Utama  

Penegakan Hukum dalam Kasus Kebocoran Data Pribadi di Indonesia dan Permasalahannya terhadap Sistem Keadilan

Oleh: Melisa Wulan Dary Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang.

Kasus kebocoran data pribadi di Indonesia menjadi contoh nyata bagaimana penegakan hukum di era digital masih menghadapi banyak kendala, baik dari sisi regulasi, teknis pembuktian, maupun kesadaran masyarakat terhadap hak privasi. Kebocoran data yang mencakup informasi seperti NIK, nomor KK, alamat rumah, nomor telepon, bahkan data biometrik, bukan hanya mengancam keamanan individu, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap negara sebagai pengelola data.
Salah satu kasus besar yang ramai dibicarakan terjadi pada tahun 2023–2024, ketika jutaan data masyarakat yang terdaftar dalam sistem KTP elektronik dan SIM diduga bocor dan dijual bebas di forum digital. Data tersebut tidak hanya tersebar kepada individu, tetapi juga diduga digunakan untuk aktivitas ilegal seperti pembuatan akun pinjaman online, penipuan, dan pemalsuan identitas. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar di masyarakat: bagaimana negara melindungi data warganya, dan apakah sistem hukum mampu bertindak tegas terhadap pelaku dan pengelola data yang lalai?
Masalah utama dalam penegakan hukum kasus ini adalah sulitnya pembuktian dan pelacakan pelaku. Kebanyakan kebocoran data terjadi melalui sistem digital yang kompleks, dan pelaku sering menyembunyikan identitas mereka melalui jaringan anonim seperti dark web. Aparat penegak hukum membutuhkan kemampuan forensik digital dan perangkat teknologi tinggi untuk mengidentifikasi pelaku serta mencari jejak digital yang valid. Ini menjadi hambatan ketika kapasitas dan teknologi di Indonesia belum sepenuhnya memadai untuk menangani kejahatan siber.
Selain masalah teknis, terdapat pula hambatan dari sisi regulasi. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) baru saja diimplementasikan, sehingga belum banyak aparat yang memahami secara mendalam mekanisme penerapan pasal-pasalnya. Koordinasi antara Kominfo, Kepolisian, Badan Siber dan Sandi Negara, serta instansi penyedia data sering kali belum berjalan efektif. Akibatnya, proses hukum sering terhenti di tahap penyelidikan tanpa kepastian hukum yang jelas.
Tekanan sosial juga menjadi faktor yang memengaruhi jalannya proses hukum. Masyarakat menuntut agar negara segera bertindak untuk melindungi data mereka. Namun, di sisi lain, banyak korban justru tidak melaporkan kasus karena tidak mengetahui hak hukumnya atau merasa proses hukumnya rumit dan tidak menjamin penyelesaian. Rendahnya literasi hukum dan minimnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya perlindungan data pribadi menjadi faktor penghambat dalam penegakan hukum.
Selain itu, budaya hukum masyarakat juga turut memberikan pengaruh besar. Banyak masyarakat yang masih dengan mudah membagikan data pribadi melalui media sosial, mengisi formulir digital tanpa membaca kebijakan privasi, dan menganggap sepele kebocoran data karena tidak langsung merasakan kerugian. Padahal, kerugian dari kebocoran data tidak selalu bersifat langsung, melainkan jangka panjang dan berdampak pada keamanan digital, reputasi, bahkan keuangan.
Jika dilihat dari perspektif sistem peradilan pidana, penegakan hukum kasus kebocoran data melibatkan beberapa tahap penting, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan. Namun, hambatan terbesar sering muncul sejak tahap awal. Diduga ada kelalaian dari pengelola data dalam menerapkan standar keamanan digital, tetapi pembuktiannya tidak mudah karena membutuhkan audit sistem, analisis jejak digital, dan koordinasi lintas institusi. Pada tahap penuntutan, jaksa kadang kesulitan menyusun dakwaan karena belum banyak preseden hukum terkait kasus kebocoran data. Sedangkan pada tahap persidangan, hakim juga menghadapi tantangan karena pembuktian digital tidak selalu mudah dipahami.
Secara sosial, dampak dari kebocoran data pribadi cukup signifikan. Kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga digital menurun, masyarakat merasa tidak aman, dan muncul kekhawatiran akan penyalahgunaan data pribadi untuk kepentingan tertentu. Ketika kepercayaan publik menurun, stabilitas sosial juga ikut terganggu. Masyarakat mulai ragu terhadap keamanan sistem administrasi digital negara, termasuk BPJS, e-KTP, SIM, dan layanan publik lainnya.
Pada akhirnya, kasus kebocoran data pribadi memperlihatkan bahwa sistem penegakan hukum di Indonesia masih membutuhkan banyak pembenahan. Profesionalitas aparat, peningkatan kemampuan digital forensik, serta penguatan koordinasi antarlembaga menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah ini. Tidak hanya itu, peningkatan kesadaran hukum masyarakat dan penguatan literasi digital juga harus dilakukan untuk menciptakan sistem hukum yang responsif terhadap tantangan zaman. Tanpa pembenahan serius, kasus kebocoran data akan terus terulang, dan rasa keadilan masyarakat akan semakin sulit diwujudkan. (*)