasaan pemahaman pejabat pemerintahnya, kepolisiannya, militernya, politisinya, hakim, jaksa penuntut dan aktivis hukumnya, serta seluruh lapisan masyarakatnya terhadap demokrasi dan konstitusi mereka patut mendapat apresiasi.
Karena jujur saja, tidak sering kita melihat bedil dan helm baja tunduk dan berlutut di hadapan konstitusi dan demokrasi.
Wassalam…