
Kasus Mario Dandy Satriyo kembali menarik perhatian publik pada November 2025setelah muncul dinamika baru dalam proses hukum yang kembali mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan Indonesia. Meskipun pelaku telah menerima vonis atas tindak pidana penganiayaan berat terhadap David Ozora, perkembangan terbaru berupa upaya peninjauan kembali serta polemik mengenai dugaan lobi dan ketidakkonsistenan informasi dari pihak pelaku kembali memicu kecurigaan publik. Kondisi ini memperkuat anggapan bahwa proses penegakan hukum di Indonesia rentan terhadap tekanan sosial dan potensi ketidakadilan,
Secara hukum, Mario Dandy dijerat dengan Pasal 355 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, yang mengatur bahwa pelaku dapat dipidana dengan:
1. Pidana penjara paling lama 12 tahun,
2. Dan jika mengakibatkan luka berat permanen pada korban, penerapannya dapat diperberat sesuai pertimbangan hakim.
Selain itu, penyidik juga memasukkan unsur Pasal 351 KUHP sebagai pasal alternatif, serta Pasal 56 KUHP bagi mereka yang diduga ikut membantu dalam tindak pidana tersebut. Kasus ini semakin kompleks karena unsur “penganiayaan berencana yang dijelaskan dalam Pasal 355 KUHP menuntut pembuktian kuat bahwa tindakan dilakukan tidak secara spontan, melainkan dengan persiapan tertentu.
Polemik yang berkembang pada 2025 bermula ketika muncul perdebatan mengenai permohonan keringanan hukuman dan upaya hukum lanjutan yang diajukan pihak pelaku. Publik menilai langkah tersebut tidak sensitif terhadap penderitaan korban yang mengalami cedera permanen. Beredamya rumor mengenai potensi intervensi dari pihak tertentu semakin memperburuk persepsi masyarakat. Meski belum terbukti secara hukum, viralitas isu tersebut menciptakan tekanan besar dan memperlihatkan betapa mudahnya ruang digital membentuk opini tentang keadilan sebelum fakta benar-benar diuji.
Ketika masyarakat merasa ada ketidakseimbangan dalam pelaksanaan proses hukum, kepercayaan mereka terhadap sistem peradilan pun terganggu. Hal ini diperkuat oleh persepsi bahwa status sosial pelaku-yang berasal dari keluarga dengan jabatan tertentu-dapat memengaruhi jalannya hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis tentang penerapan asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law), yang merupakan prinsip fundamental dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Dalamn konteks digital, perdebatan soal kasus ini semakin memanas. Opini publik dapat berubah menjadi tekanan kolektif yang berpengaruh pada dinamika. hukum.Jika proses hukum tidak transparan, atau komunikasi aparat tidak jelas, publik mudah menganggap bahwa hukum dapat dinegosiasikan. Keadaan ini berpotensi menciptakan pelanggaran kaidah sosial, yaitu penyebaran informasi tidak akurat, fitnah, dan asumsi yang mengaburkan kebenaran proses peradilan.
Dari sisi sosial, kasus Mario Dandy menunjukkan bahwa keadilan tidak cukup hanya ditegakkan melalui vonis. Masyarakat ingin melihat konsistensi, integritas, dan keadilan substantif yang benar-benar berpihak pada korban. Dengan adanya luka berat permanen yang dialami David Ozora-yang secara jelas masuk unsur lukab erati dalam KUHP-publik menuntut penerapan pasal dan hukuman yang tegas. Ketika publik melihat potensi upaya “mengurangi hukuman”yang tidak didasari alasan kuat secara hukum, rasa ketidakadilan semakin melebar.
Pada akhirnya, kasus Mario Dandy menjadi cerminan bahwa keadilan tidakboleh bergantung pada seberapa viral suatu kasus, namun pada keberanian sistem hukum untuk menegakkan aturan berdasarkan pasal, bukti, dan prinsip keadilan. Masyarakat memerlukan proses hukum yang transparan dan dapat dipercaya agar keadilan benar-benar terlihat ditegakkan tanpa intervensi status sosial, opini publik yang berlebihan, ataupun tekanan media. (*)





