Pendidikan Karakter di Persimpangan Pandemi
Oleh : Endang Pribadi – Padang
“MENANTI kejujuran, harapkan kepastian, hanya itu yang sanggup aku lakukan.” Bait-bait lagu “Menanti Kejujuran” yang dipopuleran oleh group musik Gong 2000 seakan melukiskan pendidikan karakter yang diharapkan pemerintah saat ini. Kenyataannya, hanya slogan semata tanpa tahu cara bagaimana mengukur keberhasilannya. Imbasnya, pendidikan karakter hanyalah bagian dari ‘proyek’ Kementerian Pendidikan di dalam memanfaatkan segala kemungkinan yang terjadi. Kondisi demikian yang kemudian menjadi “perusak” mental pendidik dan sederet jajaran birokrasinya. Rusaknya implementasi dari pendidikan karakter dapat terlihat saat berlangsungnya ujian daring akhir semester I 2020 bagi pelajar SD, SMP, SMA, termasuk mahasiswa. Ujian daring akhir semester I yang telah berlangsung, merupakan ujian pembuktian dari mengukur kualitas pendidikan karakter. Di saat dunia mencari formula ampuh dalam implementasi transformasi teknologi komunikasi di “abad” pandemi Covid-19 ini, pendidikan karakter mendapat lawan yang tangguh, yaitu Covid-19.
Pendidikan karakter diharapkan sebagai pembinaan karakter siswa untuk dapat dijadikan sebagai siswa yang berjiwa kebangsaan dan berwirausaha. Terdapat 18 karakter yang kemudian menjadi acuan para guru di dalam menyusun silabus. Karakter yang hanya berkata-kata itu harus tertuliskan dengan pasti sesuai dengan tujuan dan indikator yang telah direncanakan di dalam silabus. Karakter-karakter tersebut kemudian diuraikan lagi di dalam nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa dan nilai pendidikan kewirausahaan. Penulis melihat, pendidikan karakter terpukul dan ‘KO’ saat pelaksaan ujian daring akhir semester I di awal “abad” pandemi. Banyak orang tua, keluarga membantu dalam memberikan jawaban ketika ujian itu berlangsung. Ya, menanti kejujuran, harapan kepastian hanyalah sebuah keniscayaan, jika pendidikan karakter tidak di implementasi berbagai pihak, termasuk keluarga siswa. Apakah ini yang diharapkan dari sebuah pendidikan karakter?
Di sisi lain, guru-guru malah kerepotan dengan banyaknya administrasi penilaian yang dilakukan yang berhubungan dengan karakter. Tetapi, pendidikan karakter tak jelas diimplementasikan dalam hal apa. Masih isapan jempol belaka, sungguh naif, tetapi itulah realita dan fakta sebenarnya.
Sesungguhnya, penguatan pendidikan karakter sangat berhubungan dengan kasih sayang. Guru bisa saja dituntut membuat dan melaporkan setumpuk administrasi untuk menjadi bukti bahwa pendidikan karakter dilaksanakan dengan baik. Namun, tanpa kasih sayang, itu semua semu, sekadar formalitas tanpa ada kejelasan yang jelas. Sungguh naif sekali.
Selain itu, guru harus bisa melihat sejauh mana keluarga turut membantu membentuk karakter siswa di rumah. Tetapi, hal ini sangat sulit terjadi, jika keluarga masih sulit dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga yang semakin sulit di “abad” pandemi ini.
Kenapa ekonomi menjadi salah satu kunci sukses dari pendidikan karakter? Sulitnya pemenuhan kebutuhan ekonomi saat pandemi ini, menyebabkan orang tua lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Alhasil, pola-pola komunikasi verbal dua arah dengan anak di rumah sulit terjadi. Ketika malam, (mungkin) siswa telah beranjak tidur ketika orang tua baru pulang setelah melakukan berbagai usaha dalam melakukan pemenuhan ekonomi. Ketika ujian berlangsung, keluarga hanya membutuhkan hasil akhir dalam bentuk nilai rapor.
Alhasil, orang tua dan keluarga berperan dalam memberikan jawaban yang pasti benar kepada siswa. Tentu ini tidak akan terjadi ketika ujian dilangsungkan di sekolah dengan pengawasan yang ketat oleh seorang guru. Sekali lagi, pendidikan karakter, tumbang saat ujian daring 2020 berlangsung.
Sampai kapan kita mengharapkan kepastian dari sebuah implementasi kejujuran dari pendidikan karakter itu sendiri? Semoga kita tidak begitu lama menunggu. (*)