Pengendara Moge Sering Terkesan Arogan
Sosiolog UNP : Bentuk Fenomena Fanatisme
Padang, rakyatsumbar.id — Kontroversi pengendara motor gede (Moge) dengan kapasitas mesin di atas 1000 CC, kerap mewarnai halaman berbagai media di Indonesia. Beberapa sikap arogansi dan temperamental yang ditampilkan geng pengendara dengan jenis motor touring bike dan cruiser ini, menjadi sindirian bagi masyarakat dengan melabeli sombong, suka ‘makan’ jalur orang, bising dan mau menang sendiri.
Sebuah video viral di media sosial yang memperlihatkan anggota TNI dikeroyok oleh geng motor gede (Moge) Harley Davidson saat berada di Bukittinggi, Sumatera Barat. Permasalahan terjadi akibat kesalahpahamam di jalan raya. Tak hanya itu, rombongan Moge juga memecahkan kaca spion mobil warga, saat berpapasan di depan Pos Polisi Pasar Piladang, Jalan Bukittinggi-Payakumbuh. Kejadian ini berlangsung pada Jumat (30/10/2020).
Sosiolog dari Universitas Negeri Padang Erianjoni, sangat menyesalkan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pengendara Moge ini. Menurutnya, perilaku yang ditampilkan oleh pengendara Moge merupakan fenomena fanatisme penggemar dari kelompok Moge tersebut yang mayoritas penggemar motor produksi Amerika Serikat.
“Ada catatan penting bagaimana perilaku mereka begitu arogan. Jika penggemar motor Jep yang banyak di pakai masyarakat dengan kapasitas mesin dibawah 250 cc lebih menekankan sebagai fungsi dari motor tersebut. Tetapi, seorang pengendara Moge produk kendaraan dari Amerika lebih menekankan penampilan emosional. Motor dengan cc besar sebagai bentuk ekpresi diri, sehingga kerap motor produk Amerika dijadikan “istri” ke dua yang bisa menampilkan jati diri pengendaranya,” ucapnya kepada rakyatsumbar.id, Sabtu(31/10/2020).
Erianjoni memandang, budaya westernisasi akan dihadirkan oleh pemilik Moge ketika mengendarai Mogenya. Walau dalam melakukan aktivitas keseharian individu tersebut berprilaku dan berpenampilan normatif seperti warga masyarakat yang lain.
“Kita lihat sendiri saja, ketika seseorang mengendarai Mogenya. Berbagai atribut westernisasi akan terlihat dipakaiannya, dan sepatu boot yang dipakai. Terkadang, menyempatkan diri membuat tato walau tidak permanent seperti pemilik Moge yang lain, rambut dibiarkan panjang, atau dicukur botak. Tak lupa membiarkan kumis dan jenggot tumbuh tak terawat, sehingga penampilannya menampilkan budaya westernisasi yang kental,” tambahnya.
Secara sosio-historis dari negara asal cikal bakal komunitas Moge, di Amerika, perilaku geng Moge tidak mendapat simpati masyarakat. Karena perilaku mereka yang tidak simpatik. Dengan menghadirkan budaya anti kemapanan dan anti hukum dalam setiap perilakunya. Alhasil, geng Moge di Amerika dalam perkembangannya tak jauh dari pola kehidupan liar para gangster, sehingga menjadi ikon sendiri bagi motor produk Amerika dengan kapasitas mesin di atas 1000 CC ini.
“Jika menilik sejarah Amerika, geng motor Amerika mempunyai cerita kelam. Mereka bersentuhan dengan hukum. Dengan memakai motto, God Forgives, Outlaws Don’t. Artinya, Tuhan mau memaafkan, tetapi mereka tidak. Hell’s Angels yang merupakan kelompok pengendara Moge, mejelma menjadi kelompok yang ditakuti sehingga bersedia mati untuk teman-temannya apa pun taruhannya. Yang jelas, kelompok Moge itu kental jiwa persaudaraannya,” tutupnya. (edg)