Taufiqur Rahman dan Pergeseran Arah Politik Egaliter Minangkabau

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menunjuk Taufiqur Rahman sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PSI Sumbar.

Catatan: Revdi Iwan Syahputra

Masuknya M. Taufiqur Rahman sebagai Ketua DPW PSI Sumatera Barat menjadi fenomena menarik dalam peta politik Ranah Minang yang selama ini dikenal sangat kental dengan tradisi egaliter dan rasionalitas sosial. Dalam kultur politik Minangkabau, kekuasaan tidak dimaknai sebagai warisan atau hierarki, tetapi hasil musyawarah, adu gagasan, dan kemampuan menempatkan diri di tengah masyarakat.

Karena itu, setiap pergeseran atau kemunculan aktor baru selalu dibaca bukan semata sebagai langkah partai, tetapi juga sebagai dinamika nilai “duduak samo randah, tagak samo tinggi”.

Sumatera Barat memiliki karakter politik yang unik. Basis religius kuat, tradisi intelektual tinggi, serta watak egaliter masyarakatnya menjadikan pilihan politik warga tidak mudah diarahkan dari atas. Mereka menghormati tokoh, tetapi tidak tunduk membabi buta. Di sinilah menariknya kemunculan PSI—partai yang dikenal progresif dan muda—mencoba masuk ke ruang yang selama ini didominasi partai berbasis Islam dan nilai tradisional seperti PKS.

Tantangan “Narasi Baru”

Sosok M. Taufiqur Rahman bukan pendatang baru dalam dinamika politik Sumbar. Ia dikenal komunikatif, intelektual, dan terbuka pada gagasan. Bergabungnya ia ke PSI menandai upaya menghadirkan wajah politik alternatif di Ranah Minang—politik yang tidak hanya berbicara moralitas, tetapi juga rasionalitas, keberanian, dan meritokrasi.

Langkah ini bisa dibaca sebagai ikhtiar membangun politik egaliter modern, di mana ide dan integritas menjadi dasar, bukan lagi sekadar identitas kelompok atau loyalitas lama.

Tak bisa dipungkiri, Buya Mahyeldi adalah simbol moral dan politik Islam di Sumatera Barat. Sebagai Gubernur dan tokoh sentral PKS, ia merepresentasikan wajah politik santun dan religius yang telah lama diterima masyarakat. Namun, dalam konteks egalitarianisme Minangkabau, munculnya Taufiqur Rahman di kubu PSI menghadirkan semacam counter balance—sebuah ruang wacana baru bahwa politik Minang bisa tetap religius sekaligus progresif, bisa tetap berakar tanpa harus kaku.

Perbandingan dua figur ini menarik: Buya Mahyeldi menampilkan keteduhan dan kontinuitas nilai. M. Taufiqur Rahman menawarkan semangat muda dan pembaruan.

Keduanya sama-sama lahir dari tanah yang menanamkan prinsip “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”. Hanya cara mereka menafsirkan nilai itu yang berbeda: satu lewat dakwah moral, satu lewat gagasan politik terbuka.

Egalitarianisme Sebagai Arah Politik Baru. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau sedang memasuki babak baru dalam orientasi politiknya—tidak lagi terpaku pada garis lama antara “Islam vs nasionalis”, tetapi lebih kepada siapa yang bisa berpikir dan bekerja untuk rakyat dengan akal sehat dan hati yang terbuka.

PSI, lewat Taufiqur Rahman, mungkin tidak akan langsung mengubah peta politik, tetapi ia membuka ruang diskusi baru: bahwa politik di Sumbar bukan hanya tentang kesalehan, tapi juga tentang keadilan, akal sehat, dan keberanian untuk berbeda.

Masuknya M. Taufiqur Rahman sebagai Ketua PSI Sumbar bukan sekadar pergantian kepemimpinan partai, tetapi simbol dinamika egaliter Minangkabau yang terus hidup. Dalam masyarakat yang tidak mengenal feodalisme politik, setiap gagasan baru akan diuji bukan oleh kekuasaan, tapi oleh akal sehat dan nilai-nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Dan di titik inilah, politik Minangkabau menemukan daya tariknya: selalu membuka ruang bagi yang berani tampil dengan cara berbeda, tanpa meninggalkan akar yang dalam.(*)

#Penulis adalah Jurnalis Pemegang Kompetensi Utama, Pemred Harian Rakyat Sumbar, Ketua Seksi Politik PWI Sumatera Barat