Menarik bagi kita bersama untuk kembali mengupas tentang hubungan petani dan hutan. Tak dapat dipungkiri, petani-petani yang tinggal di pedesaan melihat hutan sebagai sumber daya dan aset.
Dimana sebagai sumber daya, petani memanfaatkan lahan hutan untuk mengambil hasil hutan dan/atau membudidayakan berbagai komoditi bernilai ekonomi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Sebagai aset, petani memandang hutan selayaknya hamparan lahan ekologis yang mendukung aktivitas sosial ekonomi mereka, bahkan menjaga kenyamanan lingkungan dalam suatu wilayah dari masa ke masa.
Berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 2023, jumlah rumah tangga petani (RTP) di Indonesia adalah sekitar 27,4 juta RTP. Dan, menurut berita GoodStats yang dirilis pada tanggal 8 November 2024, pertanian menjadi lapangan usaha penyerap tenaga kerja terbanyak di Indonesia.
Pertanian, kehutanan, dan perikanan menyerap tenaga kerja sebanyak 28,18% dari keseluruhan pekerja Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa petani dan pertanian menjadi gantungan hidup yang utama di Indonesia.
Sebagian besar petani berada di pedesaan yang berada di dalam dan sekitar hutan. Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2007-2008 saja, menyebutkan ada sekitar 25.863 desa di Indonesia yang berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan.
Luasan hutan yang berada di wilayah pedesaan tersebut mencapai 88,9 juta hektar. Hal ini juga menunjukkan bahwa, dalam menjalankan aktivitas sosial ekonominya, banyak petani bergantung pada ekosistem hutan di sekitarnya.
Hadirnya kebijakan perhutanan sosial (PS) yang dipromosikan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan merupakan salah satu bentuk kepedulian kepada masyarakat petani yang bergantung pada hutan di sekitarnya.
Siaran Pers Kementerian Kehutanan Nomor:SP.233/HUMAS/PPIP/HMS.3/10/2025 merilis target PS Indonesia adalah 12,7 juta hektar akses kelola hutan bagi masyarakat pada tahun 2030, sesuai Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2023. Selain itu, target lainnya adalah menciptakan 25 ribu KUPS Mandiri dan 25 ribu pendamping pada tahun yang sama. Hingga Oktober 2025, capaiannya adalah 8,32 juta hektar yang melibatkan lebih dari 1,4 juta kepala keluarga.
Pembelajaran dari Sumbar
Sumbar merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mengusung PS sebagai kebijakan strategis yang dituangkan dalam RPJMD Provinsi Sumatera Barat periode 2025-2029. Kebijakan PS sudah menjadi bagian dari program unggulan Pemerintah Provinsi Sumbar dalam 10 tahun terakhir.
Sampai tahun 2024 yang lalu, realisasi PS di Sumbar sudah mencapai 340 ribu ha atau sekitar 23% dari luasan kawasan hutan negara yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
Target Pemprov Sumbar sendiri adalah sekitar 700 ribu ha kawasan hutan (atau 50% dari kawasan hutan negara) diberikan hak kelolanya kepada masyarakat petani di dalam dan sekitar hutan Capaian ini yang kemudian dihargai oleh Menteri Kehutanan RI kepada Gubernur Sumatera Barat sebagai Pemerintah Provinsi Terbaik dalam pengembangan PS.
Argumentasi pengembangan PS di Sumbar dilandasi dengan realitas bahwa sekitar 82% wilayah desa atau nagari di Sumbar berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dan karena aktivitas pertanian, kehutanan dan perikanan di Sumbar merupakan penyumbang pertumbuhan ekonomi dominan, sekitar 22% dari total PDRB Sumbar, maka pengembangan PS juga menjadi langkah taktis untuk mengoptimalkan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di dalam dan sekitar hutan.
Petani diberikan kesempatan untuk mengembangkan beragam usaha berbasis kehutanan, seperti pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pengembangan ekowisata, pemanfaatan tanaman obat dan rempah, serta bentuk usaha lainnya.
Dan, berdasarkan survei pendapatan petani hutan di Sumbar, dalam 5 tahun terakhir, pendapatan meningkat dari 1,7 juta Rupiah/kapita/bulan menjadi 2,8 juta Rupiah/kapita/bulan.
Keseriusan Sumbar juga ditunjukkan dengan memperkuat regulasi daerah. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perhutanan Sosial menjadi regulasi payung untuk mempercepat perluasan dan pendayagunaan PS di Sumbar. Saat ini, regulasi turunan (berupa Peraturan Gubernur) sedang disiapkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar.
Pemprov Sumbar juga terus menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Kolaborasi dilakukan bersama Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumbar, para akademisi, sejumlah kelompok tani, sejumlah NGO lokal, nasional dan internasional, serta Pelaku Usaha (BUMN/BUMD/BUMS).
Banyak pihak, baik nasional dan internasional, sudah melirik Sumbar sebagai daerah yang berpihak kepada kepentingan masyarakat petani di dalam dan sekitar hutan. Dukungan nasional dan internasional pun terus digalang, yang salah satunya melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Sumbar menjadi salah satu wilayah utama program FOLU Net Sink 2030, termasuk melalui Green Climate Fund dengan program Result Based Payment (RBP) dan Result Based Contribution (RBC).
Diharapkan program tersebut dapat memperkuat implementasi PS di Sumbar, sekaligus memacu peningkatan kesejahteraan petani di dalam dan sekitar hutan.
Pendayagunaan PS
Dalam RPJMD 2025-2029, kebijakan strategis yang dipromosikan oleh Pemerintah Provinsi Sumbar adalah pendayagunaan PS.
Pendayagunaan dapat diartikan sebagai optimalisasi manfaat PS bagi kepentingan sosial, ekonomi, dan ekologis. Ada tiga prinsip utama yang dipromosikan, yaitu inklusif, maju dan berkeadilan. Menarik kemudian untuk mengulas bagaimana kerangka pikir dari tiga prinsip tersebut.
Prinsip pertama adalah inklusif, yang dapat dioperasional dengan jangan ada yang ditinggalkan atau diabaikan, meskipun pada pihak yang kontribusinya kadang kala mendegradasi capaian program. Misalnya, ketika ada orang atau kelompok yang pesimistis terhadap program, semestinya itu menunjukkan mereka belum memahami program. Dan karena kebersamaan petani dalam program tersebut adalah sebuah proses, seyogyanya upaya-upaya deliberasi tetap diberikan ruang.
Atau pada kondisi yang ekstrim sekalipun, ketika petani merasa terganggu kepentingannya akibat inisiatif program, semestinya upaya-upaya membangun kesadaran kolektif terus dipromosikan.
Memang, pendekatan inklusif sepertinya menyita waktu, namun biasanya sejalan dengan waktu kita akan melihat hasil yang luar biasa.
Prinsip kedua adalah maju, secara operasional mengacu pada semangat perubahan harus menjadi energi kita, mengantarkan petani ke masa depan yang lebih baik. Perubahan itu bisa berkaitan dengan sosial, ekonomi, ekologi, kelembagaan dan/atau teknologi. Seandainya kepaguyuban petani sedang dalam titik terendah, program semestinya memberikan harapan bagi penguatan kepaguyuban tersebut. Jika ekonomi rumah tangga petani tertekan oleh pengaruh pasar yang dominan, program seyogya membuka peluang penguatan pengaruh petani terhadap pasar.
Atau realitas lingkungan petani yang terancam rusak, program selayaknya mempromosikan kepedulian lingkungan dengan aksi-aksi selaras dengan alam. Dan di era kemajuan teknologi dan informasi ini, adopsi teknologi yang tepat semestinya paling mungkin menjadi trend setter untuk mewujudkan masyarakat petani yang berkemajuan.
Prinsip terakhir adalah berkeadilan, dengan mengusung konsep perlakuan setara atau tanpa diskriminasi, yang artinya setiap intervensi program berjalan dengan standar dan kriteria yang sesuai dan yang telah ditetapkan. Program tentunya mengutamakan kemudahan bagi siapapun yang terlibat.
Pelaksanaan program juga bukan mengedepankan persaingan namun lebih menekankan pada kesejajaran. Misalnya, karena kesesuaian fungsi dan lahannya untuk hasil hutan kayu, maka sepanjang mampu mengelolanya, maka semestinya diberikan kemudahan untuk pemanfaatan hasil hutan kayu. Jika potensi ekowisatanya patut dikembangkan, maka seyogyanya pemanfaatannya dapat menghasilkan manfaat yang minimal setara dengan pemanfaatan hasil hutan kayu.
Perlakuan setara juga mungkin dapat berkaitan dengan akses pasar, dimana masyarakat petani dan pelaku usaha lainnya memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pasar, atau bahkan masyarakat petani dan pelaku usaha dapat bermitra dalam kesejajaran manfaat.
Begitu pula dengan contoh berikut, seandainya pelaku usaha dengan kemampuannya bisa mengakses pasar karbon dan/atau biodiversitas, maka masyarakat petani dengan kemampuannya juga mendapatkan kesempatan yang setara. Berkeadilan juga bisa berkenaan dengan cara melihat dan mengakui masyarakat petani mengelola hutan, dengan mengapresiasi setiap praktek-praktek pengetahuan dan kearifan lokal yang selaras dengan alam dan lingkungan.
Pemprov Sumbar yakin dengan mengutamakan prinsip-prinsip tersebut, pengelolaan sumber daya hutan akan menjadi lebih baik ke depannya. Dan kita semua seharusnya adalah bagian dari masyarakat petani tersebut dengan peran masing-masing yang bisa dimainkan. Ketika kita terus peduli dengan petani dan hutan, maka hutan adalah kita di masa depan. (*)