Pengesahan KUHAP baru oleh DPR menjadi peristiwa penting dalam perjalanan hukum Indonesia, namun juga menimbulkan gelombang kritik tajam dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Beberapa pasal dinilai terlalu longgar, bahkan dianggap dapat menggerus kebebasan warga karena memberi kewenangan luas kepada aparat penegak hukum tanpa pengawasan memadai. Dalam perspektif Pengantar Ilmu Hukum, persoalan ini tidak dapat dilepaskan dari konsep dasar mengenai subjek hukum—baik DPR sebagai pembentuk undang-undang, aparat sebagai pelaksana, maupun warga negara sebagai penerima dampak—serta bagaimana setiap subjek hukum seharusnya menjalankan perannya untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri.
Dari sisi keadilan, yang menjadi tujuan paling mendasar dari hukum, revisi KUHAP seharusnya memastikan bahwa setiap tindakan aparat selaras dengan perlindungan hak asasi manusia. Namun kritik yang menyebut adanya pasal “ugal-ugalan” menunjukkan bahwa kualitas keadilan substantif belum sepenuhnya tercapai. Warga negara, sebagai subjek hukum alami yang harus dilindungi, justru berada pada posisi paling rentan ketika aturan baru membuka peluang penangkapan atau tindakan represif tanpa batas yang jelas. Jika hukum tidak lagi memberi rasa aman, tujuan keadilan mulai diragukan.
Dari sisi kepastian hukum, KUHAP baru seharusnya memberikan aturan yang jelas, tidak multitafsir, dan menjamin prosedur yang dapat diprediksi oleh semua pihak. Namun pasal-pasal yang memberi ruang diskresi luas kepada aparat justru berpotensi menciptakan ketidakpastian. Aparat sebagai subjek hukum pelaksana diberi kewenangan besar, tetapi tanpa kontrol yang kuat, kepastian hukum menjadi kabur. Prinsip dasar negara hukum menghendaki bahwa setiap pembatasan kebebasan warga harus berdasar pada aturan yang terang dan tidak membuka celah pelanggaran. Bila tidak terpenuhi, tujuan kepastian hukum menjadi lemah.
Dari aspek kemanfaatan, pemerintah dan DPR mungkin berharap pembaruan KUHAP dapat mempercepat proses penegakan hukum dan memperbaiki sistem peradilan pidana. Namun manfaat tersebut hanya bisa dirasakan jika aturan baru benar-benar dapat diterapkan secara efektif dan tidak menimbulkan masalah baru. Tanpa kesiapan aparat, pelatihan yang memadai, dan koordinasi antarlembaga penegak hukum, KUHAP baru justru dapat menambah beban sistem hukum yang sudah rapuh. Kemanfaatan hukum tidak hanya dilihat dari keefektifan prosedur, tetapi juga dari sejauh mana hukum memberi keuntungan nyata dan melindungi masyarakat.
Sementara dari tujuan hukum yang lain, yaitu menjaga ketertiban dan memberikan perlindungan, KUHAP seharusnya menjadi instrumen negara untuk menciptakan ketenangan sosial dan menjamin bahwa hak-hak setiap individu tidak dilanggar. Namun ketika aturan baru dianggap membuka pintu bagi tindakan sewenang-wenang, maka fungsi hukum sebagai pelindung menjadi dipertanyakan. Negara, sebagai subjek hukum terbesar, semestinya memastikan bahwa pembaruan hukum tidak disalahgunakan oleh aparat di lapangan.
Pada akhirnya, polemik KUHAP baru menunjukkan bahwa pembaruan hukum tidak otomatis menghadirkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagaimana tujuan hukum yang diajarkan dalam studi Pengantar Ilmu Hukum. Selama setiap subjek hukum—baik DPR, aparat, maupun negara—tidak menjalankan kewenangan dan tanggung jawabnya secara seimbang, hukum berpotensi menjadi alat kekuasaan ketimbang pelindung warga. Pengesahan KUHAP seharusnya menjadi pintu menuju perbaikan, tetapi tanpa komitmen moral dan politik yang kuat, ia justru bisa berubah menjadi ancaman bagi kebebasan dan hak-hak dasar masyarakat. (*)




