Sastra Menembus Batas: Kisah Dua Penyair Indonesia di Festival Puisi Internasional Vietnam

Di bawah langit Hanoi yang teduh, di antara gemuruh bahasa-bahasa dunia yang berbaur menjadi simfoni kata, dua perempuan Indonesia melangkah dengan tenang tapi pasti. Sastri Bakry, Ketua Satu Pena, dan Edrawati — yang akrab dikenal dengan nama pena Era Nurza — datang bukan sekadar membawa puisi. Mereka datang membawa jiwa Indonesia.

HANOI, Rakyat Sumbar – Di bawah langit Hanoi yang teduh, di antara gemuruh bahasa-bahasa dunia yang berbaur menjadi simfoni kata, dua perempuan Indonesia melangkah dengan tenang tapi pasti. Sastri Bakry, Ketua Satu Pena, dan Edrawati — yang akrab dikenal dengan nama pena Era Nurza — datang bukan sekadar membawa puisi. Mereka datang membawa jiwa Indonesia.

Pada 4–8 Oktober 2025, Vietnam menjadi panggung pertemuan penyair dunia. Festival Puisi Internasional yang digelar di Hanoi itu mempertemukan para sastrawan dari enam negara: Indonesia, Amerika Serikat, Malaysia, Australia, Jerman, dan Vietnam sendiri sebagai tuan rumah. Di ruang-ruang diskusi, di panggung pembacaan puisi, dan dalam kunjungan budaya ke rumah para seniman lokal, kata-kata menjelma menjadi jembatan persaudaraan antarbangsa.

Bagi Sastri dan Edrawati, perjalanan ini bukan sekadar menghadiri festival, melainkan ziarah batin—menyampaikan pesan kemanusiaan lewat bahasa yang paling lembut: sastra.

Ketika pesawat yang membawa mereka mendarat di Bandara Internasional Noi Bai, Hanoi, sebuah pemandangan menyentuh hati menyambut. Seorang staf KBRI bernama Handoko, warga Vietnam yang fasih berbahasa Indonesia, berdiri di pintu kedatangan dengan papan bertuliskan “Sastri Bakry & Edrawati”. Sebuah detail kecil yang sederhana, namun menyimpan makna besar: perhatian, penghargaan, dan sambutan hangat terhadap dua duta sastra yang datang dari Tanah Air.

“Ini bukan hanya perjalanan ke luar negeri, tapi perjalanan ke dalam makna kemanusiaan itu sendiri,” ujar Sastri pelan, saat ditemui usai sesi pembukaan festival.
Baginya, sastra adalah ruang tanpa dinding. “Kata-kata mampu melampaui batas geografis dan menyambung bahasa kemanusiaan. Alhamdulillah, Pak Denny Abdi, Duta Besar RI untuk Vietnam, juga memberikan dukungan penuh kepada kami,” tambahnya.

Sementara Edrawati menatap jauh ke arah panggung, tempat para penyair membacakan puisi dalam berbagai bahasa. Ia tersenyum. “Melalui sastra, kita saling memahami, menyapa, dan menumbuhkan empati,” katanya, dengan mata berbinar. Dalam puisinya, kata menjadi pelita yang menuntun rasa, menyatukan hati dari berbagai belahan dunia.

Festival ini tak hanya diisi pembacaan puisi, tetapi juga diskusi lintas bahasa, pameran buku dan karya seni, hingga dialog tentang peran sastra di tengah dunia yang terus berubah. Tema besar yang diusung — persaudaraan, kemanusiaan, dan perdamaian — menjadi benang merah yang menjahit seluruh kegiatan.

Menurut panitia, festival ini diharapkan mampu memperkuat diplomasi budaya antarnegara. Sastra dijadikan medium untuk berbagi nilai, memahami perbedaan, dan membangun kebersamaan.

Bagi Satu Pena Sumbar, keikutsertaan dua anggotanya di forum bergengsi ini menjadi tonggak penting. Dunia kini tahu, dari ranah Minangkabau yang bersyair dan bertutur itu, lahir kata-kata yang mampu menggema hingga ke panggung dunia.

Sastri Bakry dan Edrawati pulang bukan membawa oleh-oleh, melainkan membawa kisah—bahwa puisi bisa menjadi perbincangan universal, bahwa Indonesia bisa hadir di antara bahasa-bahasa dunia dengan keindahan dan martabat.

Karena pada akhirnya, seperti yang mereka yakini, sastra bukan sekadar rangkaian kata. Ia adalah napas kemanusiaan yang menembus batas.(*)