Pengusaha Lirik Kabupaten Kepulauan Mentawai: Perburuan Baby Lobster, Legalkah…?
Oleh: Syaharman Zanhar — Ketua DPD HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Provinsi Sumatera Barat.
Di mana ada gula, di situ ada semut. Filosofi kuno itu, masih sering terngiang di kuping kita. Beda dengan kabupaten bungsu Sumatera Barat ini, bunyi filosofi tersebut berubah menjadi “Banyak sekali gula bertebaran, semutpun mulai mengintai”.
Filosofi itu seakan tidak bisa ditepis karena berkeliarannya “kaki tangan” para pengusaha pemburu benur lobster, BBL (Benih Bening Lobster) di kawasan Negeri Sikerei itu.
Lobster adalah hewan berbentuk unik seperti gabungan udang dan kepiting. Bentuknya mirip udang, namun berukuran besar dengan capit atau penjepit mirip kepiting yang besarnya hampir menyamai badannya.
Masing-masing perairan laut negara dunia, memiliki spesies lobster, seperti Laut Atlantik memiliki spesies lobster achantacaris caeca, Laut Cina memiliki spesies metanephrops, Laut Jepang memiliki spesies metanephrosps japonicus begitu juga laut yang dimiliki oleh negara lain didunia. Dalam daftar inventarisasi spesies lobster tidak kurang dari- sekitar 60-an spesies lobster didunia dengan ke khasannya masing masing.
Di Indonesia, lobster adakalanya juga disebut dengan udang karena memang mirip dengan udang bahkan ilmuwan memang memasukan lobster menjadi salah satu keluarga udang. Lobster selain hidup dalam perairan laut yang memiliki kerang, juga dapat hidup di air payau, muara sungai dan bahkan dapat hidup di perairan air tawar.
Lobster baru dikenal dipertengahan abad ke 19. Diperkenalkan oleh penduduk New York dan Boston. Ketika itu Lobster diketahui adalah makanan orang miskin, di Maine Massachuset dan penduduk pinggir pantai di Kanada. Ketika itu pula lobster disajikan kepada narapidana sebagai makanan pokok untuk mengganggu selera makan mereka.
Selain itu lobster juga diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan pupuk dan umpan ikan. Awal abad ke 20 lobster baru dikalengkan.
Zaman berlalu keadaan berubah, lobsterpun setelah diteliti ternyata mengandung gizi yang tinggi. Menurut dr. Kurniati SpGK, dalam 145 gram lobster terkandung 129 kalori energi, 27.5 gram protein dan 1, 25 gram lemak.
Lobster juga mengandung mineral seperti, selenium, fosfor, kalsium , seng dan vitamin B12. Kadar kolestrol Lobster cukup rendah sekira 70 – 85 gram dan lobster juga mengandung salah satu sumber lemak omega 3 termasuk lemak esensial yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga harus didapatkan dari makanan dan suplemen.
Jadi sebenarnya lobster merupakan salah satu bahan makanan yang rendah kalori dan rendah kolestrol. Selain itu lobster juga sumber protein yang baik, ungkap dr. Eva yang dimuat Indozone.
Sekarang lobster menjadi makanan populer di restoran restoran yang menyajikan jenis seafood. Di restoran termurah saja di Jakarta untuk satu porsi sajian lobster berkisar 250.000.- sampai Rp 750.000.- sementara di restoran tingkat menengah atas, kisaran satu porsi lobster paling murah seharga Rp 1.500.000.-
Tidak saja di Jakarta, di negara manapun yang menyediakan sajian sea food, lobster di jual dengan harga yang tidak murah. Selain enak lobster susah didapat, sehingga harga sajian makanan lobster ini harganya memang untuk kelas VVIP atau bos bos berkantong tebal dan memiliki cita rasa tinggi. Dengan mengkonsumsi lobster artinya seseorang sudah termasuk berkelas.
Akibat tingginya harga lobster di pasaran dunia, maka tidak sedikit “pemain dan pemburu” lobster nekad melakukan bisnis dengan cara ilegal, dengan membayar nelayan menangkap benih bening lobster atau benur lobster, pengusaha ataupun oknum tertentu berusaha menyelundupkannya ke luar negeri. Biasanya negara tujuan ekspor mereka adalah negara Singapura dan yang paling dominan membeli dari ”tangan tangan”, Indonesia adalah negara Vietnam. Mereka beli dengan harga tinggi terutama lobster mutiara dan lobster pasir.
Oleh sebab itu, Pemerintah Republik Indonesia pada zaman periode pertama Presiden Jokowi,lewat Menteri Kelautan dan Perikanan waktu itu dijabat Susi Pujiastuti mengambil kebijakan dengan melarang menangkap BBL dan mengekspornya dengan Kepmen 56/2016 (larangan ekspor benur lobster).
Pada zaman periode ke 2 Pemerintahan Presiden Jokowi, melalui Menteri KKP yang baru Edi Prabowo mencabut Kepmen yang dikeluarkan Susi Pujiastuti dan mengeluarkan Kepmen yang baru nomor 12/KP2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus SPP) Kepiting (Scylla SPP) dan Rajungan (Portunus SPP) di Wilayah Negara Indonesia.
Kebijakan ini ternyata memicu berbagai reaksi publik, tidak saja pecinta lingkungan, ormas dan tokoh tokoh masyarakat, bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya Susi Pujiastuti menolak keras keputusan itu, sehingga pada saat ini munculah pro dan kontra ditengah masyarakat.
Dengan dikeluarkan Kepmen no 12/KKP/2020 sebagai kontra produksi Kepmen No.52/2016 telah melahirkan suatu pertentangan baru. Masing masing kepmen memiliki pendukung.
Susi Pujiastuti menganggap bahwa pihaknyalah yang paling benar dengan geram Susi Pujiastuti mengkritik pedas kebijakan dan menentang Menteri KKP yang baru Edi Prabowo yang telah membuka kembali kran ekspor benih lobster. Kebijakan itu menurut Susi akan beresiko terhadap kelansungan ekosistem laut apalagi ekosistem lobster.
Kata Susi lagi, bahwa disamping terdaoat ancaman ekositem, ekspor bibit lobster Indonesia yang umumnya dikirim ke Vietnam akan berpengaruh terhadap harga pasar. Nonsen Ekspor Lobster akan memperbaiki kehidupan nelayan.
Kata Susi lagi, Vietnam umumnya ambil lobster jenis mutiara dan pasir yang dulu harganya sangat mahal. Tapi begitu mereka bisa impor dari Indonesia dan berhasil memenuhi permintaan Jepang dan cina maka harga lobster kita menjadi jatuh harganya, tegas Susi.
Sementara Edi Prabowo sang Menteri anak buah Prabowo Subianto ini, beralasan kebijakan yang dilakukannya saat ini adalah dalam rangka membela nelayan yang butuh penghidupan yang layak, sekaligus memberikan legalitas ekspor. Agar uang masuknya jelas ke negara. Sedangkan selama ini, yang bermain itu adalah para penyelundup dan pencuri kekayaan alam kita, tandas Edi Prabowo.
Pertentangan dua kubu mantan MenKKP dan MenKKP sekarang jadi menarik untuk disimak. Sementara Keluarga Besar Nahdatul Ulama dalam pekan ini telah mengeluarkan sebuah keputusan bahwa NU tidak mendukung kebijakan MenKKP Edi Prabowo, apapun alasannya itu.
Nah bagaimana dengan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Disaat sedang terjadinya pertentangan, polemik dan arus pro kontra tentang ekspor BBL (Benih Bening Lobster), Pengusaha mulai “bergaduru” berburu Lobster dengan berbagai dalih, taktik dan strategi untuk memasuki kawasan alam lobster di kawasan 104 pulau terluar yang masih perawan dan damai di Kabupaten Mentawai.
Dalam diskusi bersama Wakil Bupati Mentawai Kortanius Sabeleake S.Pt yang juga adalah Ketua DPC HNSI setempat, Kadis Perikanan Usman Labai bersama Ketua DPD HNSI Provinsi Sumatera Barat Syaharman Zanhar, S.Sos minggu lalu di Padang, menyimpulkan bahwa alam mentawai yang sampai hari ini masih terjaga keasriannya, alam laut yang indah dengan kekayaannya, harus tetap terjaga. Wakil Bupati tidak juga menampik, bahwa Mentawai tetap jadi incaran pengusaha pengekspor lobster.
“Sudah ada beberapa yang datang ke Mentawai, dan mengajukan izin pengelolaan lobster. Sejauh perusahaannya legal dan mau mematuhi ketentuan UU lingkungan hidup, peraturan MenKP, kita ya welcome saja. Untuk penyelamatan, Kabupaten akan mengeluarkan aturan dalam waktu dekat. Misalnya Perda. Nah jika tidak keburu, kita buat Peraturan Bupatinya,” ujar Usman Labai.
Wabup Kortanius mengakui, sejak lama pencurian bibit Lobster itu telah terjadi di kawasan laut Mentawai. Kita memang lemah dalam pengawasan. Dan Pemda bersama nelayan Mentawai, belum pernah merasa diuntungkan dengan bisnis Lobster ini.
Sebetulnya kita juga dibuat bingung dengan terjadinya polemik, pro dan kontra atas Kepmen itu. Sepertinya harus sosialisasi dulu. Jadi kita betul betul paham. Mana yang boleh dan tidak boleh. Antara mantan menteri KP dan Menteri KP sekarang masing masing memiliki alasan dan argumentasi yang berbeda dan bertolak belakang, bagi nelayan yang tidak mengerti pertentangan itu, tetap ada tanya. Legalkah..? (***)