Tren Eksodus Atlet Sumbar
Oleh Arief Kamil
Wartawan Olahraga Harian Rakyat Sumbar
Sederet atlet Sumatera Barat memilih memperkuat provinsi lain dalam beberapa kali helatan Pekan Olahraga Nasional (PON).
Sebelumnya ada nama Patricia Yosita Hapsari, peraih 3 medali emas di PON 2012 Riau yang pindah ke Jawa Timur.
Lalu, peraih medali emas PON 2012 dari Cabor angkat Berat, Mela Eka Rahayu yang hijrah ke DKI Jakarta.
Teranyar, jelang PON 2024, Aceh-Sumut, beberapa atlet Ranah Minang juga memutuskan hengkang ke provinsi lain.
Para atlet ini didominasi oleh Cabor atletik. Di mulai dari Fauma Depril Jumra dari nomor Dasa Lomba yang pindah ke Aceh.
Pada PON kali ini, Fauma kembali menyabet medali emas. Bukan untuk Sumbar seperti PON 2021 tentunya, tapi untuk tuan rumah Aceh.
Dua atlet atletik lainnya juga mengikuti langkah Fauma.
Mereka adalah Wahyudi yng memperkuat DKI Jakarta. Pada PON Aceh-Sumut, Wahyudi meraih 2 medali emas untuk DKI.
Bahkan atlet ini memecah tekor PON di nomor 1500 meter putra.
Lalu ada Aprilia Kartina yang juga memperkuat DKI Jakarta. Anggota TNI AL ini menyumbang satu emas dan sekeping medali perak.
Ada pula pesilat Sumbar Suci Wulandari yang memilih memperkuat DKI Jakarta. Sayang, pada PON 2024 ini hanya mampu menyumbang medali perak.
Sejauh ini tercatat empat keping medali emas yang dibukukan atlet asal Sumbar untuk provinsi lain.
Jika masih memperkuat Sumbar tentu bisa mendongkrak perolehan medali emas Tuah Sakato di PON 2024 ini.
Sangat disayangkan tentunya. Lantaran mereka sejak dini dilatih pelatih lokal, latihan di Sumatera Barat serta merupakan putra-putri terbaik Ranah Minang.
Namun, disaat daerah membutuhkan, mereka justru mempersembahkan medali emas untuk provinsi lain.
Marah, sedihkah kita dengan situasi ini?
Jangan tanyakan semangat kedaerahan mereka.
Para atlet tersebut telah membuktikannya. Mereka rela kehilangan waktu, tenaga dan masa remaja untuk berlatih dan terus berlatih.
Apa pun yang terasa, Jangan salahkan mereka, jangan bully mereka.
Keputusan duta-duta olahraga Sumbar itu setidaknya sudah tepat. Penulis pun memilih langkah yang sama jika berada pada situasi yang sama.
Hal itu disebabkan tidak adanya perhatian serius pemerintah daerah terhadap nasib mereka.
Para atlet selama ini diibaratkan sebagai kudo palajang bukik. Hanya dibutuhkan pada saat tertentu saja.
Jika gagal berprestasi dan mengharumkan nama daerah tak ada apresiasi berarti pada mereka.
Jika sukses meraih medali emas hanya diganjar bonus materi.
Apresiasi kepada atlet tak hanya sampai di situ. Mereka butuh hal yang jauh lebih penting, masa depan.
Dalam tiga kali PON, termasuk PON Aceh-Sumut pemerintah kerap memberikan janji muluk kepada atlet.
Mulai dari menjanjikan pekerjaan. Malah katanya akan diangkat jadi PNS.
Namun, kenyataannya? Bisa lihat sendiri. Mereka justru berjuang sendiri untuk masa depan.
Ada atlet yang lolos jadi TNI lewat bantuan PB Cabor. Ada pula yang lolos PNS lantaran jaminan masa depan dari provinsi lain.
Pertanyaannya, mengapa provinsi lain bisa memberikan jaminan masa depan terhadap atlet “naturalisasi” dari luar provinsi. Mengapa Sumbar tak sanggup melakukan hal yang sama?
Baru-baru ini, Gubernur Sumbar sempat mengatakan akan memperhatikan masa depan atlet. Memberikan pekerjaan bagi mereka yang meraih medali di PON 2024. Apakah ini sebatas janji lagi? Entahlah.
Tak sulit rasanya merealisasikan janji itu. Para atlet rasanya tidak terlalu berharap jadi PNS. Hanya butuh pekerjaan tetap sehingga ke depan fokus berlatih.
Pemprov Sumbar bisa menyerahkan persoalan ini kepada Pemko atau Pemkab di mana atlet itu berdomisili dan bernaung.
Jika dari Kota Padang, ada beberapa BUMD yang bisa menampung mereka. Sebutlah Perumda Air Minum Kota Padang, Bank Nagari atau BUMD lainnya.
Hal ini juga berlaku pada atlet yang berasal dari daerah lain. PDAM pasti ada di masing-masing daerah. Pastikan para atlet ini bisa bekerja di sana. Rasanya itu sudah cukup.
Jika hal ini tidak dilakukan, jangan salahkan ke depan akan banyak lagi atlet andalan Sumbar pindah atau dibajak daerah lain. Kita lihat saja! (**)