Kecanduan Belanja Online di Kalangan Anak Muda
Ilustrasi belanja online (JPNN).
Oleh: Annisa Sesarila Hasrul
Selama pandemi Covid-19 melanda, tercatat peningkatan aktivitas belanja secara online bahkan hingga kecanduan.
Seiring cepatnya pertumbuhan bisnis digital di Indonesia, menyebabkan konsekuensi yang tidak di inginkan.
Orang – orang menghabiskan lebih dari yang mereka mampu untuk mendapatkan status sosial dari pembelian mereka atau untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Seperti cinta dan kasih sayang. Rentan terhadap perilaku pembelian impulsif atau kecanduan belanja.
Pesatnya pertumbuhan pasar perdagangan digital atau e-commerce di tengah pandemi memperparah risiko kecanduan belanja bagi masyarakat yang melek digital seperti Indonesia.
Di kalangan anak muda Indonesia, penggunaan platform belanja online seperti Shopee, Tokopedia, Blibli, Bukalapak telah menjadi tren.
Tidak hanya itu, anak muda Indonesia dijejali aneka diskon gede-gedean sepanjang tahun.
Misalnya promo tanggal kembar yang ada di setiap bulan, 1 Januari (1/1), 2 Februari (2/2), hingga 12 Desember (12/12).
Peristiwa ini mendorong anak muda Indonesia melakukan kegiatan belanja lebih besar dari pada yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Hal ini tidak semata-mata di dorong oleh keinginan untuk memiliki produk. Terdapat faktor perangsang transaksi seperti fantasi tentang status, dominasi, kekuasaan, dan prestise yang terkait dengan kepemilikan suatu barang tertentu.
Indonesia adalah pangsa pasar yang besar untuk belanja online, sehingga kecanduan belanja online akan berisiko dialami banyak orang.
Butuh Literasi Keuangan
Hal ini membuat anak muda menjadi rentan di mana tingkat literasi keuangan dan tabungan relatif rendah.
Anak muda yang tujuan utamanya untuk menampilkan barang bergengsi dan berstatus tinggi akan mengejar pengeluaran yang berlebihan tanpa mempertimbangkan masa depan.
Mereka bersikap hanya hidup untuk hari ini, para anak muda dengan mudah mengeluarkan dana yang cukup besar.
Hal ini untuk mengikuti tren terbaru dan menampilkannya di media sosial untuk mendapatkan pengakuan orang lain dan meningkatkan harga dirinya.
Media sosial pun dapat memberikan kesempatan pada kaum muda untuk mengevaluasi diri, mengeksplorasi, dan mengekspresikan identitas mereka melalui perbandingan orang lain.
Media sosial juga membuka jalan bagi anak muda untuk mengikuti kehidupan selebriti dan tokoh terkenal dalam berbagai bidang.
Hal tersebut akhirnya mengangkat standar aspirasi untuk pengembangan identitas yang mereka cita-citakan.
Alhasil anak muda berisiko jadi korban harapan realistis seperti berupaya membandingkan dirinya dengan foto hasil editan maupun gaya hidup tertentu yang mungkin tidak nyata.
Hal ini menyebabkan hilangnya kepercayaan diri lantaran status sosial dan keuangan tidak mampu memenuhi gambaran ideal yang diharapkan.
Penggunaan media sosial yang berlebihan pun dapat mengekspos remaja pada fenomena kebingungan identitas. Kebingungan antara identitas ideal dan nyata.
Berperan Mengikis Pembentukan Identitas yang Sehat
Media sosial telah berperan mengikis pembentukan identitas yang sehat. Penduduk Indonesia memiliki rata-rata usia yang mencapai 31,8 tahun.
Ini berarti ada potensi tinggi masyarakat akan terjebak dalam kebingungan identitas.
Di saat yang bersamaan, anak muda yang sering di banjiri oleh arus iklan produk konsumen yang tak ada habisnya.
Kombinasi keduanya dapat mengarah pada perkembangan gangguan pembelian kompulsif.
Dalam tahap ‘pembentukan identitas’ dalam hidup mereka, anak muda berusaha untuk mengesankan teman-teman sebayanya dengan meningkatkan konsumsi barang-barang material.
Dalam hal ini, media sosial dapat dikritik karena mempromosikan materialisme dan mendorong sikap berorientasi konsumsi di masyarakat.
Jika kita ingin menghadapi dan menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh gambaran ‘kehidupan ideal’ yang ditampilkan di media sosial, maka orang tua dan sistem pendidikan memiliki peran penting.
Kebiasaan menabung orang tua dapat menjadi teladan untuk anak sejak usia dini.
Sedangkan pendidikan keuangan di sekolah dapat mendukung dan mengembangkan model positif ini melalui pengetahuan dan keterampilan keuangan.
Dua hal tersebut penting untuk menciptakan generasi muda yang melek finansial. Dengan demikian, perilaku pembelian kompulsif yang menjadi kebiasaan baru ini dapat terhindarkan. (*)