Kasus dugaan korupsi Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp72,8 miliar yang menjerat pimpinan BNI Bangkinang beserta empat bawahannya kembali membuka mata publik bahwa problem penegakan hukum di Indonesia tidak semata-mata terletak pada kekurangan regulasi.
Hukum kita sebenarnya telah menyediakan aturan yang jelas tentang prosedur penyaluran KUR, mulai dari verifikasi kelayakan, mekanisme pencairan, hingga pertanggungjawaban. Namun kasus ini membuktikan bahwa secanggih apa pun aturan itu disusun, ia akan sia-sia ketika moralitas aparat yang menjalankannya tidak sejalan dengan nilai yang hendak ditegakkan.
Dalam konteks teori hukum, praktik seperti ini sangat relevan dengan Aliran Hukum Bebassebuah perspektif yang mengingatkan bahwa hukum tidak hidup di balik meja atau dalam teks undang-undang, tetapi dalam keputusan dan perilaku manusia yang menginterpretasikan aturan itu.
Oknum aparat bank dalam kasus ini tidak bertindak berdasarkan semangat hukum, melainkan berdasarkan dorongan kepentingan pribadi. Mereka memanipulasi data, merekayasa penerima kredit, dan menciptakan kredit fiktif yang jauh dari tujuan awal program KUR yang dirancang untuk rakyat kecil.
Dari sisi sosial, tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap kaidah kesusilaan, etika pelayanan publik, dan rasa keadilan masyarakat.
BNI sebagai bank BUMN memegang amanah besar dalam membantu UMKM yang berada di lapisan ekonomi terbawah.
Ketika amanah ini dikhianati, yang dirusak bukan hanya sistem perbankan, tetapi juga harapan ribuan pelaku usaha yang seharusnya menjadi penerima manfaat.
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak selalu stabil, akses pembiayaan adalah napas utama UMKM. Maka korupsi dalam penyaluran KUR bukan hanya merugikan negara, tetapi memutus peluang hidup banyak orang.Kasus ini juga memberikan gambaran bagaimana budaya organisasi dan pengawasan internal masih menyisakan celah yang dapat dimanfaatkan oknum.
Ketika integritas tidak menjadi nilai utama dalam lingkungan kerja, maka pelanggaran akan dianggap sebagai “kebiasaan” bukan penyimpangan.
Di sinilah hukum menjadi lemah,bukan karena tidak punya kekuatan, tetapi karena tidak didukung karakter moral pelaksananya. Reaksi keras masyarakat pun muncul karena korupsi KUR dipandang sebagai pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Program yang seharusnya menolong masyarakat justru dijadikan alat mencari keuntungan oleh mereka yang seharusnya menjaga integritas lembaga.Karena itu, menyelesaikan persoalan seperti ini tidak cukup dengan memperkuat aturan atau menambah SOP.
Pembenahan yang diperlukan harus menyentuh akar persoalannya: membangun kultur etika di lembaga penyalur KUR, meningkatkan pengawasan yang benarbenar independen, serta menetapkan standar akuntabilitas yang tidak bisa ditawar-tawar.
Pegawai bank harus disadarkan bahwa dana yang mereka kelola bukan sekadar angka dalam laporan, tetapi amanat yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat kecil.
Skandal BNI Bangkinang ini menjadi peringatan keras bahwa hukum tidak dapat dijalankan secara mekanis. Selama aparat masih memegang celah untuk memutarbalikkan aturan demi keuntungan pribadi, selama itu pula program-program kerakyatan akan terus terancam.
Penegakan hukum tidak cukup hanya mengandalkan pasal; ia membutuhkan manusia yang jujur, berkomitmen, dan memahami bahwa setiap keputusan yang mereka ambil membawa konsekuensi sosial.KUR harus kembali pada tujuan mulianya: memberdayakan UMKM dan menggerakkan ekonomi rakyat.
Agar hal itu terwujud, integritas harus ditempatkan sebagai fondasi, bukan sekadar slogan. Pada akhirnya, bangsa ini tidak hanya membutuhkan regulasi yang kuat, tetapi juga manusia hukum yang bermoral.
Tanpa itu, hukum hanya akan menjadi teks yang mudah dilanggar, dan rakyat kecil akan selalu menjadi korban dari ketidakjujuran segelintir orang. (*)





