Menjelang Empat Puluh Tahun
Oleh : Muhammad Subhan
“Bos, aku akan menikah,” ujarnya. Dia meletakkan selembar undangan di meja lalu menepuk lembut punggung saya. “Jangan lupa menyusul. Nggak enak jadi jomblo,” katanya lagi. Lalu ia tertawa. Renyah, seperti tawa khasnya.
Saya memeriksa kertas undangan itu. Dia tidak sedang bercanda. Di kertas itu tertera nama lengkapnya dan di sebelah namanya bergandeng nama calon istrinya. Di lembar bagian dalam, saya lihat foto prewedding dirinya bersama calon istri, di suatu tempat yang sangat instagramable.
“Wah, tidak adil. Ini di luar kesepakatan kita,” protes saya.
Dia terkekeh.
“Sejak kapan kau pacaran? Selama ini aku tak melihatmu berjalan dengan seorang gadis mana pun,” kata saya lagi sembari serius memandang wajahnya.
“Begitulah jodoh, Bos. Kalau sudah ketemu, cocok, bungkus,” jawabnya. Lalu dia tertawa lagi.
“Terus, kau akan meninggalkan aku sendirian di kota ini?”
“Seharusnya tidak, tapi gimana lagi, ini sudah jalan hidup. Aku yakin kau akan mendukungku, bukan?” selanya.
“Pasti aku mendukung. Tapi jujur, kabarmu ini bagai petir di siang bolong,” jawabku. Lagi-lagi dia terkekeh.
Dan, beberapa waktu setelah percakapan itu, dia datang bersama seorang gadis, calon istrinya. Cantik sekali. Sebagai laki-laki normal, saya sempat terpana, kenapa bukan saya yang berjodoh dengan gadis itu, pikir saya nakal. Tiba-tiba saya teringat Key, teman kuliah, yang pernah sangat dekat, tetapi akhirnya ia pindah ke kota lain bersama orang tuanya, dan komunikasi terputus.
“Aku berkemas ya. Ini calon istriku. Cantik, kan?” Kalimatnya itu memanas-manasi saya. Calon istrinya tersenyum. Sekali lagi, manis sekali.
“Kau memang pandai memilih pendamping hidup,” balasku.
“Ha-ha-ha. Biar kau lekas juga beristri.”
Setelah itu, ia mengemasi barang-barangnya di kamar. Tak banyak. Setumpuk pakaian dan buku-buku. Ia memanggil sopir untuk membantu membawa peralatan kerjanya. Sementara aku membantu seperlunya. Jam di dinding menunjukkan pukul 14.00 WIB, detik-detik deadline, dan berita liputan hari itu sudah harus disiapkan untuk dikirim ke redaksi.
“Aku sudah izin di kantor. Pemred merestui. Mungkin sebulan ini aku tidak bekerja,” katanya lagi sebelum pamit.
“Iyalah, aku restui juga. Ke mana kau berbulan madu?” selidik saya.
“Ke Bali.”
“Wah. Asyik. Banyak uang kau rupanya.”
“Ha-ha-ha. Kan ada donatur.”
“Ha-ha-ha. Pejabat itu? Yang sering kau tulis beritanya?”
“Ha-ha-ha.”
Setelah itu, dia membuka pintu mobil, mempersilakan calon istrinya masuk kemudian menutupnya kembali. Sopir menghidupkan mesin dan ia pun duduk di kursi sebelah calon istrinya setelah masuk dari pintu samping. Ia menurunkan kaca mobil, melambaikan tangan, kemudian kendaraan yang ia tumpangi menghilang di balik tikungan jalan.
Setelah kepergiannya, ruang kantor sebesar ini menjadi sepi, bahkan horor, karena tak jauh di belakang gedung kantor itu terhampar kuburan Cina. Sepeninggalnya, saya mengerjakan sendiri satu halaman koran biro daerah di kota di mana saya ditugaskan. Ketika bersama Robert, pekerjaan agak ringan. Tapi kini saya sendirian, dan saya harus memutar otak agar setiap hari halaman itu penuh terisi.
“Aku yakin kau kuat. Kau wartawan hebat,” katanya memuji di lain hari melalui pesan di WhatsApp.
Saya membalas dengan tanda emotikon kepala botak sedang tertawa lepas. Saya menunggu intruksi pimpinan koran agar menugaskan wartawan baru untuk diperbantukan. Tapi, sampai kini wartawan baru itu tidak pernah ditugaskan.
***
Perkenalan saya dan Robert terjadi ketika ia bergabung sebagai wartawan muda di koran tempat saya bekerja. Dia ulet, cerdas, dan suka tantangan. Liputannya seputar kriminalitas, dan mainnya di kantor polsek, polres, pengadilan, rumah sakit, juga kantor kejaksaan. Tak jarang dia langsung turun ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk mengumpulkan informasi dan tidak sekadar menerima keterangan polisi.
Kecakapannya melakukan liputan dan menulis berita, tak jarang ia menjadi anak emas pemimpin redaksi. Kalau ada jatah kunjungan kerja anggota dewan, namanya selalu direkomenasikan untuk berangkat. Sebut saja kota mana yang tak dijamahnya, pun negara mana tak dijejakinya. Hampir semua. Liputannya ditunggu, beritanya juga asyik dengan gaya khas tulisan yang renyah. Diam-diam saya berguru padanya.
Suatu hari, di pengujung tahun ketika resesi ekonomi negara sedang berada di puncak, kondisi langganan koran di kota B merosot tajam. Kondisi itu memengaruhi pendapatan iklan yang menjadi napas koran. Perusahaan mengubah strategi dengan meremajakan manajemen di kantor biro, lalu menugaskan saya dan Robert untuk membantu melakukan pembenahan. Sebagai wartawan muda yang suka tantangan, saya tak menolak, dan bersama Robert kami turun ke daerah tujuan.
Robert berkenan ikut karena saat itu dirinya masih berstatus bujangan, pun saya. Kami berkomitmen untuk membenahi manajemen koran di kota B dan pulang kembali ke kota P dengan membawa kemenangan.
“Kita bersama pergi dan akan bersama-sama pulang,” janji Robert kepada saya.
“Aku catat dan aku pegang komitmenmu, Bung!” jawab saya. Kami bersalaman erat sebagai tanda kesepakatan, meski akhirnya ia melanggar kesepakatan itu dengan lebih dulu menikah dan meninggalkan saya seorang diri di kota B.
Di awal membenahi biro koran daerah, kondisi manajemen benar-benar buruk. Manajemen kantor biro sebelumnya dipegang wartawan daerah yang kemudian dipecat karena menyelewengkan dana iklan.
Pimpinan kantor menyewa sebuah ruko baru berlantai dua untuk kami tempati. Di lantai bawah sebagai kantor dan di lantai atas sebagai ruang istirahat. Perusahaan juga memfasilitasi komputer, pesawat telepon, dan jaringan internet. Di sudut ruangan berdiri sebuah lemari, sebuah meja, dan dua kursi. Tak ada perabotan lain, kecuali tumpukan koran.
Sejak sekantor dan serumah itulah, persahabatan saya dengan Robert kian akrab. Saya semakin mengetahui siapa dia, asal usulnya, dan keluarganya. Tak jarang kami melakukan liputan bersama dan makan bersama, walau lebih banyak berutang di kedai seberang kantor karena menunggu gaji awal bulan yang belum cair.
***
Di tahun-tahun yang berlalu, dan suatu hari ketika Robert pulang kampung, saya mendapat kabar ia kecelakaan. Dia tergelincir jatuh dari sepeda motor dan mengalami cendera parah. Kaki kanannya patah, dan sempat dirawat di rumah sakit, meski kemudian sembuh. Dalam kondisi itu, ia masih tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa.
“Aman, Bos. Aku baik-baik saja,” katanya meyakinkan ketika saya menelepon dia.
Kata “bos” adalah sapaan akrab kami. Dia memanggil saya “bos”, saya pun memanggil dia “bos”, meski kami tidak punya anak buah. “Bos” sebagai tanda kami sahabat yang senasib sepenanggungan.
Setelah musibah itu, saya melihat perubahan drastis pada tubuhnya. Saya tidak percaya kalau dia baik-baik saja. Pasti dia menyimpan sesuatu yang tidak dia ceritakan kepada saya, walau akhirnya saya tahu, kondisi kakinya sudah benar-benar tidak aman.
“Percayalah, Bos, aku tidak apa-apa,” jawabnya lagi.
Barulah kemudian saya tahu, setelah ia menikah, dan sebelum itu ia berangkat ke Melaka untuk mengobati kakinya, karena di suatu malam ketika masih bersama saya ia pernah saya pergoki merintih menahan sakit di pahanya. Anehnya, dia masih dapat berjalan normal seperti tidak terjadi apa-apa, padahal ia cendera. Saya sempat terpikir kakinya terbuat dari apa sehingga ia sekuat itu. Namun, setelah pernikahannya menjalani tahun yang panjang dan ia belum memperoleh anak, walau hidup bahagia, ia mengalami kelumpuhan dan tak lagi bisa berjalan.
***
Suatu hari, istrinya menelepon saya dan menceritakan kondisi Robert dan suaminya ingin bertemu saya di kota P. Saat itu saya mencemaskan diri Robert karena saya dapat membayangkan bagaimana penyakit itu telah mengubur semangatnya sebagai orang yang lincah. Ketika saya menemui Robert di kota P, saya melihat ketegaran dirinya yang tak surut oleh deraan penyakit itu.
“Saya sudah tidak bisa apa-apa lagi, Bos. Tidak bisa bekerja seperti dulu. Saya ikhlas menerima ujian ini. Mungkin ini yang terbaik untuk saya. Saya belajar menikmatinya,” jawab Robert.
Nadanya pelan, tertahan. Ia duduk di kursi roda.
Kemudian, dia bercerita tentang usia kami yang sudah tidak muda. “Tak lama lagi kita mendekati angka empat puluh, bukan? Ya, empat puluh tahun. Padahal, ketika itu kita masih anak muda berusia dua puluhan yang beranjak ke tiga puluh tahun, lincah, dan gagah,” ujarnya sembari tertawa lepas, namun kedua bola matanya berkaca-kaca.
Saya terhenyak. Dia benar. Usia kami memasuki empat puluh tahun dan setahun lagi usia saya genap empat puluh tahun. Kepala empat. Begitu pun dia. Tidak terasa waktu cepat berlalu.
“Tentu, harus banyak bekal yang kita persiapkan untuk perjalanan yang lebih panjang, bukan?” katanya lagi. Saya mengiyakan. Mengangguk, sembari termenung. Tiba-tiba dia menjadi sosok yang begitu tawadhu’, sufi.
“Bagaimana kabar istri dan anakmu?” tanyanya kepada saya karena saya pun menikah dua tahun kemudian setelah ia lebih dulu menikah.
“Baik, dan mereka sedang di rumah neneknya,” jawab saya.
“Syukurlah.”
Selama pertemuan itu, mata saya tidak lepas memandang ke arah tangan Robert yang memegang butiran tasbih. Dia memutar-mutar tasbih itu, dan di sela-sela pembicaraan kami, bibirnya saya lihat basah dengan zikir.
***
Di hari yang lain, istrinya kembali menelepon saya. Kali itu dengan nada tertahan dan sesegukan. Ia menangis. Ia memberi kabar duka kalau Robert, suaminya, telah berpulang. Istrinya, mewakili keluarga, meminta saya memberi maaf kepada Robert kalau selama pergaulan ada salah dan khilaf.
Saya terkejut. Terhenyak mendengar kabar itu. Saya terduduk lemas sembari mengenang masa-masa indah ketika saya masih bergaul bersama Robert sebagai wartawan di kota P dan kota B. Saya tidak menyangka Robert akan kembali ingkar janji, setelah ia lebih dulu menikah, dan kini ia lebih dulu pergi meninggalkan dunia fana.
Saat itu juga saya bergegas meninggalkan kantor lalu menghadiri pemakaman Robert di sebuah kaki bukit yang teduh di kota P. Di taman makam umum, pelayat ramai sekali. Di wajah mereka tampak kesedihan atas kehilangan wartawan terbaik yang tak dapat lagi meliput dan menulis berita di koran tempat ia bekerja. Kini, koran-koranlah yang memberitakan sosok wartawan rendah hati yang tulisan-tulisannya yang selalu dinanti.
“Aku ingin rehat,” kata Robert suatu hari.
“Kenapa?” tanya saya penasaran.
“Capek memberitakan orang terus, sekali-sekali aku mau juga diberitakan,” jawabnya sembari
tertawa lepas.
“Ha-ha-ha.”
Aku yakin ketika itu ia tengah bercanda. Namun, candaan itu kini menjadi nyata ketika namanya abadi menjadi kenangan di pikiran banyak orang yang mengenalnya. Kiprah dan sosoknya sebagai wartawan yang bertahun-tahun bergelut di dunia jurnalistik telah dikemas redaksi koran menjadi berita pendek dua kolom di halaman pertama.
***
Di suatu hari setelah setahun berlalu, dan usia saya genap empat puluh tahun, koran yang memuat berita kematian Robert saya temukan menjadi bungkusan nasi ketika saya meliput kegiatan sebuah organisasi kemanusiaan di kota B. Saya tak kuat menghabiskan sisa makanan dengan lauk ikan bakar lezat itu ketika mata saya tak lepas memandang koran yang memajang foto Robert dengan judul pendek: “Wartawan Terbaik Kami Berpulang”. (*)
Biodata Penulis:
MUHAMMAD SUBHAN. Lahir di Medan, 3 Desember 1980. Menulis cerpen, novel, puisi, dan esai. Puisinya terpilih tiga besar Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019. Esainya satu di antara tiga karya terbaik pilihan kurator Festival Sastra Bengkulu (Bengkulu Writers Festival) 2019. Ia penulis undangan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017.
Karya-karyanya terbit di sejumlah media massa, di antaranya: Serambi Indonesia (Banda Aceh), Waspada (Medan), Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Koran Padang, Metro Andalas, Rakyat Sumbar, Scientia.id. (Padang), Riau Pos (Pekanbaru), Horison, Sabili, Media Indonesia (Jakarta), Kaltim Post (Banjarmasin), Fajar (Makassar), Jawa Pos Radar Banyuwangi (Jawa Timur), dan lainnya.
Menerima Pin Emas dari Walikota Padang Panjang sebagai Pegiat Literasi (2018) dan Penerima Anugerah Literasi dari Gubernur Sumatra Barat (2017). Pernah bekerja sebagai wartawan di sejumlah media di Kota Padang sepanjang tahun 2000—2010. Sering diundang menghadiri pertemuan sastra di berbagai kota di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Trainer Pelatihan Literasi Siswa Balai Pustaka (2021—Sekarang). Mengasuh Kelas Menulis Daring (KMD) dengan 255 peserta dari berbagai kota di Indonesia, Malaysia, dan Jerman.
Di antara bukunya: Kesaksian Sepasang Sandal (Kumpulan Puisi, 2020), Bensin di Kepala Bapak (Kumpulan Cerpen, 2016), Rumah di Tengah Sawah (Novel, 2015), Rinai Kabut Singgalang (Novel, 2011), dan puluhan buku bersama.
Berdomisili di pinggir Kota Padang Panjang, Sumatra Barat. Pos-el: rinaikabutsinggalang@gmail.com. Nomor gawai: 0821-6987-7399.