rakyatsumbar.id

Berita Sumbar Terkini

Beranda » Menikmati Nasi Perang Paderi, Nasi Zaman Perang

Menikmati Nasi Perang Paderi, Nasi Zaman Perang

Penulis ketika menikmati Nasi Perang Paderi

Orang nyaris tak bisa lepas dari makanan, sehingga kini banyak orang berlomba-lomba mempunyai usaha makanan, atau biasa disebut usaha kuliner.

Usaha ini “menjarah” hingga ke berbagai pelosok negeri. Di Sumatera Barat jangan disebut lagi. Daerah ini gudangnya kuliner, mulai dari yang asin, manis hingga pedas.

Salah satu kuliner yang menarik perhatian penulis, terletak di Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman. Namanya, Nasi Perang Paderi. Dari namanya saja sudah membuat kita bertanya-tanya, bagaimana bentuk Nasi Perang Paderi, bagaimana rasanya?

Penulis masuk ke sebuah cafe, yang menyediakan makanan ini. Namanya, cafe Zero Deegres. Nama ini diambil karena posisinya persis di dalam pekarangan Museum Tuanku Imam Bonjol. Museum ini tepat berada di garis Khatulistiwa.

Di dalam café tersebut, penulis dapati aroma kipang yang sedang dipanggang, sehingga seakan menambah rasa lapar. Penulis memesan makanan paling spesial di sini, Nasi Perang Paderi.

Rugi rasanya jika berada di Bonjol, atau di Kabupaten Pasaman, jika tidak menikmati makanan legenda tersebut.
Dahulu, perang di Bonjol ini dinamakan Perang Paderi yang terjadi karena adanya perbedaan pandangan antara para ulama dan kaum adat di Minangkabau.

Konflik itu dimanfaatkan Belanda dengan mengadu domba para ulama dengan kaum adat. Belanda “merapat” ke kaum adat.

Perlawanan Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya berhasil dipatahkan Belanda, 34 tahun kemudian, setelah Tuanku Imam Bonjol dijebak untuk berunding, kemudian ditangkap dan diasingkan ke Manado.

Sejumlah peninggalan perang itu masih melekat dan tersimpan di tempat peperangan tersebut, Bonjol.
Ketika penulis berada di dalam cafe tersebut, bertemu Camat Bonjol Afnita Ramadhana.

Beliau sedang makan siang makan siang bersama rekannya. Terjadilah makan siang dan silaturrahmi yang mengasyikkan bagi penulis, apalagi beliau sangat mendukung keberadaan menu Nasi Perang Paderi tersebut.
“Menu ini akan membuat kita bernostalgia ke masa lalu, merasakan menu saat perang dulu,” katanya.

Camat Bonjol Afnita Ramadhana.

Afnita menyebutkan, setiap ada tamu-tamu yang berkunjung ke Bonjol, pihak kecamatan selalu mengajak mereka untuk mencoba Nasi Perang Paderi, sembari menikmati sensasi “kembali” ke masa lalu.

“Beberapa hari lalu, perantau Bonjol yang sudah lama menetap di Batam. Makan siang bersama di sini, mereka merasakan sensasi berbeda,” katanya.

Pengunjung lain yang saya temui, Abi mengatakan, Ia datang dari Padang ke Bonjol untuk menikmati Nasi Perang Paderi. Abi mengaku, dirinya merasakan bagaimana dulunya para pejuang mencuri waktu makan di tengah riuhnya suasana perang.

“Saya baru saja turun dari Gunung Tajadi, jalannya sangat curam dan cukup tinggi ketika mendaki. Ketika saya makan Nasi Perang Paderi ini, terbayar rasa letihnya mendaki dan menurun, serasa sehabis perang juga,” ucap beliau sambil tertawa.

Gunung Tajadi adalah sebuah benteng pertahanan kaum Tuanku Imam Bonjol yang letaknya di atas bukit yang bisa dilihat dari belakang café Zero Deegres.

Abie juga mengatakan, ia ingin orang lain banyak mengetahui tentang Nasi Perang Paderi. Ia pun merekomendasikan ke teman-teman dan keluarganya untuk mencobanya. Lalu, bagaimana bentuk Nasi Perang Paderi tersebut?

Penyuguhan nasi Perang Paderi dengan menggunakan daun pisang.

Paket Nasi Perang Paderi dikemas dengan bungkusan daun pisang. Bungkusan terbesar berisi nasi putih panas, ditaburi bawang goreng.

Bungkusan kedua, ada ikan asin yang diuapkan lalu dipanggang. Bungkusan lainnya ada sayuran rimbang, daun singkong, terong, buncis. Jengkol yang dipanggang. Semuanya direbus kemudian dibungkus daun pisang. Ada cabe hijau yang direbus (diuwok), lalu digiling halus dan ada minyak kelapa.

Ada telur dadar. Dimakan ditempat atau dibawa pulang, kemasannya tetap sama.
Kemasan tersebut, konon disesuaikan dengan kondisi masa lalu.

Mengapa isi nasinya sangat besar? Mungkin satu bungkus tersebut bisa dimakan berdua atau dua kali makan. Ketika itu, tak mudah untuk mengolah makanan atau mendistribusikan makanan tersebut setiap saat, sehingga diberi porsi lebih.

Ikan asin yang dibakar menjadi pilihan utama sebab sulit mendapatkan lauk lain kala itu, sedangkan sayuran tersebut tersedia hampir di setiap pekarangan atau ladang-ladang yang dimiliki masyarakat kala itu.

Kata Abi, nasinya sangat banyak dari makanan yang biasa ia makan, apalagi kelelahan setelah mendaki Gunung Tajadi.

Menurutnya sangat banyak. Makanannya juga harum karena diuap dan dipanggang. Perpaduan ikan asin yang dipanggang dengan nasi putih dan minyak kelapa sangat menggunggah selera apalagi ditambah dengan cabe hijaunya. Harganya sangat terjangkau. (Zhilan Zhalila PF, penulis adalah Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas)

About Post Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *