rakyatsumbar.id

Berita Sumbar Terkini

Beranda » Pemindahan Aset Pemkab Padangpariaman, Suharizal: Cacat Prosedural, Bisa Terjerat Pidana Korupsi

Pemindahan Aset Pemkab Padangpariaman, Suharizal: Cacat Prosedural, Bisa Terjerat Pidana Korupsi

Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Suharizal.

Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Suharizal.

Padang, rakyatsumbar.id – Pemerintah Kabupaten Padangpariaman menghibahkan enam asetnya yang terletak di Pariaman kepada Pemerintah Kota Padang. Penyerahan aset itu berlangsung  di Aula Kejari Pariaman, Rabu (25/5) siang. Namun, peralihan tersebut menuai sorotan.

Keenam aset itu adalah Tanah Lapangan Merdeka, Tanah dan bangunan Pariaman Plaza, Tanah dan bangunan rumah dinas di JI. Saharjo.

Berikutnya Tanah dan satu unit bangunan rumah dinas di Jalan H. Agus Salim,  Tanah dan dua unit bangunan rumah dinas di Jalan Rohana Kudus. Termasuk Pipa jaringan air bersih dan SR, Sumur Pompa di Gelombang dan Jawi-jawi 2 (PDAM).

Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Suharizal mengatakan, setiap peralihan aset negara harus sesuai prosedural, seperti persetujuan dari DPRD. Namun, jika persetujuan tidak ada, maka dapat di kategorikan perbuatan korupsi, sebab ada unsur penyalahgunaan kewenangan.

“Sepanjang yang saya ketahui (hibah/peralihan aset) ada aturan di beberapa peraturan, saya memahami itu karena ada (menangani) perkara di Solok.”

“Kalau kemudian itu sifatnya di alihkan aset itu, mesti yang paling utama itu mengajukan permohonan persetujuan hibah ke DPRD,” kata Suharizal, menjawab telepon seluler Rakyat Sumbar, Sabtu (28/5) sore.

Suharizal, dosen Fakultas Hukum Universitas Taman Siswa ini menjelaskan, jika aset itu punya pemerintah daerah kabupaten, permohonan persetujuan harus di bawa ke DPRD kabupaten, dan sifat persetujuan tersebut mengikat.

“Artinya mengikat itu adalah, kalau DPRD tidak setuju, tidak bisa diproses. Kemudian tidak sampai di situ saja, pasti ada namanya penandatanganan naskah hibah,” ucap Suharizal.

Menurut Suharizal, proses lainnya adalah pengajuan usulan untuk menghapus barang milik daerah yang di daerah asalnya.

“Jadi di keluarkan aset itu dulu, kalau dari kabupaten dikeluarkan dari inventerisasi barang milik daerah namanya, itu pun ada pula proses pengajuannya. Tidak segampang itu, cocok-cocok, kemudian di pindahkan,” ungkap Suharizal.

Jika Tidak Ada Perstujuan DPRD, Cacat Prosedural

Suharizal mengungkapkan, aturan itu termaktub di dalam Undang-undang nomor 1 tahun 2002 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang nomor 23 tahun 2014 Pemerintahan Daerah. Juga Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Termasuk Permendagri nomor 19 tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.

“Jelas, kalau persetujuan prinsip itu tidak ada (persetujuan dari DPRD), pelanggaran, itu cacat prosedural kalau soal pidananya memang enggak di atur di level undang-undang.”

“Kalau kemudian ingin di tarik-tarik ke ranah korupsi, bisa lebih dekat ke pidana korupsi. Artinya, itu ada unsur penyalahgunaan kewenangan. Lalu aspek melawan hukumnya ada, kemudian soal merugikan keuangan negaranya,” jelas Suharizal.

Namun, sambung Suharizal, selama ini yang ia ketahui dari  Permendagri nomor 19 tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah peralihan atau hibah aset negara yang harus mendpatkan persetujuan dari DPRD. Jika nilai aset lebih dari Rp5 miliar.

“Tapi, kalau sepanjang yang saya ketahui Permendagri itu juga tidak membunyikan apakah kalau nilai aset tidak lebih dari Rp5 miliar harus memperoleh persetujuan dari DPRD.”

“Jadi persyaratan dibawa ke DPRD kalau pemindahan yang tadi itu, pemindahan itu macam-macam ada yang tukar menukar, yang hibah, ada penyertaan modal, ada di lepas jual habis. Kalau 4 macam itu yang nilainya di atas 5 miliar baru di bawa ke DPRD,” ulasnya.

Ia menyampaikan, selain harus memperoleh persetujuan dari DPRD,  aset tersebut harus di periksa dan di nilai oleh tim independen. Setelah itu boleh di serahkan.

Syarat-syarat lainnya seperti, tidak sesuai dengan tata ruang, tidak sesuai lagi dengan RT RW, karena putusan pengadilan, dan aspek untuk kepentingan umum.

“Jadi pada intinya soal pengalihan itu apapun bentuknya  mau jual beli, tukar menukar, hibah, mau dijadikan modal. Mesti ada kajian klausul mana yang terpenuhi dijelaskan satu-satu. Setelah duduk baru kemudian di nilai mesti minta persetujuan ke DPRD,” pungkas Suharizal. (byr)

About Post Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *