Oleh: Diga Putri Oktaviane, S.Ap., MAP
Dosen Administrasi Publik Universitas M. Natsir Bukittinggi
Dalam tata kelola pemerintahan daerah, salah satu indikator paling nyata dari kualitas kepemimpinan adalah kemampuannya membuat keputusan sulit namun benar. Bukan yang sekadar menyenangkan publik, tetapi yang berpihak pada prinsip, hukum dan keberlanjutan fiskal.
Dalam konteks inilah, saya memandang keputusan Bupati Padangpariaman, John Kenedy Azis (JKA), untuk tidak menggunakan dana APBD dalam pembiayaan Pekan Budaya Katapiang sebagai bentuk nyata dari kepemimpinan yang berani, strategis dan berpihak pada kepentingan jangka panjang daerah.
Keputusan ini memicu perdebatan di ruang publik. Namun jika kita menelaah lebih dalam melalui lensa Administrasi Publik, khususnya dari prinsip-prinsip good governance, maka akan tampak bahwa keputusan tersebut bukan bentuk pengabaian terhadap sector budaya, tetapi justru upaya menyelamatkan tata kelola fiskal dan memastikan keadilan antar daerah.
Kepatuhan Struktural terhadap Kebijakan Nasional
Pertama-tama, perlu ditegaskan bahwa kebijakan ini bukanlah bentuk ketidaksukaan pada kegiatan budaya. Langkah JKA didasarkan pada dasar hukum yang kuat, yakni Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran, yang bersifat mengikat bagi seluruh pemerintah daerah. Mengabaikan ketentuan ini bukan hanya mengancam stabilitas anggaran daerah, tetapi juga berpotensi membawa konsekuensi hukum di masa depan.
Konteks nasional menunjukkan bahwa pemerintah pusat telah melakukan pemangkasan anggaran sebesar Rp950 triliun dari total APBN. Dampaknya langsung terasa ke daerah, termasuk Padangpariaman, yang mengalami defisit sebesar Rp98 miliar. Dalam situasi sepertiini, alokasi dana APBD sebesar Rp240 juta hanya untuk satu kegiatan seremonial di satu nagari jelas tidak proporsional.
Dalam konteks kebijakan publik, keputusan ini mencerminkan prinsip prioritas anggaran dan alokasi sumber daya berdasarkan urgensi dan dampak luas. Tidak semua kebutuhan bias dipenuhi secara bersamaan dan pemimpin public harus berani membuat pilihan yang paling menguntungkan rakyat banyak.
Keadilan Anggaran antar Nagari
Dengan 103 nagari yang tersebar di Padangpariaman, pemerintah daerah dihadapkan pada tantangan menjaga kesetaraan dan keadilan pembangunan antar wilayah. Mengalokasikan anggaran besar kesatu nagari untuk kegiatan budaya tertentu dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan kesan ketidakadilan struktural.
Bupati JKA sangat menyadari dampak ini. Oleh Karen aitu, ia menegaskan bahwa penyelenggaraan event-event budaya harus mengedepankan prinsip keswadayaan, seperti yang telah berhasil dilakukan dalam Pacu Kuda Balah Air atau Festival Gandang Tasa di Bisati Sungai Sariak, semuanya sukses digelar tanpa dana APBD. Tetapi dengan gotongroyong masyarakat, sponsor lokal, dan kontribusi para perantau.
Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Fiskal
Langkah JKA juga mencerminkan komitmen pada transparansi dan akuntabilitas fiskal. Dengan kondisi anggaran yang sedang defisit, mengutamakan pembiayaan program strategis jangka panjang seperti revitalisasi ekonomi, pendidikan dan penguatan layanan public adalah pilihan yang cerdas. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menata APBD secara sehat dan berkelanjutan.
Lebih dari itu, pengalihan skema pembiayaan festival budaya ke model partisipatif adalah bentuk inovasi kebijakan yang relevan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Pemerintah daerah tidak mematikan inisiatif warga, tetapi justru mendorong kapasitas local untuk tumbuh dan mandiri.
Alternatif Solutif Berbasis Partisipasi
Bupati JKA tidak serta-merta membatalkan Pekan Budaya Katapiang begitu saja. Ia menawarkanal ternatif yang konstruktif: kegiatan tetap bias berlangsung, namun dengan pendekatan pembiayaan mandiri berbasis gotong royong. Ini sejalan dengan tradisi Minangkabau badoncek—sebuah mekanisme social berbasis solidaritas dan kebersamaan.
Model seperti ini justru memperkuat kapasitas sosial masyarakat dan membuka ruang kepemimpinan lokal—baik di tingkat nagari maupun organisasi masyarakat—untuk tampil dan mengambil peran aktif dalam pembangunan social budaya.
Kepemimpinan Berintegritas Berbasis Visi
Latar belakang JKA sebagai pengacara, praktisi hukum dan mantan anggota DPR-RI dua periode, member keunggulan dalam membaca konsekuensi kebijakan secara makro maupun mikro. Ia memahami bahwa pemimpin bukan hanya pengambil keputusan, tetapi juga penjaga akuntabilitas publik.
Dalam Musrenbang RPJMD 2025–2029, JKA menegaskan bahwa prioritas pembangunan adalah revitalisasi ekonomi daerah, dengan target investasi swasta mencapai Rp250 miliar serta penguatan UMKM lokal. Ini menunjukkan bahwa arah pembangunan difokuskan pada sektor yang produktif, bukan kegiatan seremonial yang sifatnya temporer.
Tidak Populis Tapi Strategis
Sebagian kritik terhadap JKA menyayangkan pembatalan pembiayaan festival, tetapi perlu dipahami bahwa kebijakan populis sering kali mudah dibuat, sedangkan kebijakan yang berprinsip menuntut keberanian menghadapi ketidakpopuleran.
JKA memilih jalan yang tidakmudah, namun ia menunjukkan integritas dan keteguhan sebagai seorang pemimpin publik.
Dalam kajian kepemimpinan publik, keputusan seperti ini justru mencerminkan maturity of governance, di mana pemimpin tidak lagi mengejar pencitraan jangka pendek, tetapi fokus pada penguatan sistem, struktur dan ketahanan fiscal jangka panjang.
Dukungan Akademik
Sebagai Dosen Administrasi Publik, saya meyakini bahwa keberanian JKA mengambil langkah tidak popular ini adalah bentuk kepemimpinan transformatif—yang tidak hanya mengelola, tetapi juga membentuk arah tata kelola baru yang lebih adil, efisien dan partisipatif.
Kritik adalah bagian dari demokrasi, namun sebagai masyarakat akademik kita juga berkewajiban memberikan apresiasi terhadap keberanian pemimpin dalam mengambil keputusan yang sulit namun benar.
Dengan memprioritaskan anggaran yang sehat, pemerataan pembangunan nagari dan penguatan partisipasi warga, JKA sedang membangun fondasi kuat bagi Padangpariaman kedepan. Pembangunan bukan hanya soal popularitas, tapi keberlanjutan. Sejarah akan mencatat siapa yang benar-benar bekerja membangun, bukan sekadar menyenangkan. (*)