Oleh: Revdi Iwan Syahputra
Murka dan kecewa, itulah yang dirasakan rakyat Indonesia saat skandal korupsi di PT Pertamina terungkap. Angka kerugian negara yang mencengangkan—Rp 193,7 triliun—bukan sekadar hitungan kertas, tetapi luka mendalam di hati rakyat yang saban hari harus mengantre BBM dengan harga yang kian mencekik.
Sementara itu, elite korporasi dan pejabat negeri berpesta pora di atas penderitaan bangsa.
Presiden Prabowo Subianto pun diuji. Sejak awal, ia berjanji untuk membersihkan negeri ini dari praktik lancung yang merampas hak rakyat. Kini, di hadapannya terbentang ujian besar: akankah korupsi di Pertamina ini diusut tuntas, atau hanya menjadi sandiwara hukum seperti yang kerap terjadi?
Menguak Luka Bangsa
Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini, di antaranya Riva Siahaan (Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga), Sani Dinar Saifuddin (Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional/KPI), Yoki Firnandi (Direktur PT Pertamina Internasional Shipping), Agus Purwono (Wakil Presiden Manajemen Feedstock PT KPI), Muhammad Keery Andrianto Riza (Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa), Dimas Werhaspati (Pihak swasta), Gading Ramadan Joede (Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak).
Modus operandi mereka begitu rapi dan terstruktur: dari pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax, hingga manipulasi ekspor-impor minyak mentah melalui tangan-tangan perantara yang telah lama menjadi parasit di tubuh bangsa.
Rakyat Selalu Jadi Korban
Di sudut-sudut kota, rakyat hanya bisa mengelus dada. Dari perspektif sosial, ini bukan sekadar kejahatan finansial, tetapi pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Harga BBM yang melonjak berimbas pada semua sektor, dari harga bahan pokok hingga transportasi. Kepercayaan terhadap pemerintah makin luntur, sebab ini bukan kali pertama korupsi di BUMN mencuat.
Celah, Pembiaran dan Permainan Elite
Dari sisi politik hukum, kasus ini memperlihatkan betapa lemahnya sistem pengawasan di sektor energi. Regulasi ada, tapi longgar. Pengawasan ada, tapi mandul. Seakan-akan, sistem ini sengaja dibiarkan berlubang untuk mengakomodasi kepentingan segelintir elite.
Pertanyaannya, akankah semua pelaku diadili? Atau hanya nama-nama kecil yang dikorbankan sementara otak besar tetap melenggang bebas?
Menjinakkan Amarah Publik
Kemarahan rakyat hanya bisa diredam dengan tindakan nyata. Langkah-langkah konkret yang harus diambil meliputi, Transparansi Total – Pemerintah harus membuka semua fakta kasus ini kepada publik, tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Hukuman Maksimal – Tidak ada kompromi bagi mereka yang merampok uang rakyat, termasuk penyitaan aset untuk menutup kerugian negara.
Reformasi Tata Kelola Pertamina – Sistem pengawasan internal yang kuat harus dibangun agar praktik serupa tidak berulang.
Kompensasi bagi Rakyat– Jika ada dampak nyata pada masyarakat, harus ada bentuk tanggung jawab konkret dari negara.
Penghapusan Kebijakan Barcode – Pemerintah harus segera mencabut kebijakan ini karena terbukti tidak efektif dan hanya menambah penderitaan rakyat.
Prabowo dan Perang Melawan Korupsi
Presiden Prabowo telah menyuarakan niatnya untuk menindak tegas korupsi, bahkan mengusulkan kebijakan kontroversial: pengampunan bagi koruptor yang mengembalikan aset negara. Namun, apakah itu cukup? Rakyat ingin lebih dari sekadar janji. Mereka ingin melihat penegakan hukum yang tegas, bukan permainan politik yang berulang.
Kasus ini adalah batu ujian bagi pemerintahan baru. Jika tidak ditangani dengan tuntas, maka kepercayaan rakyat akan semakin tergerus, dan korupsi akan tetap menjadi penyakit kronis di negeri ini.
Kini, bola ada di tangan Prabowo. Apakah ia akan mencetak gol kemenangan dalam perang melawan korupsi? Ataukah ini akan menjadi cerita lama yang hanya berganti aktor?(*) Penulis adalah Jurnalis Pemegang Kompetensi Utama, dan pernah menjadi pemimpin redaksi di sejumlah Media baik cetak dan online