Setiap tahun, Indonesia kembali menjalani ritual yang sama: pembagian kursi roda, kunjungan pejabat untuk berfoto bersama penyandang disabilitas, dan peresmian berbagai fasilitas publik yang diklaim “ramah semua orang”. Namun, segera setelah semua itu berlalu, perhatian menghilang, meninggalkan penyandang disabilitas berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa ruang publik sejatinya belum benar-benar dirancang untuk mereka.
Kasus seperti klinik di Makassar yang menolak pasien tuli karena tenaga kesehatan tidak dapat berkomunikasi dengannya, hingga temuan Komnas Disabilitas bahwa banyak rumah sakit pemerintah tidak menyediakan jalur kursi roda yang layak, merupakan bukti konkret pola kegagalan sistemik ini. Negara kita masih memandang disabilitas sebagai “keterbatasan pribadi” sekaligus beban, bukan sebagai bagian warga negara yang wajib dipenuhi hak-haknya.
Di banyak fasilitas publik, akses bagi penyandang disabilitas sering menjadi formalitas belaka — ramp yang curam membahayakan keselamatan, celah besar di halte bus yang mengharuskan pengguna kursi roda bergantung pada bantuan orang lain. Sebuah negara yang mampu membangun proyek miliaran rupiah justru sering kali gagal menyediakan akses universal yang sederhana namun fundamental.
Masalahnya bukan teknologi atau anggaran; ini masalah paradigma. Disabilitas masih dipandang sebagai isu belas kasihan, bukan hak asasi warga negara sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. Sepuluh tahun berlalu, namun banyak pemerintah daerah belum punya peta jalan aksesibilitas nyata, menjadikan inklusi sekadar hiasan pidato tanpa kebijakan serius.
Ketimpangan ini juga tampak jelas pada layanan kesehatan dan pendidikan. Ruang pemeriksaan yang tidak ramah kursi roda, antrian layanan tanpa sarana bagi penyandang tuli, serta kekurangan guru pendamping di sekolah inklusif berulang kali menutup peluang penyandang disabilitas untuk menikmati layanan dengan bermartabat.
Lebih menyedihkan lagi, penyandang disabilitas yang hidup dalam kemiskinan terjebak dalam lingkaran setan keterbatasan akses dan kesulitan ekonomi yang saling memperparah, sementara respons negara hanya berupa bantuan tunai tanpa perubahan struktural.
Namun, ada harapan. Kota seperti Surabaya mulai menerapkan jalur pemandu yang benar, dan beberapa halte bus di Bandung serta Semarang menunjukkan kemajuan dalam aksesibilitas. Contoh global dari Barcelona, yang berhasil menjadikan seluruh transportasi publik aksesibel dalam kurang dari satu dekade, mengingatkan kita bahwa hambatan sesungguhnya bukan teknis, melainkan politik dan kemauan.
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan bukan “Apa kebutuhan penyandang disabilitas?”, melainkan “Mengapa negara tidak merancang sistem yang sejak awal mengenali keberadaan mereka?” Selama pertanyaan ini gagal dijawab, inklusi hanya akan berhenti pada seremonial dan slogan kosong.
Penyandang disabilitas bukan sekadar penerima belas kasihan, melainkan warga negara yang berhak atas akses dan keadilan. Sudah saatnya negara beranjak dari retorika belaka menuju tindakan nyata. Inklusi adalah kewajiban, bukan pilihan. Pintu aks esibilitas harus dibuka lebar tanpa menunggu lagi. (*)





