Melihat AIKAN Dan Odense Waste Company Denmark, Sampah Jadi Biogas
Rombongan 7 kepala daerah kabupaten/kota saat berkunjung ke pabrik pengolahan limbah menjadi biogas di Denmark. (Foto : Istimewa)
Oleh : Deri Asta
Walikota Sawahlunto
Langit Kota Kopenhagen, Denmark, masih membiru ketika cuaca masih berada di atas titik didih 18 derajat celsius di atas tekanan atmosfer standar.
Saya dan rombongan dari Indonesia tengah bersiap melanjutkan aktifitas untuk kunjungan lapangan ke perusahaan bernama AIKAN.
Sebuah industri pengolah biogas dan composting terbesar di negeri pesisir timur pulau Sjaelland yang berada di tepi sungai Sony tersebut.
Jarum jam yang menempel di lengan kiri saya masih menunjukan pukul 09.00 waktu setempat, atau sekitar pukul 14.00 Waktu Indonesia Barat.
Agenda yang telah di susun pihak tuan panitia rumah untuk kunjungan lapangan ke Odense Waste Company (OWC).
Di tempat ini, akan di gelar pertemuan dan perkenalan tentang peran dan kontribusi organisasi, gambaran aktivitas, pembiayaan, sirkular ekonomi dan komunikasi masyarakat.
Saya mulai memahami bahwa OWC adalah sebuah organisasi dengan core business.
Menjadikan limbah sampah di proses sebagai energi terbarukan yakni biogas yang di kelola tak ubahnya seperti penerapan manajemen Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Ini di lakukan Pemerintahan Odense dalam mengelola sampah non provit.
Untuk di ketahui, OWC ini sudah mengembangkan sayap untuk mengelola sampah yang berasal dari 5 kota-kota di sekitar Odense.
Kelola Sampah Hinga 95 Ribu Ton/Tahun
Dari data faktual, OWC sudah mengelola sampah sebanyak 95 ribu ton per tahun dan 80 persen di rechicle.
Selain juga mengelola sampah spesifik dengan produksi sekitar 400 ton pertahun.
Dari data yang di dapat, sebanyak 66 persen sisa sampah yang tidak bisa di kelola secara incenerator. Sedangkan sisanya dilakukan secara landfill.
Dari hasil kunjungan ke pusat rechicle, saya memperoleh pengetahuan secara empirik tentang pemilahan sampah dengan 10 Jenis kontainer.
Pemilahan berisi limbah jenis paper, kaca, baterai, alat elektronik, bahan metal, plastik, konstruksi waste dan lain-lain.
Limbah tersebut di antar langsung oleh masyarakat dan di lakukan pemilahan oleh petugas dengan mobilitas yang sangat terpola dan sistematis.
Pembelajaran Empiris
Setelah ke rechicle saya bersama rombongan mampir ke ousat pengomposan.
Di sana menyaksikan cara pemberlakuan sampah khusus dari hasil limbah pertanian, kebun serta lumpur dari pengolahan dengan cara di haluskan dan di campur dengan lumpur sedimen limbah.
Kemudian di jaga suhunya dengan cara membalik-balikan sampah yang sudah dicampur.
Sedangkan sampah dari kayu konstruksi dihaluskan dan kemudian digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang membutuhkan.
Hasil kunjungan lainnya yang dapat saya simpulkan adalah, ketika berkunjung ke pusat Reuse sampah ZIRKEL.
Di sana saya dan rombongan menyaksikan langsung bagaimana barang-barang yang tidak terpakai oleh masyarakat atau yang masih bisa di reparasi di kumpulkan di ZIRKEL.
Hasil dari pengumpulan dan reparasi yang akan di jual kembali ke masyarakat yang membutuhkan.
Momentum lain yang dapat di pelajari dari Denmark adalah ketika saya dan rombongan mengunjungi Landfill Stige Island.
Stige Island adalah landfill yang sudah diceovery.
Landfill ini terjadi dari sisa peradaban Denmark yang melakukan open dumping pada tahun1800.
Denmark sudah banyak mengeluarkan biaya untuk melakukan recovery guna mencegah timbulnya pencemaran lingkungan.
Dari penjelasan yang di tangkap, Denmark sudah membangun landfill sejak 1994 pada lahan seluas 110 hektare dengan umur teknis selama 120 tahun.
Salah satu bentuk recovery lahan pada bekas landfill dapat di jadikan sebagai tempat areal permainan anak dan wisata yang lokasinya tersebut lengkap dengan fasilitas pengolahan gas metan.
Hingga kini ini gas metan masih tetap di produksi walaupun jumlah potensinya berkurang.
Agenda Cukup Padat
Selama berada di Denmark, agenda menyoal penanganan limbah sampah sebagai penghasil biogas cukup padat.
Namun, saya dan rombongan masih bisa memanfaatkan waktu untuk berkunjung KBRI Denmark yang di terima oleh Ibu Dewi, Duta besar Indonesia untuk denmark.
Dari hasil diskusi, Dubes ibu Dewi sangat mendukung dan turut membantu kelanjutan program kerjasama antara Indonesia dengan Denmark.
Hal ini tentang pengelolaan sampah dan lingkungan maupun dalam bentuk program-program lainnya.
Penanganan sampah di Kota Sawahlunto di lakukan berdasarkan Perwako No.40 Tltahun 2018 tentang Jakstrada pengelolaan sampah rumah tangga.
Termasuk sampah sejenis sampah rumahtangga lainya.
Kemudian Perwako Sawahlunto No.86 Tahun 2019 tentang pengendalian penggunaan sampah plastik.
Berdasarkan data yang ada, produksi sampah Sawahlunto cukup signifikan hingga mencapai di atas 14 ton pertahun.
Bahkan bisa bertambah dari daerah sekitar. Ini cukup berpotensi di garap untuk menghasilkan biogas di masa mendatang.
Hal ini , bila kerjasama dengan pemerintah Denmark dapat terealisasi sesuai agenda yang telah di sepakati bersama. (*)