Oleh; Revdi Iwan Syahputra
Sumatera Barat kembali jadi sorotan, bukan karena polemik politik atau urusan birokrasi yang rumit, melainkan karena pesta pernikahan—baralek anak Gubernur—yang sempat menimbulkan kemacetan parah di jalan utama.
Baralek yang digelar pada Jumat, 11 April 2025, di Tanjung Gadang, Sijunjung, telah menimbulkan kemacetan yang cukup parah. Video kemacetan itu viral, membuat warganet geram, dan menciptakan percakapan yang tak terhindarkan soal sensitivitas sosial seorang pejabat.
Dalih bahwa acara tidak menggunakan badan jalan dan hanya memanfaatkan halaman rumah tentu patut diapresiasi, tetapi bukan berarti persoalan selesai begitu saja. Karena dalam konteks sosial dan hukum, yang dinilai bukan hanya niat, tapi juga dampak.
Kita mafhum, baralek di ranah Minang memang sarat makna adat, kehormatan, dan martabat keluarga. Tapi ketika pesta adat ini menimbulkan gangguan terhadap kepentingan umum, maka perlu ada refleksi kritis: apakah pelaksanaan tradisi sudah sejalan dengan norma ketertiban masyarakat dan aturan positif yang berlaku?
Kemacetan yang terjadi bukan hanya soal mobil yang berhenti, tapi soal bagaimana negara—diwakili oleh pejabatnya—memberi contoh pengelolaan ruang publik secara berkeadaban. Di sinilah publik bertanya: mengapa tidak ada rekayasa lalu lintas lebih awal? Mengapa tidak disiapkan shuttle atau sistem parkir alternatif? Dan yang lebih krusial: apakah ini akan dibiarkan begitu saja jika yang menggelar bukan keluarga gubernur?
Dari sisi hukum positif, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara tegas melarang penggunaan jalan untuk kegiatan yang menghambat fungsi jalan tanpa izin resmi dan rekayasa lalu lintas yang layak. Meski tenda tidak berdiri di atas aspal, fakta kemacetan tetap mencerminkan ada potensi gangguan ketertiban yang mestinya bisa dicegah.
Secara politik, ini bukan soal baralek semata. Ini soal sensitivitas seorang pejabat terhadap persepsi publik. Permintaan maaf dari pihak keluarga maupun biro pemerintahan adalah langkah awal yang baik. Tapi apakah cukup?
Gubernur sebagai figur publik seharusnya tidak sekadar mengarahkan petugas saat macet sudah terjadi. Ia seharusnya hadir lebih awal sebagai teladan: memastikan pelaksanaan acara pribadi keluarganya tidak membebani masyarakat umum. Maka dari itu, permintaan maaf langsung dari Gubernur kepada publik—bukan hanya melalui perwakilan atau tamu undangan—akan lebih menunjukkan empati politik dan kedewasaan moral sebagai pemimpin.
Karena jabatan bukan sekadar kehormatan yang diwariskan ke anak di pelaminan, tapi amanah yang menuntut kepekaan sosial, bahkan ketika sedang merayakan kebahagiaan pribadi.
Kalau pejabat publik tidak bisa membedakan mana ruang privat dan mana ruang publik, maka publik pun berhak bertanya: apa lagi yang mereka anggap “boleh” hanya karena merasa berkuasa?
Masyarakat tidak anti pesta. Tapi ketika pesta menabrak rasa keadilan dan kepantasan, jangan salahkan jika yang hadir bukan hanya tamu undangan—tapi juga kritik, cemooh, dan kehilangan kepercayaan.(*)