OPINI  

Pelanggaran Kaidah Hukum dalam Kasus Pengadaan Chromebook 2025 dan Dampaknya terhadap Kepercayaan Publik

Oleh: Muhammad Razli Hasan Sagala Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang.

Kasus pengadaan Chromebook Kemendikbudristek senilai Rp 9,9 triliun yang mencuat pada 2025 kembali mengingatkan kita bahwa persoalan hukum dalam tubuh pemerintahan Indonesia tidak hanya menyangkut kerugian negara, tetapi juga terkait bagaimana subjek hukum menjalankan kewenangannya. Dalam ilmu hukum, subjek hukum adalah setiap pihak yang memiliki hak dan kewajiban serta dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya, baik secara perdata, pidana, maupun administratif. Dalam konteks kasus ini, subjek hukum yang dimaksud bukan hanya individu pejabat yang telah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi juga kementerian sebagai badan hukum publik yang semestinya beroperasi berdasarkan asas kehati-hatian (prudential rule) dan prinsip transparansi.

Ketika proses pengadaan yang seharusnya mengikuti ketentuan hukum justru dipenuhi dugaan mark-up dan ketidakwajaran tender, muncul pertanyaan besar mengenai bagaimana subjek hukum di dalam institusi negara menjalankan kewenangannya. Dalam teori subjek hukum, setiap pejabat memiliki kedudukan sebagai natuurlijke persoon (orang perseorangan) yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila melanggar ketentuan. Sementara itu, kementerian sebagai rechtspersoon (subjek hukum berbentuk badan hukum) memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan administratif berjalan sesuai asas legalitas, akuntabilitas, dan tujuan penyelenggaraan negara.

Penetapan beberapa pejabat sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung menunjukkan bahwa ada dugaan adanya subjek hukum individual yang menyalahgunakan kewenangan. Namun persoalannya tidak berhenti pada dugaan korupsi semata. Publik menjadi resah bukan hanya karena nilai proyek yang fantastis, tetapi juga karena lemahnya mekanisme kontrol dari subjek hukum institusional, yakni lembaga negara yang mestinya memastikan pengadaan berjalan sesuai prosedur. Ketika fungsi itu tidak dijalankan secara baik, kepercayaan publik pun runtuh.

Dalam era digital, arus informasi yang cepat membuat masyarakat semakin kritis terhadap pengelolaan anggaran negara. Sayangnya, opini publik sering terbentuk dari potongan informasi yang tidak utuh. Di sinilah peran subjek hukum penegak keadilan—kejaksaan, kepolisian, dan lembaga pengawas—menjadi vital. Mereka harus menjalankan kewajiban hukumnya berdasarkan bukti dan prosedur, bukan tekanan massa. Teori subjek hukum menempatkan aparat penegak hukum sebagai pemikul kewajiban objektif untuk memastikan bahwa tindak pidana benar-benar dibuktikan secara sah, sehingga proses hukum tetap kredibel di tengah derasnya opini media sosial.

Kasus Chromebook juga menunjukkan lemahnya pengawasan internal sebagai fungsi subjek hukum organisasi. Secara sosial, kelemahan itu membuat masyarakat semakin curiga bahwa institusi negara tidak menjalankan perannya sebagai entitas hukum yang taat asas. Ketika transparansi hilang, ruang untuk penyimpangan pun makin besar. Kondisi ini menciptakan distorsi kepercayaan publik yang dampaknya jauh lebih luas daripada sekadar kerugian anggaran. Ia mengganggu stabilitas politik, menggerus legitimasi pemerintah, dan melahirkan ketidakpastian sosial.

Karena itu, kasus ini bukan hanya persoalan korupsi dalam arti yuridis, tetapi juga contoh nyata bagaimana subjek hukum negara gagal menjalankan tanggung jawab hukumnya secara utuh. Proyek dengan nilai besar seperti ini menuntut kehati-hatian ekstra dari setiap subjek hukum yang terlibat: pejabat, panitia tender, penyedia barang, maupun institusi kementerian. Ketika salah satu gagal menjalankan perannya, kredibilitas seluruh institusi turut tercoreng.

Pada akhirnya, kasus pengadaan Chromebook 2025 memberikan pelajaran penting bahwa hukum tidak hanya mengatur perilaku masyarakat, tetapi juga perilaku negara melalui para subjek hukumnya. Agar gejolak serupa tidak terulang, Indonesia perlu memperkuat sistem pengawasan, membangun budaya transparansi, dan memastikan bahwa setiap subjek hukum—baik individu maupun institusi—benar-benar menjalankan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sesuai asas hukum yang berlaku. Tanpa itu semua, reformasi birokrasi hanya akan menjadi slogan, sementara kepercayaan publik terus terkikis.