OPINI  

Menjaga Otentisitas, Membangun Daya Saing: Refleksi Atas Pengelolaan Pariwisata Sumatera Barat

Diga Putri Oktaviane, M.A.P
Diga Putri Oktaviane, M.A.P

Oleh: Diga Putri Oktaviane, M.A.P

Mahasiswa Program Doktoral Administrasi Publik UNRI

Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) dikenal dengan landskap yang megah dan budaya yang luhur. Kondisi alam menampilkan simphoni keindahan dari pegunungan, danau, hingga pesisir yang menawan. Sementara nilai-nilai Minangkabau Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, memberi kekuatan moral dan filosofi sosial yang khas.

Namun, ditengah potensi tersebut, muncul pertanyaan krusial yaitu bagaimana memastikan pengelolaan pariwisata sumbar tidak sekedar mengejar angka kunjungan, tetapi juga menjaga keaslian, keberlanjutan dan daya saing global?

Data menunjukkan bahwa geliat pertumbuhan pariwisata di Sumbar pada 2025 semakin signifikan, hingga Juli ini jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Sumbar mencapai 50.826 orang (BPS Sumbar, 2025).

Sementara itu, perjalanan wisatawan Nusantara mencapai lebih dari dua juta perjalanan hanya pada bulan Juni 2025. Pemerintah Provinsi Sumbar bahkan menargetkan 20 juta kunjungan wisatawan sepanjang tahun 2025. Angka-angka ini menandai tingkatnya daya Tarik Sumbar di mata publik nasional maupun global.

Namun, peningkatan kuantitaif belum sejalan dengan kualitas pengalaman wisatawan. Banyak pengunjung datang hanya sekedar singgah tanpa keterikatan emosional yang mendorong dilakukannya kunjungan ulang. Fenomena ini menunjukkan bahwa branding destinasi belum sepenuhnya berhasil membangun pengalaman mendalam dan berkelanjutan.

Degradasi Ekosistem

Berbagai destinasi wisata alam kini menghadapi tantangan degradasi ekosistem akibat peningkatan aktivitas wisata tanpa pengendalian daya dukung (carrying capacity). Tempat yang dibangun untuk dijadikan spot foto dilakukan tanpa adanya perencanaan estetika yang sering kali justru mengganggu harmoni lanskap asli.

Keasrian alam yang menjadi daya Tarik utama berubah menjadi artifisial. Dalam konteks budaya, komersialisasi berlebihan atas tradisi lokal juga berpotensi mengikis makna filosofis adat Minangkabau.

Branding destinasi pariwisata tidak dapat dibangun sekedar dari keindahan visual, tetapi harus menonjolkan authenticity yaitu  keunikan pengalaman dan nilai-nilai yang tidak dapap ditiru oleh orang daerah lain.

Dalam hal ini, Sumbar memiliki keunggulan kultural yang belum sepenuhnya dioptimalkan. Filosofi hidup masyarakat Minangkabau, sistem kekerabatan matrilineal, arsitektur rumah gadang, serta warisan kuliner seperti rendang dan lamang tapai adalah living heritage yang memiliki nilai branding tinggi di pasar internasional.

Namun, pengemasan budaya ini sering kali berhenti pada level simbolik (pakaian adat, tari penyambutan), bukan pada pengalaman partisipatif yang memberi pemahaman dan keterlibatan mendalam kepada wisatawan.

Oleh karena itu, strategi branding Sumbar perlu bergeser dari pendekatan aesthetic marketing menuju cultural experience marketing. Wisatawan modern mencari meaningful journey- perjalanan yang memberi pengetahuan, nilai, dan keterhubungan sosial.

Desa wisata, misalnya bisa menjadi wahan ideal untuk memadukan keindahan alam dengan praktik budaya autentik misalnya dengan belajar memasak rendang dari bundo kanduang di suatu nagari, memahami filosofi musyawarah di balai adat, atau berpartisipasi dalam kegiatan pertanian berbasis gotong royong. Branding berbasis inilah seperti inilah yang akan membedakan Sumbar dari destinasi lain di Indonesia, sekaligus memperkuat posisinya dalam kompetisi global.

Keberlanjutan (sustainability) dalam pariwisata tidak sekedar berarti menjaga alam tetap hijau, melainkan menciptakan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pendekatan ini mensyaratkan tata kelola multi-level antara pemerintah daerah, masyarakat nagari, pelaku usaha dan akademisi.

Pertama, aspek ekonomi berkelanjutan menuntut adanya benefit-sharing mechanism yang adil. Pendapatan dari retribusi atau tiket masuk Lokasi wosata perlu dialokasikan kembali ke masyarakat sekitar untuk menjaga  fasilitas dan mendukung program sosial.

Kedua, aspek sosio-kultural  harus dilindungi melalui pearturan yang mencegah komersialisasi budaya secara berlebihan. Pemerintah daerah dapat mengeluarkan panduan desain dan aktivitas wisata agar tidak menodai nilai-nilai adat.

Ketiga, aspek lingkungan menuntut pengendalian jumlah pengunjung (kuota harian), sistem zonasi wisata alam, dan penerapan green tourism standard. Misalnya, penggunaan energi terbarukan di homestay, pengelolaan sampah berbasis komunitas, serta pelarangan material non-ramah lingkungan di kawasan wisata.

Kelembagaan pariwisata di Sumbar juga perlu diperkuat. Selama ini, tumpeng tindih kewenangan antara nagari, pemerintah kabupaten/kota, dan pelaku swasta sering menyebabkan inefisiensi pengelolaan. Diperlukan model tata kelola kolaboratif (collaborative governance) yang memungkinkan perencanaan dan evaluasi dilakukan secara terbuka serta berbasis data.

Untuk memastikan Sumbar naik kelas dari “destinasi ramai” menjadi “destinasi bermakna”, pemerintah daerah perlu menggeser orientasi kebijakan dari jumlah kunjungan menuju kualitas pengalaman.

Beberapa langkah kunci dapat ditempuh: Peningkatan Kompetensi SDM Wisata, melalui program pelatihan terpadu di bidang hospitality, interpretasi budaya, dan pemasaran digital bagi pengelola desa wisata. Targetnya bukan hanya melayani, tetapi menciptakan pengalaman yang mengedukasi. Revitalisasi Fasilitas dengan Pendekatan Estetika Lokal. Penataan spot foto dan ruang publik sebaiknya melibatkan desainer lokal dengan prinsip harmoni visual Minangkabau.

Integrasi Digital Budaya, penguatan branding digital melalui narasi budaya, kisah tokoh lokal, dan Sejarah nagari dapat meningkatkan daya tarik emosional di pasar wisata global. Penerapan Indikator keberlanjutan, keberhasilan destinasi tidak diukur dari jumlah wisatawan semata, melainkan dari indikator seperti lama tinggal, kepuasan wisatawan, dan kontribusi ekonomi untuk masyarakat lokal.

Penutup

Sumatera Barat memiliki semua prasyarat untuk menjadi destinasi unggulan berbasis nilai dan budaya. Namun, keberhasilan itu hanya dapat dicapai bila pariwisata dikembangkan dengan prinsip otensitas, keberlanjutan, dan kolaborasi.

Pemerintah daerah perlu memperlakukan budaya bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai identitas, dan lingkungan bukan sekedar latar, melainkan warisan yang harus dijaga.

Jika langkah-langkah strategis tersebut dijalankan dengan konsisten, maka Sumbar tidak hanya akan dikenal karena keindahannya, tetapi akrena maknanya- sebuah destinasi yang tidak sekedar dilihat, tetapi dirasakan dengan nilai, keaslian, dan kebijaksanaan lokal. (*)