rakyatsumbar.id

Berita Sumbar Terkini

Beranda » Buku Logika Bahasa Berita, Media Pembelajaran dan Kritik Terhadap SDM

Buku Logika Bahasa Berita, Media Pembelajaran dan Kritik Terhadap SDM

Oleh : Dr Aqua Dwipayana

DALAM 10 tahun terakhir, saya intensif berkeliling ke berbagai kota di seluruh Indonesia dan 34 negara. Sebagian besar, kegiatan melanglang buana ke berbagai tempat di kolong langit ini terkait dengan aktivitas saya dalam rangka sharing komunikasi dan motivasi.

Ribuan sesi sharing komunikasi dan motivasi telah saya jalani. Total, ratusan ribu orang telah mengikuti kegiatan tersebut. Saya menjadi pembicara tunggal dalam setiap sesi yang biasanya diikuti sekira 200-700 orang itu. Meski begitu, di acara tersebut kami berbagi ilmu dan pengalaman untuk saling menguatkan.

Audiens kegiatan sharing komunikasi dan motivasi itu dari berbagai kalangan, seperti pelajar-mahasiswa, kaum hawa ibu rumah tangga, wanita karier, dan pria profesional perusahaan swasta. Juga dari kalangan birokrasi pemerintahan, dan jajaran TNI-Polri, dari level staf hingga pemimpin, dari para prajurit hingga jenderal mereka.

Salah satu ‘hobi’ saya dalam menjalankan sharing komunikasi dan motivasi itu ialah berbagi buku –di luar “door prize” dalam bentuk lain.

Saya yang memang hobi membaca beragam bacaan, juga tambah bergairah untuk berburu banyak buku. Selain untuk bacaan pribadi dan keluarga, hasil perburuan buku juga saya perlukan untuk dibagikan kepada para peserta yang beruntung dalam sharing komunikasi dan motivasi itu. Saya pun rajin mengunjungi toko buku di kota-kota yang saya singgahi. Dari seringnya mengunjungi berbagai toko buku itulah saya mulai membanding-bandingkan.

Buku Logika Bahasa Berita Karangan Firdaus Abie

Sebagai mantan wartawan, saya tercengang. Ada fakta-fakta yang membuat kita semestinya terusik. Ada perbedaan yang cukup mencolok manakala kita memperhatikan deretan tumpukan buku “Best Seller”. Pada toko-toko buku di Eropa dan Amerika Serikat, rak-rak “Best Seller” didominasi buku-buku karya para jurnalis atau wartawan.

Buku tulisan wartawan bahkan terkesan diposisikan sebagai karya bergengsi dan punya nilai jual tinggi. Ada label wartawan yang dilekatkan dengan nama penulisnya dan eksplisit tertulis di sampul depan atau belakang. Kenyataan berlawanan kita temukan di toko-toko buku di Tanah Air.

Melihat kondisi “miris” seperti itu, setiap bertemu dengan rekan-rekan wartawan, saya tidak bosan-bosannya mendorong mereka untuk menulis buku. Wartawan tentu telah memiliki syarat material untuk menulis buku. Soal tulis-menulis, bagi wartawan itu sudah menjadi menu sehari-hari.

Dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik, para wartawan tentu juga mendapatkan banyak sekali bahan berupa data dan informasi. Bahan yang melimpah itu sudah pasti tidak semua terpublikasi di media tempat mereka bekerja. Bahkan, dapat dikatakan yang terpublikasi itu hanya sebagian kecil dari data dan informasi yang didapatkan para wartawan dari lapangan atau kegiatan liputan.

Tidak jarang, yang dapat dimunculkan di pemberitaan pun hanya menyangkut angle tertentu. Hal itu karena media memiliki keterbatasan ruang dan waktu. Media cetak dibatasi jumlah baris, kolom, dan halaman, sedangkan media elektronik seperti radio dan televisi dibatasi durasi siaran atau tayang.

Pilihan kebijakan redaksi juga menjadikan banyak data, informasi, dan pengetahuan yang dibutuhkan publik tidak tertampung di berita-berita media massa. Sayang sekali seandainya bahan-bahan yang penting dan menarik bagi publik itu hanya tersimpan di block notes atau file rekaman para wartawan.

Data dan informasi penting dan menarik akan lebih bermanfaat jika dituangkan menjadi buku. Cukup satu syarat yang harus dipenuhi rekan-rekan wartawan, yakni kemauan menuangkannya.

Media Pembelajaran

Saya bersuka cita dan mendukung ketika Firdaus Abie mengabarkan siap meluncurkan buku Logika Bahasa Berita (Kritik Atas Penggunaan Bahasa dalam Kegiatan Jurnalistik), saya pun langsung menyanggupi ketika dia meminta saya menulis kata pengantar untuk buku ini. Ini sebagai bentuk dukungan dan apresiasi saya terhadap upaya Firdaus Abie menulis dan menerbitkan buku.

Saya mengenal Firdaus Abie sejak tahun 2002. Kami saling terikat secara emosional oleh jejaring tali-temali Grup Jawa Pos. Saya pernah berkarir beberapa tahun sebagai wartawan di koran Grup Jawa Pos.

Firdaus Abie tergolong wartawan berdaya juang tinggi, gigih dan ulet. Dia meniti karir
jurnalistik dari bawah mulai sebagai reporter hingga Pemimpin Redaksi. Ia punya pengalaman sangat luas dan jam terbang yang tinggi di dunia jurnalistik.

Firdaus Abie produktif menulis sejak urang awak ini duduk di bangku sekolah menengah atas. Hanya, selama ini dia “terlalu” fokus melahirkan berbagai tulisan produk media massa. Tulisan-tulisannya tidak hanya terbatas pada laporan atau sorotan jurnalistik tetapi juga karya satra, seperti cerita pendek (Cerpen) dan novel.

Penerbitan buku ini merupakan langkah yang patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya berbagi ilmu dan pengalaman, khususnya di bidang jurnalistik.

Buku ini dapat menjadi media pembelajaran yang sangat berharga bagi para wartawan, terutama para jurnalis muda. Pembelajaran di kalangan awak media sangat penting mengingat mereka memainkan peran sangat krusial dalam menyebarkan informasi dan mengedukasi masyarakat banyak.
Era Reformasi yang bergulir sejak 1998 mendorong lahirnya media massa baru yang tumbuh bak cendawan di musim hujan. Media massa yang semula berjumlah puluhan bertambah menjadi ratusan bahkan ribuan.

Hampir semua kabupaten/kota memiliki surat kabar dan stasiun televisi lokal. Bahkan, tidak sedikit kabupaten/kota yang memiliki lebih dari satu surat kabar lokal dari grup yang sama.
Di satu sisi, hal itu menunjukkan perkembangan yang bagus karena kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif makin banyak yang mengawasi dan terimbangi oleh pers sebagai pilar keempat dalam sistem demokrasi.

Sayangnya, seperti diingatkan Firdaus Abie dalam buku ini, kondisi tersebut tidak diimbangi peningkatan kemampuan profesional awak media, khususnya di jajaran redaksi.

Peribahasa mengatakan, pengalaman ialah guru terbaik. Ilmu dan pengalaman jurnalistik Firdaus Abie yang dituangkan dalam buku ini dapat memperkaya pengetahuan jurnalistik guna menciptakan wartawan-wartawan profesional.

Wartawan yang bekerja tanpa itikad buruk, mengedepankan fakta, akurat, mematuhi asas berimbang, menjunjung tinggi etika, dan tidak menghakimi. Wartawan yang tulisannya mengedukasi, menghibur, menginspirasi, dan mengusung misi kebaikan dan perbaikan bagi masyarakat banyak.

Dari itu semua, akurasi menjadi hukum besi yang wajib ditegakkan dan dijunjung tinggi oleh para wartawan. Ini bukan semata menyangkut keakuratan substansi data, informasi, dan penyajian atau penulisannya.

Akurasi bahasa juga tidak kalah pentingnya. Di sinilah pentingnya wartawan menguasai pengetahuan mengenai pilihan kata atau diksi. Pilihan kata yang tidak tepat bisa menimbulkan persepsi, aksi, dan reaksi yang keliru.

Dalam persoalan tertentu yang sangat sensitif, seperti suku, agama, rasa, antargolongan (SARA), ketidakakuratan berbahasa bisa menimbulkan kekacauan sosial. Kekeliruan semacam itu banyak diakibatkan oleh kekacauan logika bahasa yang dipergunakan para jurnalis. Ini terutama banyak ditemukan di daerah-daerah.

Selain berbagi ilmu dan pengalaman, melalui buku karyanya ini, Firdaus Abie tampak ingin menyampaikan kritik dari dalam terhadap kondisi sumber daya manusia (SDM). Namun, kritik ini bersifat membangun karena yang disampaikan Firdaus Abie bukan untuk menelanjangi, melainkan justru memberikan koreksi konstruktif.

Selamat atas terbitnya buku ini. Semoga hal ini menjadi pemantik munculnya buku-buku berikutnya yang bahannya tentu masih banyak bisa digali dari pengalaman panjang Firdaus Abie sebagai wartawan. Wartawan-wartawan lain pun diharapkan berlomba-lomba menulis buku, bukan sekadar cekatan mengejar deadline dan piawai menulis artikel untuk media tempatnya bekerja. (*)

Penulis adalah Pakar Komunikasi dan Motivator Nasional

About Post Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *