Novel Indak Talok Den Kanai Ati Dicetak Ulang
Dr Hasanuddin M.Si: Jadi Rujukan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Minangkabau
Padang, Rakyat Sumbar– Empat bulan sejak diedarkan, novel berbahasa Minang berjudul Indak Talok Den Kanai Ati, karya Firdaus Abie, harus dicetak ulang.
“Alhamdulillah, kini novel tersebut memasuki proses cetak ulang. Respon pasar sangat bagus,” kata Alizar Tanjung, Pimpinan Linibuku, penerbit yang menerbitkan dan mencetak novel tersebut, di Padang, kemarin.
Alizar mengaku, respon pasar terhadap buku tersebut melebihi perkiraannya. Ia semula memperkirakan, novel Indak Talok Den Kanai Ati akan menjadi alternatif bacaan bagi penikmat sastra, dan sekaligus bisa dijadikan bahasan bagi dunia pendidikan.
“Ternyata respon pasar sangat besar,” kata Alizar.
Alizar menyebutkan, edisi cetak kedua tak terlalu banyak perubahan. Ia memperhitungkan, edisi cetak ulang, atau cetakan kedua ini sudah bisa didapatkan pembaca pada pekan kedua November 2020.
Dikesempatan terpisah, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Univ Andalas (Unand) Dr Hasanuddin M.Si, menyambut gembira kehadiran novel Indak Talok Den Kanai Ati. Katanya, novel ini menjadi sebuah rujukan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Minangkabau. Regulasinya sudah ada.
“Insya Allah akan menjadi contoh aturan berbahasa,” kata Hasanuddin sembari menyebutkan keprihatinannya terhadap kondisi bahasa Minang saat ini dan masa depan.
Ia menyebutkan, dari 718 bahasa daerah di Indonesia, sudah 15 bahasa yang hilang. Bahasa Minang berada pada posisi sangat terancam.
Penuturnya masih ada, namun penggunaan bahasanya nyaris tak sesuai dengan kondisi sesunggunya. Aturan berbahasanya sudah tak baku lagi.
Persoalan bahasa Minang, lebih kompleks jika dibandingkan bahasa lain. Tak hanya sekadar kata, frase, kalimat dan wacana, tetapi disertai dengan kato yang memiliki tata krama langgam berbahasa. Ada baso dan basi yang bermuara kepada etika dan sopan santun.
Kekayaan bahasa Minang, kata Hasanuddin, terletak pada kiehnya. Ketika menyampaikan sesuatu harus bijaksana. Akal sehat dan rasional, iya, tapi juga harus ada pertimbangan emosional. Menggunakan kata-kata yang maknanya tersembunyi. Lawan bicara harus arif.
“Anak sekarang, rasonya sudah hilang. Tak dapat lagi kiehnya. Sekarang, bahasa Minangnya sudah campur aduk,” tandasnya.
Menurutnya lagi, mungkin dalam masa sekarang, ini novel pertama berbahasa Minang, atau paling tidak, sudah lama tidak ditulis orang novel dalam bahasa minang. Kemampuan menulis dalam bahasa Minang sudah menurun. Akibatnya, kosa kata, isolek, dialek, sudah berkurang dikuasai anak-anak Minangkabau. Menjadi momentum untk mentradisikan. (edo)