Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mendesak pemerintah segera memublikasikan Undang-Undang BUMN yang baru bukan saja memunculkan perdebatan terkait kelalaian administratif, tetapi juga menggugah kembali kesadaran kita mengenai pentingnya asas-asas dasar dalam pembentukan hukum di Indonesia. Di ruang kuliah Pengantar Ilmu Hukum, kita belajar bahwa undang-undang merupakan sumber hukum formal yang memiliki kekuatan mengikat paling tinggi setelah konstitusi. Namun, sering kali pembahasan berhenti pada bagaimana undang-undang disahkan, sementara tahapan pengundangan dan publikasi justru dianggap sebagai bagian kecil yang tidak krusial. Padahal, putusan MK ini menunjukkan bahwa aspek yang sering dianggap kecil inilah yang menentukan apakah sebuah undang-undang benar-benar hidup dalam sistem hukum kita atau tidak.
Mekanisme pembentukan undang-undang telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Setelah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, undang-undang harus diundangkan dan diumumkan melalui Lembaran Negara. Proses ini merupakan bentuk pengakuan negara bahwa aturan tersebut telah siap diberlakukan dan diketahui oleh masyarakat luas. MK melalui putusannya hendak menekankan bahwa tanpa proses publikasi ini, undang-undang hanya akan menjadi norma mati—ada secara formil, tetapi tidak bisa dijalankan karena tidak diketahui oleh mereka yang harus mematuhinya.
Asas publisitas yang menjadi dasar putusan ini sebenarnya bukan konsep baru. Dalam sejarah hukum, bahkan sejak era hukum Romawi kuno, publikasi menjadi syarat utama agar hukum dapat mengikat warga negara. Masyarakat harus diberi kesempatan untuk mengetahui isi aturan, mengerti perubahan kebijakan, dan memahami konsekuensi hukum yang akan mereka hadapi. Dengan demikian, publikasi bukan hanya bentuk pemberitahuan, melainkan proses yang menjamin adanya keterbukaan dan keadilan. Tanpa asas ini, negara bisa dengan mudah memberlakukan aturan yang tidak diketahui masyarakat dan menggunakannya secara sepihak. Inilah kondisi yang bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Dalam konteks sumber-sumber hukum, publikasi memiliki kedudukan yang amat penting. Suatu aturan baru dapat disebut sebagai sumber hukum yang sah ketika memenuhi dua aspek: dibentuk melalui prosedur formal dan dapat diakses oleh masyarakat. Ketika salah satu unsur ini tidak terpenuhi, legitimasi hukum tersebut menjadi diragukan. MK melalui putusannya sedang mengingatkan pemerintah bahwa kepastian hukum tidak hanya dilihat dari ada tidaknya undang-undang, tetapi dari apakah ia dapat ditemukan, dibaca, dan dipahami masyarakat. Kepastian hukum hanya mungkin hadir ketika hukum tersedia secara terbuka.
Jika ditinjau dari teori Hans Kelsen, sebuah norma harus mengikuti rantai hierarki dari norma yang lebih tinggi, dan setiap tahapan harus dilalui secara legal agar norma itu sah. Salah satu tahap itu adalah pengundangan. Tanpa itu, norma belum dapat dianggap sebagai bagian dari sistem hukum. Artinya, UU BUMN yang belum dipublikasikan belum memenuhi syarat validitas yang lengkap. MK tidak sekadar menyoroti adanya kekosongan administrasi, tetapi memperbaiki potensi gangguan terhadap keseluruhan struktur hukum nasional. Ini menjadi penting mengingat BUMN menyangkut tata kelola perusahaan negara yang memiliki peran strategis dalam sektor energi, transportasi, ekonomi, dan pelayanan publik.
Dalam negara hukum modern, prinsip transparansi dan akuntabilitas menjadi landasan utama. Pemerintah wajib memastikan bahwa setiap kebijakan dapat diakses publik, termasuk undang-undang. Ketika undang-undang baru tidak dipublikasikan, publik kehilangan hak untuk mengawasi, mengkritisi, atau bahkan melakukan kontrol sosial yang merupakan ciri masyarakat demokratis. Lebih jauh lagi, ketidakjelasan publikasi juga berdampak pada para pelaku usaha, lembaga negara, hingga masyarakat yang bergantung pada kepastian hukum untuk mengambil keputusan. Bayangkan apabila sektor ekonomi yang digerakkan oleh BUMN harus berjalan dengan dasar aturan yang belum diumumkan—kekacauan administratif, ketidakpastian kebijakan, hingga potensi penyalahgunaan kekuasaan bisa terjadi.
Putusan MK mengenai urgensi publikasi UU BUMN ini sebenarnya memberikan pelajaran penting bahwa hukum tidak hanya bicara tentang naskah aturan, tetapi juga tentang bagaimana negara menghadirkan hukum kepada rakyatnya. Publikasi menjadi simbol bahwa negara menghormati hak masyarakat untuk mengetahui apa yang mengatur hidup mereka. Tanpa itu, undang-undang tidak lebih dari dokumen internal pemerintah yang tertutup dan jauh dari asas open governance yang diamanatkan konstitusi.
Pada akhirnya, putusan ini menunjukkan bahwa pembentukan hukum tidak boleh setengah-setengah. Semua proses harus dilewati secara sah, termasuk publikasi sebagai bentuk penyampaian hukum kepada masyarakat. Dengan adanya putusan MK ini, kita diingatkan bahwa undang-undang hanya dapat berfungsi sebagai sumber hukum formal apabila dipublikasikan secara benar. Publikasi menjadi jembatan antara negara dan rakyat, yang memastikan bahwa hukum hadir bukan hanya sebagai teks, tetapi sebagai pedoman yang memberikan perlindungan, keadilan, dan kepastian bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, urgensi publikasi UU BUMN bukan hanya sekadar menata ulang administrasi negara, tetapi menjadi penegasan kembali komitmen Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan transparansi, kepastian, dan keterbukaan. Hukum yang tidak dipublikasikan tidak layak disebut hukum, karena ia gagal memenuhi tujuan utamanya: mengatur dan melindungi masyarakat secara adil dan terbuka. (*)





