Terima Kasih, Muhammad Rizki Saputra!
Oleh: Firdaus Abie
Wartawan Utama
Nama anak muda yang satu ini, tiba-tiba melambung tinggi. Sekali gebrak tangannya, membuka mata banyak orang.
Pukulannya lebih diperhatikan daripada kokohnya Ia berjibaku dibarisan gelandang, posisi “sakral” dalam sepakbola.
Kalau Ia salah seorang “pelaku” maka perlu dicatat, Ia juga seorang korban.
Dikatakan “sakral” karena jika posisi ini ditembus, maka barisan pertahanan akan diacak-acak lawan. Kokohnya pertahanan tim sepakbola, dimulai dari sini.
Sebaliknya posisi ini sangat menentukan dalam membangun serangan.
Built up yang dibangun dari barisan belakang, diteruskan oleh gelandang. Sebuah serangan sangat ditentukan dari barisan ini.
Anak muda itu bernama Muhammad Rizki Saputra. Kelahiran 2 Mei 2005. Ia bermain di posisi gelandang tim sepakbola PON Sulawesi Tengah (Sulteng), saat usianya 19 tahun.
Menggunakan kostum bernomor 15. Ia salah satu pemain andalan di tim yang dilatih Zulkifli Syukur, mantan pemain Timnas Indonesia.
Berbekal pengalaman di Timnas dan Liga I, tentu sang pelatih mampu mengelola pasukannya, sehingga Muhammad Rizki Saputra dkk sampai ke perempat final.
Menembus perempat final bukanlah perkara mudah. Perjalanan dimulai dari babak kualifikasi, kemudian diawali penyisihan grup, sampai di perempat final. Dibabak inilah malapetaka itu terjadi.
Pada tayangan pertandingan Sulteng VS Aceh, terlihat tangan Rizki melayang tepat mengenai wajah Eko Agus Sugiharto.
Tangan kanan Rizki diayunkannya ketika sang pengadil persis berada di depannya.
Ketika itu, Eko Agus Sugiharto berlari dari luar garis kotak enam belas, menuju titik putih. Titik penalti. Tetapi Rezki lebih dahulu “mempenalti” sang wasit.
Tindakan Rizki tak bisa diterima oleh siapapun, sebab Ia telah melanggar sportivitas olahraga. Tetapi, tanpa bermaksud membela, langkah yang diambilnya tidak berdiri sendiri. Ada sebab akibat yang menyertai.
Rizki Saputra menjadi “tameng hidup” menghentikan buruknya kepemimpinan wasit Eko Agus Sugiharto.
Sekiranya bogem mentah anak muda yang memiliki tinggi 158 cm tersebut tidak membuat sang wasit terkapar, lalu dua ambulan tidak masuk ke lapangan, belum tentu kasusnya tak seheboh sekarang.
Belum tentu semua insan sepakbola memandang ke sana secara bersama.
Jamaknya sebuah pertandingan yang wasitnya berat sebelah, hanya ribut saat laga. Setelah pluit panjang berbunyi, semua kisah tentang pertandingan saat itu, selesai pula.
Orang hanya akan mencatat hasil akhir pertandingan. Tetapi tangan Rizki Saputra “memaksa” pemangku kebijakan sepakbola di Indonesia, buka suara. Kemudian langsung bergerak.
Ketika naskah ini ditulis dan diturunkan, PSSI sedang melakukan investigasi mendalam.
Menyaksikan tayangan pertandingan, sangat banyak keputusan kontroversial dari sang pengadil. Disaat pelanggaran dilakukan pemain Aceh, wasit seakan tak melihat kejadian.
Sebaliknya wasit langsung reaktif memberikan hukuman kepada Sulteng, disaat posisinya menguntungkan Aceh.
Dua kartu merah jelang 15 menit waktu normal berakhir, membuat kecurigaan. Aceh yang tertinggal 0-1, kewalahan menembus pertahanan Sulteng. Diusirnya dua pemain Sulteng, tentu akan melemahkan tim tamu.
Kondisinya semakin lebih buruk disaat injurytime. Satu penalti diberikan. Hukuman itu disambut spontanitas Rizki Saputra.
Ia melayangkan tangan kanannya ke wasit. Spontanitas adalah sebuah reaksi yang reaktif, bergerak mendahului pikiran.
Spontanitas juga dapat dimaknai sebagai tindakan serta-merta, tanpa berpikir, tanpa direncanakan, dilakukan karena dorongan dari hati.
Wasit pengganti tetap memberikan penalti. Rizki diberi kartu merah. Menariknya, hadiah itu gagal diselesaikan menjadi gol. Penjaga gawang Sulteng berhasil menahan bola.
Tapi pertandingan belum berakhir. Kontroversial juga belum selesai. Pluit kemudian dibunyikan, wasit yang menggantikan Agus Eko Sugiharto menunjuk titik putih kembali.
Sulteng dihukum lagi dengan tendangan penalti, diakhir injurytime. Wasit menyebutkan, tangan pemain Sulteng menyentuh bola.
Penalti lagi ke gawang Sulteng. Setelah itu, pertandingan 2 x 45 menit berakhir. Kedudukan imbang, 1-1. Sesuai regulasi, penentuan tim yang berhak ke semifinal akan diselesaikan melalui perpanjangan waktu, 2 x 15 menit.
Disini ada sosok bijak yang seakan dapat melihat potensi buruk. Sosok itu bernama Zulkifli Syukur, pelatih Sulteng. Ia menolak melanjutkan pertandingan.
Ia meminta anak asuh dan perangkat kepelatihannya masuk ke ruang ganti.
Perangkat pertandingan agar Sulteng kembali ke lapangan. Zulkifli Syukur tetap pada keputusannya.
Melihat potongan vidio yang beredar, saat wasit dan perangkat pertandingan memintanya kembali ke lapangan, Zulkifli Syukur terlihat tenang sambil terus berupaya mengendalikan diri, menahan gejolak amarahnya.
Menunjukajari mereka yang mengajaknya kembali ke lapangan.
Ia tetap tidak bersedia untuk main. Kemenangan WO diberikan kepada Aceh. Bagi Zulkifli Syukur, biarlah mereka dikalahkan secara WO, daripada anak-anaknya merespon prilaku buruk wasit, sehingga kondisi bisa menjadi lebih buruk.
Sikap yang ditunjukkan kesatrian sejati. Sosok olahragawan sesungguhnya.
Selama ini pecinta sepakbola mengendus dan menduga, bahwa penalti di injurytime adalah upaya persekongkolan.
Bagaimana kalau dua penalti plus satu kartu merah, ditambah lagi dengan dua kartu merah jelang 15 menit waktu normal berakhir. Apa namanya?
Ada pameo usang yang dipahami orang di Minang, sejak dulu. Kok ka manjanih-an aia nan karuah, karuah-an bana dulu.
Maksudnya, jika ingin menjernihkan air yang keruh, maka keruhkan saja semuanya dulu, nanti akan didapatkan air yang jernih. Percayalah.
“Sentuhan” tangan kanan Muhammad Rizki Saputra tepat di wajah Eko Agus Sugiharto, merupakan salah satu langkah “vulgar” untuk menjernihkan air keruh yang tercipta pada pertandingan tersebut.
Terima kasih, Muhammad Rizki Saputra!. (*)