Nada Panggil Bhinneka Tunggal Ika jadi Sorotan
ASN Sangat Sulit Netral
Padang, Rakyat Sumbar– Ada yang unik jelang digelarnya Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumbar 2020. Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kerap menjadi sorotan, tak mendapat sanksi berarti dari otoritas berwenang.
Hal ini diketahui ketika ada oknum ASN di Kota Padang yang memakai nada panggil lagu Bhineka Tunggal Ika yang dinyanyikan oleh salah satu paslon di Pilgub Sumbar 2020.
Ketua Komisi I DPRD Kota Padang Elly Thrisyanti menekankan, ASN harus netral dalam Pilgub, tanpa memihak meski sebelumnya kandidat merupakan kepala daerah.
“Saya meminta ASN Kota Padang harus netral dalam Pilgub 2020. Kepada paslon jangan jadikan jabatan sebagai senjata untuk menekan ASN dalam mengkampanyekan diri,” ujarnya, Rabu (07/10/2020).
Hal senada juga di ungkapkan anggota Komisi III DPRD Kota Padang Helmi Moesim. Kepada Rakyat Sumbar, ia mengatakan, dengan memakai nada panggil tertentu di ponsel, jelas ASN tersebut mendukung salah satu paslon.
“Ini sangat salah, dan tidak dibenarkan sekali dalam Pilgub. Sangat jelas ASN dengan memiliki posisi yang cukup strategis untuk menjadi mesin politik pemenangan kandidat pasangan calon karena dapat mendulang suara. Hal ini tidak boleh dilakukan,” ungkapnya.
Pengamat politik dari Universitas Andalas, Sadri Chaniago menilai politik birokrasi sangat sulit dihilangkan di Indonesia. Apalagi pada saat Pilkada ditunggangi oleh banyak kepentingan politik yang di usung oleh pemangku kebijakan di pemerintahan.
“Ketidaknetralan ASN selama Pilgub akan sulit di hindari. Apalagi telah terjadi jalinan komunikasi yang intens dengan salah satu pasangan paslon Pilgub 2020 sewaktu memangku jabatan seperti walikota.
“Dalam hal ini akan terjadi sikap politik balas budi yang diberikan ASN kepada salah satu pasangan yang jelas pimpinannya yang saat ini lagi cuti,” ungkapnya.
Sadri memandang dukungan ASN kepada salah satu paslon akan sulit dilaporkan, karena culture dalam budaya Minangkabau tidak ada budaya saling lapor tersebut.
“Dalam kasus ini, saya memandang bahwa masyarakat tidak akan ada yang berani melapor. Hal ini disebabkan hubungan kekerabatan yang telah terjalin dengan baik di masyarakat. Selain itu budaya masyarakat minang yang cenderung menghindari masalah yang timbul dikemudian hari,” jelasnya.
Lebih lanjut, Sadri memandang salah satu penyebab ASN menjadi mesin politik dalam Pilgub disebabkan tekanan dari pimpinan di instansi dan paslon itu sendiri.
“Banyak kita lihat, ASN yang idealis tersingkir dari jabatannya. Hukuman politik dari politik birokrasi menyebabkan seorang ASN akan terparkir tanpa jabatan dengan waktu yang cukup lama,” tegasnya.
Sejatinya, terdapat sejumlah aturan larangan ASN berpolitik seperti Undang-undang nomor 5 tahun 2014, tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik pegawai negeri sipil dan Undang-undang nomor 10 tahun 2016. Selanjutnya ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2004 dan PP nomor 53 tahun 2010. (edg)