OPINI  

Thaif: Dingin yang Mengajarkan Ketabahan

Catatan Perjalanan Umroh Muhyiatul Fadilah

Berkabut dan dingin, Muhyiatul Fadilah saat berada di Kota Thaif, Arab Saudi

Thaif, Rakyat Sumbar- Delapan derajat Celsius menyambut langkah jamaah Sumatera Barat di Thaif. Di kota pegunungan yang sejuk ini, dingin bukan sekadar suhu, tapi ruang bagi hati untuk berhenti sejenak dan merenung tentang iman, kesabaran, dan doa. Senin (29/12/25).

Udara dingin langsung menggigit ketika bus berhenti di kota yang sering dijuluki “Kota Musim Panas” Arab Saudi ini. Napas mengepul tipis, jaket dirapatkan, langkah melambat. Di penghujung Desember 2025, Thaif menyambut kami dengan sunyi yang teduh, seolah berkata: berhentilah sejenak, dengarkan dirimu sendiri.

Di antara rangkaian umroh perdana kami dari Sumatera Barat yang penuh dengan thawaf, sa’i, dan doa panjang di Masjidil Haram, Thaif hadir sebagai jeda. Ia bukan sekadar tujuan wisata tambahan, melainkan ruang sunyi tempat batin diberi kesempatan untuk bernapas.

Perjalanan dari Makkah memakan waktu hampir dua jam. Bus meninggalkan dataran rendah yang panas, lalu perlahan menanjak menyusuri Pegunungan Al-Hada. Jalan berkelok seperti pita panjang yang mengikat langit dan bumi. Setiap tikungan membawa perubahan: hawa semakin dingin, kabut tipis turun perlahan, dan warna alam bergeser dari cokelat gersang menuju hijau pegunungan yang menenangkan mata.

Berada di ketinggian sekitar 1.800 meter di atas permukaan laut, Thaif menawarkan kesejukan yang kontras dengan kota-kota lain di Arab Saudi. Pada musim dingin, pagi dan malam terasa menggigit, sementara siang hari tetap bersahabat—cukup hangat untuk berjalan, cukup sejuk untuk merenung.

Pegunungan adalah wajah utama kota ini. Dari Jabal Daka hingga kawasan Al-Hada, bentangan alam terbuka lebar. Lembah-lembah menganga dalam diam, sesekali diselimuti kabut yang bergerak perlahan. Kereta gantung melintas di atas jurang, menjadi garis tipis yang menghubungkan sisi-sisi pegunungan—penanda bahwa Thaif terus berbenah tanpa kehilangan pesonanya.

Ketika hujan turun, kota ini menampilkan wajah yang lebih hidup. Air terjun musiman mengalir di sela tebing, menciptakan irama alam yang menenangkan. Kebun-kebun mawar, ikon Thaif, menyebarkan aroma lembut. Dari kelopak bunga itulah minyak mawar diekstraksi—harumannya menembus batas kota, bahkan benua.

Namun, Thaif bukan hanya tentang udara dingin dan panorama indah. Kota ini menyimpan lapisan sejarah yang menggetarkan hati. Di sinilah Rasulullah SAW pernah menjejakkan kaki pada masa awal dakwah, membawa harapan akan perlindungan setelah tekanan di Makkah kian berat. Harapan itu tak berbalas. Penolakan datang, luka mengiringi langkah.

Angin dingin yang berembus hari ini seolah membawa kembali jejak peristiwa itu. Rasulullah SAW meninggalkan Thaif bukan dengan amarah, melainkan dengan doa. Dari tanah inilah umat belajar bahwa kasih dan kesabaran sering lahir justru dari penolakan paling perih.

Bagi jamaah umroh, Thaif menjadi persinggahan yang berbeda. Jika Makkah adalah pusat keramaian dan kekhusyukan yang nyaris tak pernah hening, maka Thaif adalah ruang sunyi. Alamnya membantu menenangkan pikiran, merapikan perasaan, dan menimbang kembali makna perjalanan spiritual yang sedang dijalani.

Di bawah langit pegunungan yang dingin, refleksi terasa lebih jernih. Sejarah Thaif mengingatkan bahwa iman tidak selalu tumbuh di jalan yang lurus dan nyaman. Ada tanjakan, ada dingin yang menggigit, ada luka yang harus diterima. Namun dari situlah keyakinan menemukan bentuknya yang paling kuat.

Thaif di bulan Desember bukan sekadar persinggahan dalam agenda umroh. Ia adalah pertemuan antara alam dan sejarah, antara sunyi dan doa. Dingin yang menyentuh kulit justru menyalakan kehangatan di hati—tentang perjuangan, kesabaran, dan harapan yang tak pernah padam dalam perjalanan iman manusia.(Edg)