Oleh: Muhammad Mushthafa Azhamiy
Mahasiswa UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi
Belakangan ini, media sosial dihebohkan oleh video candaan Gus Miftah terhadap seorang penjual es teh saat mengisi sebuah pengajian. Peristiwa tersebut terjadi dalam acara pengajian di Magelang, Jawa Tengah, pada 20 November 2024.
Dalam video yang viral tersebut, terlihat seorang bapak penjual es teh sedang menawarkan dagangannya kepada para jamaah. Para hadirin kemudian meminta Gus Miftah untuk memborong dagangan tersebut. Namun, alih-alih membeli es teh, Gus Miftah justru melontarkan candaan yang dianggap merendahkan penjual itu.
Ia mengatakan, “Es tehmu ijek okeh ora? (Es tehmu masih banyak nggak?) Masih? Yo kono didol, g****k. Dol en ndisik, ngko lak rung payu yo wes, takdir. (Ya sana dijual, g****k. Jual dulu, kalau nanti masih belum laku ya sudah, takdir).”
Video tersebut kemudian menuai kecaman publik karena dianggap tidak pantas dan merendahkan martabat pedagang es the tersebut.
Kasus ini bukan hanya sekadar sebuah lelucon yang tidak pantas, melainkan juga menjadi cerminan tantangan yang dihadapi oleh para pendakwah di era digital, terutama yang berstatus sebagai figur publik dan teladan masyarakat.
Perkembangan teknologi yang memungkinkan penyebaran informasi secara cepat membuat setiap ucapan dan tindakan menjadi sorotan publik.
Etika Berdakwah: Teladan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Sebagai seorang pendakwah atau teladan masyarakat, penting untuk meneladani Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang telah mengajarkan etika dalam berdakwah.
Salah satu kunci keberhasilan dakwah Rasulullah adalah penerapan etika yang penuh hikmah dan kelembutan. Hal ini menjadi pedoman bagi para pendakwah modern, yang berperan sebagai penerus tugas para nabi.
Diantara contoh etika dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah: Pertama, Kesesuaian antara Ucapan dan Perbuatan. Nabi Muhammad selalu konsisten antara apa yang beliau sampaikan dengan apa yang beliau lakukan.
Pendakwah sebaiknya menjaga integritas agar pesan yang disampaikan tidak kehilangan makna. Setiap Muslim yang memilih untuk menjadi penyeru kepada ajaran Islam, tanpa memandang dari golongan mana ia berasal, harus menyadari bahwa perilaku dan tindakannya akan menjadi sorotan utama bagi orang yang didakwahi.
Masyarakat yang menerima ajakan tersebut akan mengamati kehidupan pribadi sang pendakwah. Mereka membutuhkan teladan yang mampu mencerminkan keselarasan antara kata-kata yang disampaikan dengan tindakan yang dilakukan.
Kedua, menghindari Olok-olok dan Celaan. Mengolok dan mencala bukanlah dakwah,terdapat salah satu ayat dalam Al-quranyang mempertegas bahwa Allah SWT membenci orang yang suka menghina orang lain.
Sebagaimana tercantum dalam surah Al-Hujurat ayat 11, yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.”
Ketiga, Lemah Lembut dan Santun. Rasulullah senantiasa berdakwah dengan kelembutan dan tidak pernah mencela atau mempermalukan seseorang di depan umum. Pendekatan ini membuat dakwah beliau diterima dengan baik oleh banyak orang.
Kasus candaan Gus Miftah terhadap penjual es teh menjadi reminder sekaigus PR bagi kita semua tentang pentingnya menjaga adab dalam berdakwah atau menyampaikann nasehat, terutama di era digital yang penuh tantangan.
Para pendakwah diharapkan dapat mencontoh etika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga pesan dakwah tidak hanya menginspirasi, tetapi juga membangun ukhuwah dan martabat umat.
Dikatakan bahwa seseorang yang memiliki akhlak buruk, sering mengucapkan kata-kata kasar, merendahkan martabat orang lain, memfitnah orang yang tidak bersalah, menyerang mereka yang berbuat baik, atau gemar mencela dan mengutuk, tidak layak disebut sebagai Muslim yang bijaksana.
Rasulullah SAW telah memberikan teladan mulia bagi umatnya, dan perilaku seperti itu bertentangan dengan ajaran Islam yang mengutamakan akhlak mulia.
“Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan orang yang keji, dan bukan pula orang yang kotor omongannya”.(HR. Tirmidzi).
Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah termasuk hamba yang mukmin, yaitu mereka yang selalu mengungkap aib, gemar melaknat, berperangai buruk, dan suka menyakiti.” (HR. Tirmidzi)
Dalam hadits tersebut ada istilah Ath-Tha’an. yaitu seorang yang mengusik atau mengganggu manusia seperti mengghibah, namimah, menghina, dan menjuluki dengan julukan yang buruk.
Sementara kata Al-La’an adalah seseorang yang kerap melontarkan laknat. Laknat tersebut dapat berupa ucapan langsung, seperti “celaka,” “bangsat,” atau “goblok” termasuk dalam kategori kata yang bernada celaan atau penghinaan. Seseorang yang suka mencela atau melaknat merupakan seorang mukmin yang keimanannya belum mencapai kesempurnaan.
Orang yang memiliki iman yang sempurna tidak akan berperilaku demikian. Seorang mukmin seharusnya tidak bersikap buruk, memiliki perilaku tercela, atau mengucapkan kata-kata kasar.
Perilaku buruk, yang dikenal sebagai alfahisy, umumnya terkait dengan tindakan, sedangkan ucapan kasar, yang disebut albadzi, biasanya keluar melalui lisan. Seorang mukmin harus bebas dari kedua sifat tersebut karena keduanya merupakan hal yang buruk dan tidak pantas.
Islam menekankan pentingnya hubungan antar sesama hamba Allah yang didasarkan pada saling menasihati dan saling menyayangi.
Sebagai Muslim, kita dianjurkan untuk menjaga lisan dari ucapan kasar, termasuk kata-kata seperti ini, karena dapat melukai perasaan orang lain dan bertentangan dengan akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah yang tidak menyakiti Muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Orang yang gemar mencela, mengutuk, mengejek, dan mengucapkan kata-kata kotor bukanlah sosok yang mencerminkan keimanan sejati. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah teladan mulia yang tidak pernah mencela, mengecam, atau melaknat.
Dalam sabdanya, beliau berkata: “Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, tetapi aku diutus sebagai rahmat.” (HR. Muslim).
Beliau juga bersabda: “Mencaci maki seorang Muslim adalah tindakan kefasikan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Keutamaan Bertutur Kata Baik dalam Berdakwah
Ajaran ini mengingatkan umat Islam untuk menjaga lisan dari ucapan buruk, karena Rasulullah diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, bukan untuk menebar kebencian.Bertutur kata yang baik memiliki banyak keutamaan, terutama dalam konteks dakwah.
Berikut beberapa keutamaannya: Pertama, Sebab Mendapatkan Ampunan dan Masuk Surga. Dari Abu Syuraih, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.” Beliau bersabda, “Di antara sebab mendapatkan ampunan Allah adalah menyebarkan salam dan bertutur kata yang baik.” (HR. Ahmad).
Kedua, Mendapatkan Kamar Istimewa di Surga. Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa,wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, “Kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan (pada orang yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah ketika manusia sedang terlelap tidur. (HR. Tirmidzi).
Keempat, Menghilangkan Permusuhan. Ibnu Baththol menjelaskan bahwa tutur kata yang baik mampu menghilangkan permusuhan dan dendam. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Tolaklah (kejelekan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34-35). (*)