Padang, Rakyat Sumbar – Senja turun pelan di Jalan Diponegoro. Di pelataran bagian dalam Taman Budaya Sumatera Barat tepatnya disebuah kedai, aroma kopi bercampur dengan desir angin sore. Bangku bangku yang sedikit usang dan meja bundar sederhana menjadi saksi obrolan hangat para sastrawan, seniman, budayawan dan wartawan. Dari percakapan santai itu, lahirlah gagasan besar: Pekan Olahraga Tradisi.
“Olahraga tradisi itu pusaka. Kalau kita rawat, ia bisa jadi pintu masuk untuk membangun kembali rasa kebersamaan yang makin rapuh,” kata Jefenil Sutan Pandeka, pelukis yang juga berkecimpung di dunia film sekaligus Wakil Ketua Lembaga Masyarakat Budaya (LMD).
Basrijon, seniman tradisi dari kelompok Langkok, menimpali dengan suara serak tapi mantap. “Egrang, terompah panjang, gobak sodor, itu bukan sekadar permainan. Itu sekolah gotong royong. Kalau satu orang salah langkah, semua jatuh. Sama halnya dengan hidup bersama.”
Syafruddin Arifin, penyair nasional asal Ranah Minang, menambahkan sentuhan puitis. “Olahraga tradisi adalah puisi yang bergerak di tanah lapang. Ia bukan sekadar tubuh yang berlari, tapi juga ingatan kolektif kita yang menolak dilupakan.”
Suasana makin berwarna ketika Febby Dt. Bangso mengajukan gagasan lebih luas. “Kita jangan berhenti di egrang dan tarik tambang saja. Coba bayangkan kalau kita masukkan pacu jalur dari Kuantan Singingi yang sudah mendunia, layang-layang rakyat yang menghias langit, gasing yang berpacu di tanah, bahkan randai dan pencak silat sebagai pertunjukan. Itu bukan hanya olahraga, tapi festival budaya yang bisa jadi magnet pariwisata.”
Nama-nama tradisi itu membuat semua yang hadir mengangguk. Mereka seakan melihat kembali halaman kampung di masa kecil: suara anak-anak berteriak riang saat gasing berputar, atau gemuruh sorak penonton ketika jalur panjang membelah sungai.
Namun di tengah optimisme itu, Revdi Iwan Syahputra, atau akrab disapa Ope, jurnalis sekaligus sastrawan yang kini memimpin harian Rakyat Sumbar, menyisipkan nada realistis.
“Ide ini indah, tapi mari kita hadapi kenyataan. Lapangan anak-anak sudah hilang, tergantikan beton dan ruko. Sungai tempat pacu jalur semakin tercemar. Kalau Pekan Olahraga Tradisi ingin hidup, ia butuh kebijakan publik, ruang kota yang ramah, dukungan serius pemerintah. Kalau tidak, semua hanya berhenti jadi nostalgia di meja kopi.”
Diskusi sore itu pun mengerucut pada tujuan: melestarikan warisan budaya, menyelamatkan tradisi dari gempuran digital, mengurangi dampak sosial negatif di kalangan remaja, sekaligus menjadikan olahraga tradisional sebagai sarana pendidikan karakter dan hiburan rakyat.
Saat kopi tinggal ampas dan langit temaram perlahan dilahap malam, mereka pun beranjak pulang. Namun ide itu sudah terlanjur menyala: Pekan Olahraga Tradisi bukan lagi sekadar wacana, melainkan tekad bersama.
Di ujung diskusi, Jefenil menutup dengan kalimat yang disambut anggukan semua.
“Kalau tidak kita yang memulai, siapa lagi? Budaya bukan untuk dikenang saja. Budaya harus dihidupkan.”
Kopi pun habis, senja pun tenggelam. Tapi ide itu, di hati mereka, sudah terlanjur menyala.(ope)