rakyatsumbar.id

Berita Sumbar Terkini

Beranda » Pengamat Politik Nilai Posisi Calon Petahana Lebih Diuntungkan

Pengamat Politik Nilai Posisi Calon Petahana Lebih Diuntungkan

Dr. Aidinil Zetra, S.IP., MA

Painan, rakyatsumbar.id — Pengamat Politik Dr. Aidinil Zetra,S.IP, MA menyatakan, calon petahana dalam pemilihan kepala daerah di Sumbar, baik gubernur maupun bupati, memiliki peluang besar untuk memenangkan kompetisi pada 27 November 2024 mendatang.

Beberapa faktor kunci diidentifikasi sebagai pendorong utama, termasuk kinerja yang terbukti, jaringan politik yang kuat dan dukungan dari basis pemilih yang sudah ada.

Akademisi Unand itu menjelaskan, kinerja petahana selama masa jabatan mereka menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan kepercayaan pemilih.

Jika mereka berhasil dalam menjalankan program-program yang diusung dan mampu mengatasi tantangan yang dihadapi, hal ini cenderung meningkatkan popularitas petahana di mata masyarakat.

“Kekuatan jaringan politik juga berperan signifikan. Petahana biasanya memiliki hubungan yang lebih baik dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh masyarakat dan organisasi lokal,” ujarnya, Selasa (24/9/2024).

Aidinil mengingatkan, meskipun peluang besar ada, tantangan tetap menghadang.

Opini publik yang cepat berubah dan kemunculan calon-calon baru dengan ide-ide segar dapat mempengaruhi dinamika pemilihan.

Oleh karena itu, petahana perlu terus beradaptasi dan mendengarkan aspirasi masyarakat untuk menjaga dukungan yang ada.

“Meskipun tantangan ada, posisi petahana di Pilkada mendatang tampak menguntungkan, dengan potensi untuk mengukuhkan kembali posisi mereka di kursi pemerintahan,” ujarnya lagi.

Dilain hal, kata Aidinil, langkah strategis penantang dengan adanya fakta yang telah disebutkan tadi, lantas apakah membuat peluang menang bagi kandidat penantang menjadi tertutup? Tentu saja tidak.

Peluang menang bagi kandidat penantang masih terbuka sepanjang mereka bisa memanfaatkan keterbatasan waktu yang ada dan mempunyai langkah strategi pemenangan yang jitu.

Harus diakui memang kandidat penantang mempunyai pekerjaan yang lebih ekstra dibandingkan petahana.

Oleh karena itu, kandidat penantang harus memiliki langkah-langkah strategis untuk memastikan peluang menang masih terbuka.

Dengan keterbatasan waktu kampanye hanya 62 hari terhitung pada 25 September-24 November, menurut Aidinil, waktu yang sempit itu akan menguntungkan bagi kandidat petahana.

Ia menjelaskan, setidaknya ada tiga alasan yang bisa memperkuat argumen ini.

Pertama, waktu kampanye yang sempit membuat kandidat penantang tidak mempunyai waktu yang panjang untuk melakukan sosialisasi kepada konstituen.

Kandidat penantang akan memiliki keterbatasan waktu untuk memperkenalkan dirinya ke masyarakat.

Sementara kandidat petahana tidak memerlukan waktu yang panjang untuk melakukan sosialisasi karena petahana sudah memiliki modal popularitas dan elektabilitas yang mumpuni untuk bertarung.

Hal ini bisa dilihat dari berbagai hasil survei Pra-Pilkada yang diikuti petahana di berbagai daerah. Dalam berbagai hasil survei, mayoritas petahana selalu berada di posisi teratas.

Ditambah investasi politik selama menjabat ditambah ingatan publik yang masih dan hanya mengenal petahana sebagai kepala daerah akan membawa keuntungan bagi petahana jika waktu kampanye hanya sebentar.

Belum lagi kalau kandidat petahana tersebut masih memegang power di pemerintahannya. Infrastruktur di pemerintahan tentu akan menunjang kandidat petahana untuk dapat mempertahankan kekuasaannya.

“Dari data dan fakta ini, bisa menarik kesimpulan bahwa minimnya waktu pelaksanaan Pilkada akan lebih menguntungkan kandidat petahana dibandingkan penantangnya,” ujarnya.

Alasan kedua adalah minimnya atensi publik terhadap penyelenggaraan Pilkada.

Pilkada akan ‘tenggelam’ terkena imbas dari hiruk pikuk Pilpres dan Pileg yang akan menghadirkan dinamika politik sangat ketat di masyarakat.

Konsentrasi publik yang begitu tersita selama pelaksanaan Pileg dan Pilpres akan menimbulkan efek jenuh di publik jika harus menghadapi kontestasi politik besar kembali.

Pada akhirnya bisa jadi partisipasi publik pada hari pemilihan Pilkada diduga akan rendah. Rendahnya partisipasi pemilih tentu akan menguntungkan kandidat petahana.

Kandidat petahana diuntungkan lantaran tidak banyak masyarakat yang menginginkan perubahan pada pemimpinnya, sehingga terciptalah status quo pada hasil pemilihannya.

Selanjutnya, alasan ketiga adalah dukungan partai politik (parpol). Parpol saat menentukan arah dukungan terhadap pasangan calon kepala daerah, tentu pertimbangan pertamanya adalah kemenangan.

Parpol akan lebih memilih mendukung calon yang memiliki kemungkinan menangnya lebih besar. Sebelum memutuskan mendukung atau mengusung calon kepala daerah, biasanya partai politik akan melihat hasil survei elektabilitas.

Dari hasil survei tersebut, barulah partai politik menentukan pilihannya kepada siapa dukungan itu diberikan.

Jadi jika pertimbangan awalnya adalah kemenangan, tentu yang dipilih adalah kandidat yang memiliki elektabilitas tertinggi.

Jika kembali lagi menilik hasil survei, maka kandidat petahana akan lebih berpeluang mendapatkan banyak dukungan dari parpol.

Banyak atau minimnya dukungan parpol, tentunya akan memengaruhi kekuatan mesin politik calon kepala daerah.

Lebih jauh Aidinil mengatakan, Parpol memiliki infrastruktur yang sudah mapan mulai dari tingkat elite hingga ke akar rumput.

Infrastruktur tersebut kemudian bisa dimanfaatkan dan diberdayakan untuk menggalang kemenangan bagi calon yang diusung.

Para kader beserta organ-organ parpol bisa digerakkan untuk mengampanyekan kandidat dan menjemput suara di lapangan.

“Pada akhirnya semakin banyak mesin politik yang bekerja maka semakin besar peluang kemenangan itu diraih,” tutupnya. (fdr)

About Post Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *