Utama  

Pelanggaran Kaidah Sosial dalam Kasus Roy Suryo dan Dampaknya terhadap Ruang Publik di Indonesia

Oleh: Denada Jenia Putri Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang.

Kasus yang menyeret nama Roy Suryo terkait dugaan penyebaran informasi mengenai “ijazah palsu Presiden Jokowi” menjadi perbincangan luas di masyarakat. Tidak hanya menyangkut aspek pidana, kasus ini juga menggambarkan bagaimana kaidah sosial dalam ruang publik dapat terganggu ketika informasi sensitif disampaikan tanpa pertimbangan etika yang matang.

Penetapan Roy Suryo sebagai tersangka bersama beberapa orang lainnya menandai bahwa aparat melihat ada unsur tindakan yang dapat mengganggu ketertiban sosial. Bukan hanya soal benar atau salahnya tuduhan, tetapi bagaimana suatu informasi mampu menciptakan keresahan dan memicu opini publik yang tidak terarah. Isu sebesar “pemalsuan ijazah presiden” jelas bukan hal remeh; ketika disebarkan tanpa verifikasi kuat, maka yang terganggu bukan hanya reputasi individu, tetapi juga stabilitas sosial.

Di dalam masyarakat yang semakin aktif di media digital, kaidah sosial seperti kehati-hatian dalam berbicara, tanggung jawab moral, serta etika berkomunikasi kerap diabaikan. Kritik terhadap pemerintah boleh saja, bahkan penting. Namun kritik yang berubah menjadi tuduhan apalagi menyangkut integritas kepala negara memerlukan dasar yang benar-benar kuat. Ketika hal itu tidak terpenuhi, tindakan tersebut dapat dinilai sebagai pelanggaran terhadap norma sosial tentang kejujuran, kehati-hatian, dan rasa hormat dalam menyampaikan pendapat.

Menariknya, Roy Suryo sendiri beberapa kali menegaskan bahwa proses hukum yang ia jalani harus transparan dan sesuai prosedur. Permintaannya agar dilakukan gelar perkara khusus menunjukkan bahwa ia ingin publik juga melihat bahwa penanganan kasus ini berjalan objektif. Pernyataan tersebut tentu saja dapat dibaca sebagai upaya menjaga haknya sebagai warga negara, sekaligus menunjukkan bahwa ruang publik seharusnya tidak mematikan kritik, tetapi tetap menuntut etika dalam menyampaikan kritik tersebut.

Dari sisi sosial, kasus ini menjadi pengingat bahwa masyarakat Indonesia masih rentan terhadap informasi viral yang belum tentu akurat. Ketika figur publik menyampaikan pernyataan tanpa landasan yang kuat, dampak sosialnya dapat menjadi luas: mulai dari perpecahan opini, polarisasi, hingga hilangnya kepercayaan terhadap institusi.

Artinya, kasus ini memang masuk dalam kategori pelanggaran kaidah sosial. Bukan hanya karena potensi pencemaran nama baik, tetapi juga karena tindakan tersebut berpengaruh pada stabilitas sosial, kepercayaan publik, dan norma komunikasi di masyarakat. Dalam konteks demokrasi, kebebasan berpendapat bukan alasan untuk mengabaikan tanggung jawab sosial. Justru semakin besar pengaruh seseorang di ruang publik, semakin besar pula kewajiban moral untuk menjaga kebenaran dan kehati-hatian dalam berbicara.

Pada akhirnya, kasus Roy Suryo menjadi contoh nyata bagaimana satu informasi yang belum terverifikasi dapat menimbulkan efek domino dalam masyarakat. Ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga cermin bahwa kita masih perlu memperkuat literasi sosial, etika komunikasi, dan kesadaran bahwa setiap ucapan publik memiliki konsekuensinya. (*)