Pilkada dan Aroma Vote Money
Oleh: Endang Pribadi
Wartawan Harian Rakyat Sumbar
Komoditi yang sangat menjanjikan jelang Pilkada 2024 adalah suara rakyat. Komoditi ini dengan sendiri menciptakan market tersendiri dalam hal jual beli suara rakyat (vote money) saat Pilkada 2024.
Walau membahayakan sistem politik, yang berdampak memicu meningkatnya apatisme publik terhadap pemilihan, serta dilarang undang – undang. Faktanya, jual beli suara rakyat telah menjadi sesuatu yang sangat normatif di kala pemilu menjelang.
Alhasil, pendekatan agama yang di dengung-dengungkan untuk menutup peluang vote money menjadi kabur. Apalagi, di saat masyarakat di hadapi oleh dilema ekonomi yang tak berkesudahan dalam menutupi kebutuhan harian hidup.
Kemiskinan dan ditunjang lemahnya pengawasan menyebabkan terbukanya peluang vote buying di masyarakat.
Imbasnya, vote money masih menjadi pengharapan bagi masyarakat jelang pilkada 2024. Apalagi pada saat ini, masyarakat tidak dapat memahami aturan pengawasan yang telah dilakukan untuk mencegah praktik vote buying.
Vote money dimanfaatkan paslon untuk mengurangi peluang golput saat pilkada berlangsung. Apalagi saat ini, terjadinya resesi politik di tengah masyarakat yang di sebabkan aktivasi prilaku politisi dan partai pengusung yang sangat buruk di mata masyarakat.
Vote money sendiri, terjadi sejak adanya pemilu langsung di tahun 2004. Pemilu langsung menempatkan warga negara sebagai subjek utama dalam kontestasi elektoral karena memiliki hak suara untuk memilih calon kandidat.
Hasilnya, fenomena vote buying akan sulit di hindari dan akan terus terjadi di kala pileg atau pun pilkada. Karena itu, vote buying menjadi strategi yang dilakukan kandidat dalam mempengaruhi pemilih di kotak suara. (*)